Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

anus.baswedanAvatar border
TS
anus.baswedan
Penangkapan Teroris di MUI, Waspadai Proxy AS di Indonesia
JAKARTA, SP – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dayak International Organization (Sekjen DIO) Dr Yulius Yohanes, M.Si, mengingatkan Pemerintah untuk mewaspadai pergerakan proxy Amerika Serikat (AS) di Indonesia.

Tidak menutup kemungkinan proxy AS kembali bergerak, pasca Detasemen Khusus 88 Antiteror Polisi Republik Indonesia, menangkap anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ahmad Zain An-Najah, dan dua orang lainnya, karena terlibat jaringan teroris Jamaah Islamiah (JI) di lokasi berbeda di Bekasi, Provinsi Jawa Barat, Selasa dihinari, 16 Nopember 2021.

“Kita semua tahu di Indonesia, ada proxy Amerika Serikat yang selalu eksis di daerah konflik, di antaranya di Aceh, Poso (SulawesiTengah) dan Papua. Proxy AS, ini, jika tidak diantisipasi, bisa terus-terusan diperalat mengguncang stabilitas politik di dalam negeri,” kata Yulius Yohanes, Senin, 22 Nopember 2021.

Menurut Yulius Yohanes, proxy AS selalu digerakkan, mulai dari organisasi hingga per orangan, langsung menyerang Pemerintahan Presiden Joko Widodo (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024), jika kepentingan AS dan kelompoknya terusik di Indonesia.

Diungkapkan Yulius Yohanes, melihat MUI dalam kondisi sekarang, tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia sejak pemerintahan Presiden Soekarno (17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967).

“MUI itu dibentuk Soeharto tahun 1975 salah satu wadah tokoh-tokoh dari ormas-ormas islam di Indonesia. Kita mesti secara arif dan bijaksana melihat sejarah ke belakang, agar tidak salah langkah di dalam memberantas aksi radikalisme dan terorisme di Indonesia. Saat bersamaan kita harus dukung penuh langkah Pemerintah memberantas aksi radikalisme dan terorisme di Indonesia,” kata Yulius Yohanes.

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia  (PRRI) di Sumatera, Persatuan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi, Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/NII) di Jawa Barat dan Kalimantan Selatan, jika ditelusuri merupakan proxy AS memanfaatkan islam didalam menggerogoti kepemimpinan Prsiden Soekarno, karena bersikeras tidak mau mengeluarkan izin tambang emas dan tembaga di Papua.

Gerakan 30 September (G30S) 1965, berupa pembunuhan 7 jenderal senior Tentara Nasioanal Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) memanfaatkan konflik internal di tubuh TNI-AD, bukti sukses terbesar di dalam sejarah Indonesia, pihak AS berhasil menumbangkan seorang Presiden di Indonesia.

Presiden Soekarno meletakkan jabatannya per 12 Maret 1967, setelah Pidato Nawaksara ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 22 Juni 1966. Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Letnan Jenderal TNI Soeharto, melenggang mulus menjadi Presiden Indonesia sejak 1 Juli 1967 hingga 21 Mei 1998.

Mesti diingatkan pula efektifitas permainan proxy di dalam Pemilihan Umum Presiden Indonesia tahun 2004, tiba-tiba muncul fatwa haram hukumnya pilih presiden jenis kelamin perempuan, sehingga petahana Presiden Megawati Soekarnoputri dengan mudah dikalahkan Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono yang sebelumnya pernah mengenyam pendidikan militer di AS.

Karena itu, Yulius Yohanes, mengharapkan, Presiden Indonesia, Joko Widodo, harus mengutus sejumlah orang untuk melakukan diskusi dengan MUI. Terlepas dari sikap pro dan kontra, tapi MUI jangan sampai terkesan sengaja dibredel, karena pasti ada proxy yang bermain di belakang layar untuk memanfaatkan situasi.

Permainan proxy AS di Indonesia, semakin nampak selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, melalui isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), kriminalisasi sampai sikap anti Pemerintah China dengan berbagai isu hoax yang disebar berulang-ulang.

Tapi jangan lupa, abad ke-21 adalah simbol kemajuan Asia dimotori China, Jepang dan Korea Selatan di dalam tataran global, pada bidang kemajuan ekonomi dan teknologi inovasi.

“Jika abad ke-20 merupakan abad milik Amerika Serikat, tapi abad ke-21 adalah abad milik Asia,” kata Yulius Yohens, mengutip pernyataan Perwakilan Uni Eropa Bidang Hubungan Luar Negeri dan Keamanan, Josep Borell di Jerman, Senin, 20 Mei 2020, “Itu identic dengan China, Jepang dan Korea Selatan.”

“Kalau Indonesia, secara terbuka kurang bijak di dalam berdiplomasi, proxy akan terus-menerus digerakkan. Tujuannya menciptakan instabilitas politik di dalam negeri, karena mesti dipahami Amerika Serikat sangat tidak suka Indonesia dekat dengan China,” kata Yulius Yohanes.

MUI dan Gus Dur

Berita portal voi.id, Kamis, 18 Nov 2021, menurunkan tulisan berjudul: “Gus Dur Kritik Keras MUI”, mengingatkan kita akan posisi MUI sekarang, ini. Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto (1 Juli 1967 – 21 Mei 1998), MUI kental agenda politik. Setelah Soeharto runtuh, MUI justru bak 'polisi keagamaan'.

Fatwa-fatwa intoleran kerap lahir dan sering disambut kecaman ulama. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (Presiden Indonesia, 20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001), salah satunya.

Gus Dur yang meninggal dunia pada 30 Desember 2009, dalam usia 69 tahun, menyebut MUI berpikiran sempit. MUI dianggap tidak mewakili kepentingan umat Islam.

Islam adalah kekuatan besar dalam peta perpolitikan Tanah Air. Keunggulan jumlah dan peran serta umat Islam bagi bangsa dan negara tak bisa ditampik. Barang siapa yang ingin melanggengkan kuasanya di Nusantara harus menggalakkan politik merangkul umat. Bisa lewat organisasi atau partai Islam.

Siasat itu dilakukan untuk mengontrol umat Islam. Itulah yang kemudian dilakukan Soeharto. Soeharto membentuk MUI pada 1975. Organisasi keagamaan itu dibentuk dengan kewenangan terbatas. Saat berdiri, organisasi keagamaan itu tak memiliki kekuatan apa-apa.

MUI hanya dibentuk untuk menjadi penyambung lidah pemerintah dan umat Islam. MUI kerap dianggap sebagai 'tukang stempel' keagamaan pemerintah belaka. Ketika pemerintah Soeharto meminta fatwa halal, MUI langsung menyiapkannya untuk kemudian diumumkan ke umat Islam.

“Soeharto membentuk institusi-institusi lain pula untuk mengontrol serta mengarahkan Islam. Salah satunya yang paling penting adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang didirikan pada 1975. Pada waktu itu, lembaga ini dimaksudkan sebagai sebuah wahana bagi pemerintah untuk mengarahkan Islam dan, di beberapa kalangan Islam, ia distigmatisasi karena alasan ini.”

“Baru setelah kejatuhan Soeharto, MUI menjadi wadah yang memperjuangkan kepentingan Islam --terutama dari kelompok-kelompok yang paling konservatif, Islamis dan Dakwahis-- di hadapan pemerintah. Walaupun pada awalnya mengkritik gagasan untuk membentuk majelis seperti ini, Hamka menerima ketika diangkat menjadi ketuanya yang pertama, tetapi kemudian mengundurkan diri pada 1981 sebagai protes terhadap kurang independennya MUI di depan pemerintah,” M.C. Ricklefs dalam buku Mengislamkan Jawa (2013).

Runtuhnya rezim Soeharto jadi cerita baru bagi MUI. Di era demokratisasi, MUI seperti terlahir kembali. Urusan-urusan kepentingan agama dan umat jadi banyak diperjuangkan. MUI mulai mengubah peran dari Khadim al-hukumah (pelayan pemerintah) menjadi Khadim al-ummah (pelayan umat).

Perubahan itu dirasa selaras dengan konsep dasar demokratisasi yang memberdayakan rakyatnya. MUI juga diberikan kewenangan untuk menentukan sendiri agendanya. Yang mana, sebanyak-sebanyaknya untuk kemaslahatan umat Islam.

Arah fatwa MUI

Di atas kertas, MUI berhasil menjelma menjadi organisasi keagamaan besar yang memiliki taji. MUI lebih fleksibel pada modernitas, demokrasi, hingga Pancasila. Narasi itu berlanjut dengan MUI mulai berdiri mengikuti selera zaman. Dalam fatwa pun begitu.

Fatwanya banyak diterima oleh umat Islam. Tapi, tak sedikit juga yang mengecam fakwa MUI. Lagipula, MUI mengeluarkan fatwa kontra produktif terhadap toleransi antar agama. Terutama kepada aliran Islam yang dianggap sesat. Pemikiran MUI sulit diterima.

“Dalam satu hal jelas, berbagai fatwa "penyesatan" MUl itu menggambarkan betapa penataan kehidupan keberagamaan di Indonesia belum betul-betul on the right track. Betapa fatwa yang sejatinya hanyalah religious opinion itu ternyata bisa menjadi dalih untuk mengkriminalisasi seseorang atau kelompok lantaran keyakinan religiusnya.”

“Dengan bermodalkan fatwa itu pula sejumlah ormas Islam melangsungkan tindak-tindak kekerasan terhadap orang-orang atau kelompok-kelompok keyakinan ‘berbeda’ itu.

Ironisnya, justru para korban yang kemudian ‘diamankan,’ dijadikan tersangka, lalu diadili oleh aparat penegak hukum berdasarkan fatwa-fatwa ‘penyesatan’ MUI itu,” tulis Fawaizul Umam dalam buku Kala Beragama Tak Lagi Merdeka: Majelis Ulama Indonesia Dalam Praksis Kebebasan Beragama (2015).

Kecenderungan MUI sebagai 'polisi agama' mulai dirasakan sebagian besar ulama setelah Soeharto lengser. Salah satu yang paling keras melempar kritik pada MUI adalah Gus Dur. Tokoh Nahdlatul Ulama (NU), yang juga Presiden Republik Indonesia ke-4 itu banyak mengecam fatwa MUI yang dianggapnya adalah hasil dari sempitnya berpikir.

Kasus fatwa haram produk penyedab rasa Ajinomoto, misalnya. Gus Dur tak langsung mengamini fatwa MUI. Sebagai presiden, Gus Dur memilih jalan tengah. Ia memilih untuk menguji terlebih dahulu produk penyedap rasa tersebut.

Gus Dur segera memerintahkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk melakukan pengujian dari produk penyedap rasa yang divonis haram oleh MUI. Hasilnya, kontaminasi lemak babi pada produk penyedap rasa tidak ditemukan.

“Penelitian LIPI memberikan hasil negatif. Tidak ada lemak babi dalam proses dan produk Ajinomoto. Gus Dur mempercayai LIPI, tetapi demi menghindari keributan yang tidak perlu dan tidak diinginkan, ia membiarkan penyedap masakan itu ditarik. Ajinomoto baru boleh dijual lagi setelah MUI diyakinkan bahwa proses produksinya diubah, sehingga produk itu memperoleh sertifikat halal,” pungkas L. Wilardjo dalam buku Damai Bersama Gus Dur (2010).

Dalam kasus lain, Gus Dur turut mengecam fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme agama pada 2007. Menurut Gus Dur, Indonesia bukan suatu negara yang didasari oleh satu agama saja. Pun kemudian MUI bukan institusi yang yang berhak menentukan mana perihal yang benar atau salah.

Sekalipun sudah purna tugas dari kursi presiden, ia tetap berani mengecam MUI yang berpikiran sempit. Sebab, mengetahui kehidupan Indonesia yang majemuk adalah pengetahuan dasar bagi tiap rakyat di pelosok negeri. Karena itu, Gus Dur menyarankan MUI untuk menggunakan narasi Indonesia yang majemuk sebagai alat ukur.

“Menurutnya, pluralisme merupakan keharusan bagi masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Dengan fatwanya, MUI memperlihatkan adanya sikap yang tidak mau tahu dengan toleransi, yang sebenarnya menjadi inti dari kehidupan beragama yang serba majemuk di Indonesia.”

“Ini berarti fatwa MUI membawa masalah baru dalam hubungan antar umat beragama di Indonesia. Pandangan serba sempit yang dimiliki MUI telah menyadarkan kita agar tidak mudah tertipu terhadap sikap yang seolah-olah mewakili umat Islam itu,” ujar Budhy Munawar Rachman dalam buku Argumen Islam Untuk Pluralisme (2010).

Fatwa antipluralisme itu memakan banyak korban. MUI banyak memvonis aliran dalam label sesat. Hal itu membangkitkan amarah kelompok intoleran. Kritik Gus Dur jelas. Karena tiada kasus penyesatan tanpa 'restu' dari MUI. Gus Dur menyebut sikap MUI yang 'salah baca' terkait Indonesia yang majemuk menyebabkan reaksi berlebihan dari kaum muslimin sendiri.

Lantaran itu, kaum muslimin jadi terbakar amarahnya dan menyerang rumah-rumah ibadah suatu aliran yang dianggap sesat. Sebagaimana contoh yang dilakukan pada aliran Ahmadiyah. Fakta itu menegaskan bahwa MUI telah berjalan jauh dari rumusan ajaran Islam yang sebenarnya.

“Saking perhatiannya (kepada MUI) sampai-sampai sering menimbulkan kontroversi yang berani melawan arus, melalui pengalaman intelektual serta spiritualnya yang sulit dijangkau oleh orang awam.”

“Tak tanggung-tanggung, peran, fungsi, posisi, hingga produk hukum yang difatwakan MUI beberapa kali menuai kritik dan evaluasi dari mendiang Gus Dur yang wafat pada 30 Desember 2009 itu, bahkan pada tahun 2007 Gus Dur diberitakan di beberapa media meminta MUl untuk dibubarkan,” tutup M. Zidni Nafi dalam buku Menjadi Islam, Menjadi Indonesia (2018).

KH Nuril Arifin

Pimpinan Pondok Pesantren Abdurrahman Wahid Soko Tunggal, Nuril Arifin Husein atau Gus Nuril (62 tahun) sebagaimana dilansir cnnindonesia.com, Senin, 9 Januari 2017, menyindir MUI dengan menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara yang berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945, bukan hukum agama.

Menurut Gus Nuril, fatwa MUI tidak mengikat di Indonesia sehingga tidak tepat jika ada organisasi kemasyarakatan yang mengawal fatwa MUI.

"Kalau MUI kemudian mengeluarkan fatwa, lalu ada gerakan pengamanan fatwa MUI, maka MUI secara sadar melakukan makar," kata Gus Nuril di Cipinang, Jakarta Timur, Senin, 9 Januari 2017.

Gus Nuril melanjutkan, saat ini ada organisasi massa melakukan tindakan tidak benar dan meminta agar Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia, untuk mengambil sikap terhadap organisasi kemasyarakatan.

Dalam perjalanannya, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) dilarang melakukan aktifitas dalam bentuk apapun terhitung 30 Desember 2020. *

https://www.suarapemredkalbar.com/re...s-di-indonesia
MonkeyMuseum
tepsuzot
Cosmoflip
Cosmoflip dan 3 lainnya memberi reputasi
4
2.1K
68
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan