deni.kaAvatar border
TS
deni.ka
Never Ending Story | Benang Kusut Tawuran Pelajar di Kawasan Jabodetabek
Dalam seminggu terakhir ini banyak berita terkait tawuran pelajar di kawasan Jabodetabek, tawuran pelajar di kawasan ini memang sudah menjadi kebiasaan dari dulu gan sist. Bahkan ada cerita di SFTH yang juga menceritakan tentang serba-serbi tawuran, di mana sang penulis semasa sekolahnya juga pernah merasakan yang namanya tawuran. Ketika membahas tawuran saya jadi teringat cerita agan stmkepooo (Bang Min), di mana saya sendiri memahami bagaimana tawuran di wilayah Jakarta dan sekitarnya dari cerita beliau.

Nah, berkaitan dengan tawuran gan sist; mungkin sebagian orang termasuk saya sendiri juga penasaran. Sebenarnya apa yang membuat kebiasaan ini menjadi sulit ditiggalkan oleh para pelajar ? Dan juga faktor apa yang menyebabkan hal itu terjadi ? Dan pada kesempatan kali ini saya akan membahas soal tawuran.


Sebuah Tradisi yang Tidak Bisa Ditinggalkan


Sebenarnya saya sendiri tidak pernah merasakan yang namanya tawuran, selepas SMP saya juga masuk ke STM (sekarang SMK); saya tinggal di kota kecil di ujung barat Jawa Timur, kehidupan anak STM di kota ini terbilang normal. Tidak ada yang namanya tawuran antar sekolah, karena jumlah STM sendiri tidak banyak waktu itu. Paling kenakalan remaja yang biasa dilakukan anak STM di kota saya hanya sekadar ikut balap liar.

Ketika saya membaca kembali cerita Bang Min di SFTH yang berkaitan dengan berita tawuran akhir-akhir ini, saya jadi menemukan benang merahnya. Salah satu benang merah itu yakni, "bahwa tawuran adalah sebuah tradisi yang tak bisa ditinggalkan dengan mudah."Lalu, mengapa tawuran menjadi sulit ditinggalkan ?

Jawabannya adalah karena dari para senior dan alumni sekolah tersebut memang terus berupaya merekrut para siswa baru sebagai penerus mereka, mereka seolah tidak rela jika sekolah mereka "kehilangan kader siswa petarung." Kalau kita baca kembali cerita tentang tawuran yang ditulis di SFTH oleh Bang Min, penataran terhadap para siswa baru ini bahkan sudah dimulai sejak saat pertama mereka mengikuti Masa Orientasi Sekolah (MOS). Dan saat MOS tersebut para siswa sudah mulai diajak dan diajari tawuran dengan sekolah lain dengan dalih pembentukan karakter, demi mejaga harga diri sekolah dan alasan lainnya yang tidak relevan.


Quote:



Setelah saya membaca kembali kisah nyata tawuran tersebut saya jadi berpikir "wah ngeri juga ya STM di kawasan ibu kota", beda jauh dengan STM lainnya di Indonesia. Beruntung masa MOS saya di STM dulu berlangsung sangat normal, tidak harus dihadapkan dengan tawuran. Jadi, saya pikir para senior dan juga para alumni STM di Jakarta punya peran besar dalam eksistensi tawuran hingga saat ini.

Saya pun sampai saat ini juga tidak paham, mengapa para alumni sebuah sekolah masih ikut campur dalam kegiatan sekolah; seperti MOS. Padahal mereka bukan lagi bagian dari sekolah tersebut, di mana status mereka adalah alumni dan bukan siswa.

Di cerita Bang Min pun saya juga tidak bisa menemukan jawaban, mengapa alumni sekolah bisa ikut terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam aksi tawuran yang dilakukan para siswa dari mantan sekolahnya. Apakah mereka melakukannya hanya untuk menunjukkan eksistensi "kekuatan" sekolah mereka ? Atau ada motif yang lainnya ?


Kehilangn Kuping Sampai Kehilangan Nyawa


Tak bisa dipungkiri resiko tawuran sangatlah besar gan sist, yang paling fatal adalah kematian; entah mati karena kehabisan darah akibat dibacok senjata tajam atau mati dikeroyok secara beramai-ramai. Resiko selain kematian adalah cacat fisik seumur hidup, dalam tulisannya Bang Min juga pernah menyebut jika ada korban tawuran yang sampai kehilangan kupingnya karena sabetan senjata tajam.

Dengan dalih membela kehormatan/harga diri sekolah, tak sedikit pelajar yang meregang nyawa karena tawuran. Lalu, apakah sekolah akan memberi penghargaan karena siswa itu mati demi sekolahnya ? Dan juga media mana pun tak akan pernah menuliskan berita tentang "aksi heroik pelajar yang mati demi membela harga diri sekolahnya."

Saya terkadang jengkel dengan orang yang mengatakan hal seperti ini "kalau sekolah lu diserang masak lu diem aja ? pastinya lu lawan kan ?" Dan saya ingin balik bertanya kepada orang yang punya pemikiran seperti ini, "sekolah lu di serang, lu ngelawan, terus misal teman kena bacok dan kemudian mati. Apakah lu kelak masih akan bangga dengan cerita seperti ini ?"


