Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

adlfbefbiAvatar border
TS
adlfbefbi
HERE'S ME [INILAH AKU]
[1] Sekilas Tentang Aku

Angin memanglah sejuk, air pun segar diteguk. Namun, tak selamanya mereka memberikan kenikmatan. Bila kalian salah menggunakan tangan, tak ada yang tak mungkin mereka mengamuk kalian.

Begitu pun aku. I'm friendly, happy, and funny. Tapi, karena sebuah kesalahan yang selalu kuperbuat, kenapa kalian tak ingin kuanggap sahabat? Bahkan sebagai teman pun, aku tak kalian baiat. Haruskah aku menjadi seorang selebritis yang hits, agar kebaikanku kalian gubris?

Ah, aku harus segera membinasakan pikiran menjengkelkan ini bila aku tak ingin terlambat lagi. Kuambil tas di atas mejaku lantas keluar untuk menuju sekolahku.

Oh, pantaskah aku menyebutnya sekolah? Dia bahkan tak memberiku ilmu namun memberiku sejuta musuh. Dia tak menjadikan aku siswa, tapi seorang mafia.

Hah, demi keinginan oma, tak apalah aku sekolah. Aku ingin melihat oma bahagia karenaku. Karena selama aku hidup, aku rasa hanya oma yang berhati nurani. Aku tak ingin membuat oma kecewa.

Kulihat jam yang bertengger di tanganku. Dengan seragam SMA yang tak aku setrika, kerah leher yang kubiarkan terbuka, dasi yang ku ikat di kepala, serta tak lupa seragam yang tak kumasukkan, aku siap menuju tempat yang kusebut neraka kedua sebelum Jahanam.

Aku menaiki motor sport hitam yang telah usai ku panasi. Dengan kecepatan yang kian ku tambah, aku menyusuri jalanan Kota Yogyakarta yang masih basah. Hingga pada suatu perempatan, yang saat itu lampu merah sedang berbinar dengan terangnya, kecepatan tak ku turunkan. Seakan menerobos kobaran api yang menyala.

Apa yang terjadi? Motorku sedikit menyerempet pada sebuah mobil yang tak berdosa. Jangan lupakan juga sorakan para pengendara yang lain. Polisi? Ah, persetan dengan polisi. Jika dengan begini aku bahagia, jangan harap aku berhenti melakukannya. Kulanjutkan perjalananku tanpa mempedulikan ucapan orang yang menggertakku.

Hanya dalam waktu sepuluh menit aku telah sampai tujuan. Ku lepas helm yang melekat di kepala, menyibakkan rambutku yang bertengger di pundak, lalu tak lupa ku ambil kunci motor yang masih menancap dan berjalan menuju gerbang yang sebentar lagi akan ditutup oleh penjaga sekolah. Bel tepat berbunyi saat aku berada di koridor menuju ke kelas.

Aku masuk ke dalam kelas. Tanpa memerhatikan berbagai lirikan sebagai sambutan untukku, aku berjalan menuju bangku belakang paling pojok. Aku tak punya teman sebangku.

You know, lah.. Aku siswa paling ditakuti dan dibenci se-SMA. Bodo amat. Tentang teman, aku trauma jika harus memilikinya. Cukup beberapa tahun silam aku berteman. Seterusnya, jangan dan jangan sampai.

Orang-orang di sekitarku selalu menghinaku. Mencemooh namaku, tanpa mau tau keadaan gumpalan darah di dada kananku ini. Mereka terlalu hafal dengan penampilanku yang bar-bar. Mereka mengira aku ini perempuan tak tau diri yang tak punya hati.

Padahal sejatinya aku begitu ingin tau rasanya disayangi. Ah, tentang rasa itu, sudah bertahun-tahun aku tidak merasakannya. Sudahlah. Ku buang saja impianku yang satu itu. Biarlah waktu yang menjawab penantianku.

Ku lihat jam di depan kelas. Sudah pukul tujuh lebih seperempat, namun belum ada tanda-tanda pelajaran akan dimulai. Sedangkan orang sekelas begitu berisik dan membuat jiwa-jiwa kedamaianku terusik.

"BISAKAH KALIAN DIAM?!" Hening. Sebagian besar dari mereka diam. Dan, yang sebagian kecil dari mereka membalas ucapanku dengan tak kalah sengit.

"HEI IBLIS! LO PIKIR LO SIAPA HAH?!" Tantang seorang lelaki yang tak jauh dari bangkuku.

