Maaf kepada bu Megawati yang terhormat. Pemilihan diksi 'amburadul' itu menurutku terkategori berlebihan dan terkesan ada muatan emosi. Coba kita lihat deskripsi dari kata 'amburadul' berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), amburadul itu setara dengan centang perenang, berantakan; dan porak-poranda.

Kemudian ibu juga membandingkan kondisi Jakarta tahun 1950-an dengan kondisi Jakarta saat ini berdasarkan pengalaman pribadi. Ya iyalah bu, tahun segitu ada berapa jumlah penduduk Jakarta? Jumlah penduduknya masih 1,6 juta an bu. sumber.Ya gak cucok bin gak adil kalau dibandingkan dengan saat ini yang jumlah penduduknya sudah lebih dari 10 juta jiwa. Dulu itu lebih mudah ngatur manusianya. Masih mudah mengatur pembangunan fisiknya.

Penyebutan 'amburadul' itu sudah terkategori memberikan penilaian. Alangkah eloknya sebuah pernyataan penilaian dilengkapi dengan alasan yang kuat. Dilengkapi argumentasi yang kuat dan berdasar. Berdasarkan data-data angka yang dapat dipertanggungjawabkan. Kalau Jakarta disebut amburadul, apa alasannya? Kalau menilai berdasarkan pengalaman pribadi dan perasaan ya semua orang bisa bu.

Dan kenapa pernyataan anda saya kritisi? karena anda seorang tokoh masyarakat, seorang publik figure. Harusnya berikan sesuatu yang mencerdaskan dan membangun. Apa langkah-langkah yang tepat untuk membuat Jakarta lebih baik, tertata rapi baik SDM maupun infrastrukturnya? Pertanyaan itu yang harusnya dimunculkan. Fokus maju ke dapan mau melakukan apa.

Oh ya, kembali lagi ke pemilihan diksi 'amburadul' di pernyataan "Tetapi sekarang Jakarta ini jadi amburadul." Menurutku ya itu setara dengan kalimat seperti ini. "Penyerangan secara brutal oleh tim akatsuki membuat desa Konoha amburadul." Nah bayangkanlah seperti apa kondisinya, porak-poranda.

Ya kan bisa sih gunakan diksi yang lebih elegan seperti 'kurang tertata', 'belum rapi' atau yang lain seperti itu.

Maaf ya bu Mega, ini cuma cuap-cuap dariku yang seorang rakyat biasa. Maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan. Semoga ibu gak baper