Quote:



Kalau misalnya ada beberapa pelajar dari sebuah sekolah diserang siswa sekolah lainnya, menurut saya para pelajar yang diserang itu tidak ada kewajiban untuk melawan balik. Kalau misalnya mau melawan pun, kita juga harus melihat sistuasinya juga bukan ?

Misal yang menyerang itu jumlahnya lebih banyak dan membawa senjata tajam, apakah masih relevan untuk melawan ? Dan juga saya menekankan bahwa, jangan mau mati konyol dengan dalih membela harga diri sekolah. Karena ketika ada pelajar mati akibat tawuran, sekolah tidak akan memberi gelar "pahlawan sekolah" atau membuat patung si pelajar tersebut untuk mengenangnya.


Kurang Tegasnya Sekolah dan Para Orang Tua, Menteri Pendidikan Cuma Diam Saja


Biasanya pelajar yang terlibat tawuran dan kebetulan berhasil ditangkap polisi, hanya akan dibina sebentar lalu dikembalikan lagi ke sekolah. Kecuali mereka yang terbukti menjadi tersangka atas meninggalnya pelajar lainnya, mereka otomatis akan ditahan dan menjalani hukuman. Sementara itu di lain sisi, sekolah yang para pelajarnya terbukti ikut tawuran juga tidak memberi hukuman/sanksi yang tegas. Sehingga setelah kembali ke sekolah, mereka akan kembali melakukan tawuran lagi.

Entah mengapa sekolah yang para muridnya terlibat tawuran seolah enggan memberikan sanksi tegas, mungkin mereka tak mau kehilangan muridnya ? Karena yang ikut tawuran sudah terlanjur banyak, jika yang terlibat terkena sanksi; kemungkinan juga bisa menjatuhkan reputasi sekolah. Dan sekolah jadi kesulitan mencari murid baru. Ini hanya opini saja, tapi jika kita lihat tren tawuran saat ini yang masih eksis; hal itu sudah membuktikan bahwa pihak sekolah pun benar-benar tidak serius menghadapi masalah tawuran ini.

Selain itu benih-benih tawuran juga sudah mulai bermunculan sejak SMP, ketika kita mencari keyword berita tawuran di Google; maka akan ada berita lain juga terkait tawuran yang melibatkan anak SMP. Kalau tawuran anak SMP ini saya kurang paham pemicunya, bisa jadi karena masalah sepele seperti saling ejek juga.

Jadi, jika kita telusuri hulu dari tawuran, salah satunya ada di sekolah tingkat SMP. Dan didukung dengan esksistensi label "sekolah para petarung" yang ada di berbagai sekolah tingkat menengah atas/kejuruan di kawasan Jabodetabek, maka pelajar SMP ini seolah menemukan jalan untuk meneruskan hasrat tawurannya. Memang frekuensi tawuran anak SMP ini relatif tidak banyak, dan jarang diberitakan media; akan tetapi mereka adalah para aktor profesional yang dicari para alumni dan senior di berbagai "sekolah petarung" tersebut.


Quote:



Sementara itu, selain sekolah; orang tua pun juga sama-sama tidak tegasnya. Saya pikir, jika mereka punya anak yang bersekolah di STM/SMA yang bermasalah dengan tawuran. Para orang tua harus lebih ekstra dalam mengawasi para putranya, dan jika suatu saat si anak terbukti mengikuti tawuran; maka orang tua juga harus bisa bersikap tegas. Misalnya dengan memotong uang sakunya.

Sebenarnya di era digital ini para orang tua dimudahkan dalam memilih sekolah yang punya catatan bagus yang siswanya tidak terlibat tawuran, tapi hal ini kemudian menjadi sulit karena sistem zonasi. Misal di dekat tempat tinggal si orang tua hanya ada sekolah negeri yang punya catatan buruk tentang tawuran, maka mau tidak mau si orang tua akan memasukkan anaknya ke sekolah tersebut karena sistem zonasi. Jika ingin pergi ke sekolah yang tidak punya catatan tawuran, pilihannya adalah sekolah swasta. Kalau pergi ke swasta pun biaya yang dikeluarkan tentu tidak sedikit.

Jika yang dipilih si anak adalah sekolah STM (SMK) tentu akan lebih rumit lagi, karena STM swasta pun juga tak lepas dari yang namanya tawuran. Jadi orang tua pun harus lebih jeli lagi untuk memilih sekolah, jika yang diinginkan anaknya adalah sekolah STM (SMK). Kalau dipikir-pikir, jadi dilema dan ruwet kan ?