Bugh! Perkelahian sengit telah ku mulai pagi ini. Aku yang memukulnya? Ah, kalian salah besar. Lelaki itulah yang pertama kali meninju perutku. Sebagai yang tak bersalah, mana mungkin aku rela diinjak-injak?

"BERHENTI KALIAN!" Seorang guru lelaki yang baru datang menuju ke arah kami berkelahi. Guru tambun itu memisahkan aku yang tengah memberi bogeman pada lelaki brengsek di depanku.

Setelah perkelahianku dengan lelaki tadi, guru itu menenangkan keadaan dan menyuruh seluruh siswa untuk duduk. Aku kembali duduk di bangku, dan guru itu tetap tak beranjak dari sampingku.

"Kamu lagi, kamu lagi. Apa kamu tidak bosan, berbuat kekacauan di sekolah, hah?! Ini sekolah, bukan medan perang tempat membuang darah! Bisakah kamu sehari saja berhenti berulah?! Bapak bosan melihat kamu yang terus berbuat kekacauan!"

Ah, aku lagi, aku lagi. Kita sama, pak! Aku juga bosan dengan diriku yang tak pernah absen berulah. Tapi, kenapa sedikit saja bapak tidak melongok ke permasalahan ini? Kenapa bapak tak menanyakan kebenaran dan memilih menumpahkan ocehan padaku?

"Bukan saya yang mulai." Balasku dingin. "Selalu saja begitu. Sebenarnya apa yang ada di pikiranmu itu, Laksmi?!" Akhirnya namaku disebut. Dan aku tau, bila namaku sudah disebut, bisa dipastikan guru di sampingku kini sedang jengkel tingkat dewa.

"Apakah bapak hanya melihat yang terlihat, tanpa mau melihat yang dilihat-Nya?" Aku berucap sembari tersenyum miring. Aku sungguh bosan bila harus menjawab pertanyaan yang kerap kali kudapatkan ini. Sebenarnya apa yang ada di pikiranmu?! Oh, bisakah pertanyaan itu tak kalian lontarkan padaku?

"Apa maksudmu, Laksmi? Kamu selalu membuat keadaan semakin runyam!" Guruku yang satu ini memang benar-benar perlu penegasan. Ah, sudahlah. Sudah cukup aku berdebat dengan dia. Aku memilih mengalah ketimbang meladeni wejangannya.

"Tidak apa-apa, pak. Tadi hanya ada kesalahan kecil. Saya yang salah." Akhirnya aku mengalah. "Apa?! Kesalahan kecil katamu?!" Lelaki yang tadi berkelahi denganku berteriak tak terima.

"Hendrik! Diam!" Guru di sampingku itu menoleh sebentar ke arah Hendrik. Lelaki brengsek itu bernama Hendrik.

"Istirahat nanti, kamu datang ke ruangan saya." Final guru itu lalu beranjak dari tempatnya berdiri. Aku sedikit lega. Akhirnya wejangan dari guru tambun itu telah usai. Walau nanti aku harus ke ruangan guru itu, tak apalah. Toh, biasanya sudah seperti itu.

Selanjutnya guru itu memulai pelajarannya. Aku sama sekali tak paham apa yang di sampaikan. Aku hanya diam, lalu sebentar-sebentar melihat papan tulis, dan selebihnya aku mendengar. Begitulah caraku menghargai guru yang mengajar.

Tapi, aku heran. Kenapa saat aku tak bisa mengerjakan tugas, mereka bilang aku tak mau mengerjakan tugas? Kenapa saat aku tak bisa menjelaskan, mereka bilang aku tak pernah memerhatikan? Apakah itu adil bagiku? Seakan aku adalah sasaran empuk untuk mereka salahkan. Tanpa ingin tau sebuah kebenaran. Salahkah bila aku ingin seperti kalian? Belajar dengan wajar tanpa kekerasan? Sungguh, aku muak dengan ini semua.

Aku tak menyangkal, bahwa dulu aku memang selalu membuat onar. Tapi, kenapa kesalahanku di masa lalu dicap permanen sebagai jati diriku? Apakah mereka tak percaya dengan sebuah keajaiban? Apakah mereka tak mau memberikan aku kesempatan? Apakah mereka tidak percaya bila aku berubah?

###
To Be Continued

Sampai jumpa di chapter berikutnya...
-Laksmi
Diubah oleh adlfbefbi 05-05-2020 08:42
0
283
4
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan