Kalo kita denger kata India, mungkin yang nyangkut di pikiran kita si artis lejen Syahrukh Khan atau Bollywood-nya yang sekarang lagi merajai acara salah satu saluran tivi swasta di Indonesia. Bahkan di rumah ane sendiri tiada hari tanpa Uttaran gan buat hiburan Emak. 

Tapi di balik gemerlap sari dan perhiasan yang selalu dipakai tokoh-tokoh cewek Bollywood, sebenarnya ada kisah yang miris gan sis. Di India yang tergolong patriarkis kerap kali terjadi misogini, yaitu kebencian terhadap kaum perempuan yang ditunjukkan dengan diskriminasi, kekerasan fisik hingga pelecehan seksual. Kenapa bisa gitu? Karena ada suatu adat yang mengharuskan keluarga calon pengantin perempuan untuk membayar mahar yang mahal, sehingga banyak kasus pembunuhan janin dan bayi perempuan di India. Bagi mereka, anak perempuan tak lebih dari sekedar beban, mulut tambahan yang harus dikasih makan. Makanya banyak orang India yang menikahkan anak perempuannya di bawah umur. 

Saat ini suara-suara untuk emansipasi perempuan mulai lantang terdengar di India. Hal ini dipicu karena banyaknya kasus pemerkosaan yang selalu dianggap remeh oleh kepolisian dan pemerintah. Bahkan publik juga cenderung menyalahkan korban atas musibah yang terjadi. Kejadian yang menimpa Jyoti Singh atau lebih dikenal sebagai Nirbhaya mencuri perhatian dunia, memaksa India untuk membenahi peraturan perlindungan kepada perempuan.

Sementara bagi Shyam Sunder Paliwal, seorang mantan kepala desa Piplantri di distrik Rajashtan, ada cara unik untuk melindungi anak-anak perempuan yang terlahir di desanya. Bagi Shyam anak perempuan merupakan anugrah yang harus disayangi dan dijaga. Maka ketika putrinya, Kiran, meninggal di usia 16 tahun dia merasa sangat terpukul. Tragedi itu dia tandai dengan menanam pohon untuk mengenang putrinya. Sejak saat itu dimulailah tradisi unik di desa Piplantri.

Ketika Shyam terpilih menjadi sarpanch (Kades) Piplantri, dia bertekad untuk menghilangkan misogini yang masih marak di desanya. Dia membuat peraturan bagi warganya untuk menanam 111 pohon setiap kali anak perempuan terlahir di sana. Hingga saat ini total pohon yang sudah tertanam mencapai setengah juta pohon. Tradisi ini telah menjadikan tanah Piplantri yang tadinya gersang menjadi subur.

Selain perayaan dengan penanaman pohon, Paliwal juga membuat kebijakan untuk membuat iuran sebagai jaminan masa depan si anak perempuan. Pihak keluarga kebagian 10.000 rupee atau sekitar 2 juta rupiah. Sedangkan pihak desa akan mengumpulkan sebanyak 21.000 rupee atau sekitar 4 juta rupiah. Uang ini kemudian disetorkan ke rekening tabungan tanpa bunga untuk tabungan masa depan sang anak. Pihak keluarga sebagai gantinya harus bertanggung jawab untuk merawat pohon-pohon di Piplantri, menyekolahkan anak perempuannya hingga lulus dan tidak menikahkannya sebelum berumur 18 tahun. 

Wow, timbal balik yang sangat mutualisme ya gan sis. Bisa dicoba nih di Indonesia sini. 

Nah, sebagai bonusnya, mereka juga menanam aloe veraatau lidah buaya di sekitar pohon gan sis. Tujuan awalnya buat menjauhkan rayap dari pohon. Tapi seperti yang kita tahu, lidah buaya punya segudang manfaat. Nah, kesempatan ini digunakan oleh para wanita di desa; janda, gadis-gadis yang belum punya penghasilan sendiri dan istri-istri yang ditinggal Bang Toyib merantau ke ibu kota, untuk mengolah lidah buaya menjadi gel, sari lidah buaya dan acar lidah buaya. Lumayan bisa dapet duit nyampe 1,2 juta per bulan.

Sekarang desa Piplantri dikenal di seluruh dunia berkat keberhasilannya mereboisasi wilayah gersang dan memanusiakan para perempuan India. Semua berkat kasih sayang seorang ayah kepada anak gadisnya.