Selain itu kita kan juga punya menteri yang mengurusi msalah pendidikan di negeri ini, dari dulu sampai sekarang pun menteri-menteri tersebut juga tak pernah membuat gebrakan untuk menghentikan aski tawuran. Padahal aksi tawuran tersebut terjadi di kawasan Ibu Kota tempat tinggal dan kantor sang menteri. Sementara itu bawahannya, yakni para kepala Dinas Pendidikan yang harusnya juga berperan dalam mengatasi masalah tawuran ini juga tak pernah terdengar kontribusinya. Apakah harus menunggu korban berjatuhan lebih banyak dulu baru pihak yang berwenang tersebut akan turun tangan ?


Motif Tawuran Tidak Pernah Jelas


Sampai saat ini tidak jelas apa yang mendasari aksi tawuran pelajar di kawasan Jabodetabek, entah untuk unjuk kekuatan atau hanya karena masalah sepele seperti saling ejek ? Tapi, sejujurnya motif tawuran pun bisa beragam; tergantung niat pelakunya. Baru-baru ini kasus yang sedang hangat terjadi di flyover Pesing, Jakarta Barat. Di mana polisi menetapkan satu orang sebagai tersangka yang membawa senjata tajam, serta menagkap belasan pelajar lainnya. Untungnya tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini.

Menurut polisi para pelajar tersebut berasal dari Jakarta Timur, mereka berdalih datang ke Jakarta Barat untuk "mencari lawan." Pasalnya sekolah mereka merayakan ulang tahun. Aneh kan ? Merayakan ulang tahun sekolah dengan nantangin sekolah lain untuk berkelahi/adu kuat, hal itu hanya bisa kita temui di sini; di Indonesia.

Tapi dari kasus di Jakarta Barat ini kita bisa menarik sedikit kesimpulan bahwa; para pelajar melakukan tawuran untuk unjuk kekuatan. Mereka ingin menjadi nomor 1 di Ibu Kota, dalam urusan tawuran. Apalagi jika mereka bersekolah di mana sekolah mereka punya reputasi "petarung", hal ini akan memengaruhi pikiran para siswa untuk tetap menjaga reputasi tersebut. Dan jangan lupakan para alumni juga, kelompok tak berseragam ini juga terus menerus mendorong para adik-adiknya yang berseragam untuk melanjutkan tradisi tawuran dengan dalih menjaga reputasi dan harga diri.



Pelajar Adalah Pilar Bangsa, Biarkan Generasi Kalian Saja yang Merasakan Perih dan Kengerian Tawuran


Pada tahun 2011 sampai 2012, Komisi Nasional Perlindungan Anak mengatakan kasus tawuran pelajar di kawasan Jabodetabek mencapai 339 kasus, dengan korban tewas mencapai 82 orang. Jumlah itu meningkat tajam dari tahun 2010 sebanyak 128 kasus. Sementara sepanjang tahun 2021 Polresta Bogor menangani 45 kasus tawuran pelajar, 146 pelajar yang terlibat tawuran juga ditangkap. Lima pelajar luka-luka dan dua orang meregang nyawa akibat insiden tersebut. Sementara itu kilas balik ke tahun 2018, 8 pelajar di Ibu Kota pergi menghadap Sang Pencipta akibat tawuran.

Sementara itu jika kita mengetik keyword korban tawuran di Jakarta atau kota lain sekitarnya di Google, maka hasilnya akan mengejutkan. Karena rata-rata dari berita tersebut pasti ada korban tewas minimal satu orang pelajar di seluruh kawasan Jabodetabek. Hal ini membuktikan bahwa, setiap tawuran yang terjadi sudah pasti meminta tumbal nyawa.

Saya pribadi mengharapkan kepada "para alumni petarung" di kawasan Jabodetabek untuk segera tobat dan tidak lagi mengajarkan tradisi tawuran kepada para adik-adiknya. Mereka alumni harusnya bersyukur karena masih bisa selamat dari aksi tawuran semasa sekolahnya, sementara adik-adiknya belum tentu bisa selamat.


Quote:



Adik-adik mereka itu adalah pilar bangsa di masa depan, alumni itu juga harusnya sadar; jika Indonesia saat ini kekurangan SDM (Sumber Daya Manusia) yang terampil. Nah, terlebih lagi para pelaku tawuran didominasi anak STM; yang notabenenya skill mereka ini kelak akan segera dibutuhkan di dunia kerja setelah mereka lulus sekolah. Skill (keahlian) yang saya maksud bukan keahlian membunuh orang atau membacok orang; tapi skill dalam menguasai berbagai jenis ketrampilan sesuai jurusan mereka masing-masing. Mulai dari otomotif, pengelasan, komputer, listrik, elektro dll.

Nah, ketrampilan ini yang harus diasah selama 3 tahun bersekolah. Karena saat ini serbuan pekerja asing itu semakin masif di Indonesia, salah satunya pekerja asing dari Tiongkok. Jangan sampai para pelajar ini kelak hanya akan jadi penonton di rumah sendiri.


Quote:



Sumber Tulisan: Opini dan pengamatan pribadi
Referensi Tulisan: Republika, liputan6.com
& detik.com
Sumber Foto: sudah tertera
priasolehiki
Aramina
EriksaRizkiM
EriksaRizkiM dan 28 lainnya memberi reputasi
29
7.4K
108
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan