Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

wokwikwokwikAvatar border
TS
wokwikwokwik
Salah Ketik yang Dimaafkan akan Menjadi Kebiasaan
Manusia tidak pernah luput dari kesalahan. Sebesar dan sekecil apapun, itu pasti ada di dalam segala praktik kehidupan manusia. Tidak peduli pula apa gelar yang tersemat pada manusia, kesalahan akan tetap mengikuti segala gerak-geriknya.

Begitu pula pada para penulis. Mereka juga akan selalu tak lepas dari kesalahan. Salah satu kesalahan yang selalu membayangi tindakan para penulis, adalah salah ketik ataupun juga disebut salah tulis. Kalau dulu, tulisan banyak yang masih diwujudkan dengan goresan tinta dan gerakan (ayunan dan geseran) dari tangan. Namun, kini sudah berbeda. Tulisan sudah dapat dihasilkan melakukan ketukan jemari pada keyboard (di gadget) dan menghasilkan tulisan. Bahkan, kini tulisan itu tidak perlu dicetak (printed) namun juga cukup dengan dipublikasikan melalui media online (uploading) ataupun juga dibagikan melalui perpesanan (chatting) antar orang/kelompok.



Inilah yang membuat kesalahan tulis mulai disebut salah ketik (saltik) -berasal dari aktivitas mengetik di gadget (pc/mobile). Saltik bahkan sering dijumpai pada aktivitas chatting. Baik itu di grup maupun dalam obrolan personal antar satu orang dengan satu orang lainnya.



Mungkin mau latihan wushu perlu mandi dulu ya? (Brillio.net)

Karena, masih dalam ranah bersantai, maka saltik di dalam chatting tidak terlalu dipermasalahkan. Antar individu bahkan saling memahami dan justru menjadikan saltik sebagai bahan lelucon untuk mencairkan suasana obrolan. Menarik, namun pada akhirnya ini menjadi kebiasaan.

Mengapa orang bisa saltik?



Pertanyaan ini tepat diungkap. Meski jawabannya akan sangat variatif, sesuai dengan keuletan orangnya dalam menciptakan alibi terhadap tindakan yang sebenarnya tak disengaja itu. Ada yang mengatakan bahwa saltik bisa disebabkan karena jempol kebesaran (hehehe). Memangnya, seberapa besar jempol kita?


Jawaban pertama itu masih dapat digolongkan sebagai lelucon. Karena, tentu bukan itu yang membuat saltik terjadi. Toh, di zaman now, perangkat gadget kita semakin lebar. Betul? Jika tidak percaya, coba bandingkan ponsel Anda di masa sekarang dengan ponsel Anda beberapa tahun lalu.


Ponsel masa kini. (Ikeni.net)

Begitu pula pada keyboard-nya. Dulu dan sekarang, jelas berbeda. Bahkan, beberapa perangkat ponsel dapat menyediakan fitur menulis cepat (dengan adanya kamus ataupun keyword). Bahkan, jika Anda pengguna tablet, Anda akan mendapatkan fitur menulis dengan gerakan tangan seperti menulis manual (dengan dan tanpa pen-tab atau stylus). Di situ peluang untuk saltik akan sedikit dapat diminimalisir. Bahkan untuk alasan jempol kebesaran, sudah tidak berlaku bukan?

Lalu, apa yang sebenarnya membuat orang (tanpa sengaja) menghasilkan tulisan saltik?
Ada dua hal yang mendasari salah ketik.
Pertama adalah kecepatan menulis. Kedua adalah si penulis tidak membaca saat sedang menulis.



Produk gadget sekarang sudah banyak yang touchscreen-able. (Blog.unnes.ac.id)


Faktor pertama memang pasti akan terjadi dan itu sangat wajar. Karena, dengan gadget (khususnya ponsel) masa kini yang 90% produknya adalah touch screen, maka jemari kita akan sangat leluasa (tanpa kontrol) untuk mengetik dibandingkan ketika masih berwujud keyboard fisik.
Selain itu, ketika masih dalam tindakan chatting, maka, keinginan kita adalah harus segera merespon chat orang lain. Sehingga, mengetik cepat adalah suatu keharusan. Begitu pula jika harus mengetik panjang, maka, sangat diharuskan untuk mengetik lebih cepat dengan harapan agar cepat tuntas. Inilah yang membuat hasil tulisan (selalu) tidak bisa luput dari saltik.


Faktor kedua adalah suatu ironi jika memang hal ini terjadi. Namun, bukan berarti, mata kita seratus persen tak membaca apa yang kita sedang tulis. Namun biasanya bukan soal mata kita yang tidak membaca, melainkan fokus kita yang bermasalah.
Biasanya, ketika menulis, sesuatu yang terjadi pada kita adalah memikirkan apa yang akan kita tulis. Inilah yang membuat mata kita tidak bekerja sebagai pengamat tulisan melainkan hanya melihat apa yang sedang ditulis. Ketika mata hanya melihat, biasanya mata tidak akan memberikan informasi kepada otak. Istilah mudahnya adalah mata kita menatap kosong.
Kita tentu sadar bahwa kita sedang melihat, tapi hanya sekadar melihat saja. Sedangkan jika mata kita sedang bekerja sebagai pengamat, maka, mata kita akan memberikan input pada otak kita untuk juga berpikir terhadap apa yang ditangkap oleh mata. Dari sini, terdapat sinkronisasi antara penglihatan dengan pikiran.
Untuk ranah chatting, hal ini hampir dipastikan tidak begitu diperlukan. Karena, kalau saltik, tinggal minta maaf, selesai urusan. Apalagi jika obrolan itu terjadi dengan orang-orang terdekat. Maka, saltik akan sangat mudah untuk dimaklumi. Namun, bagaimana jika saltik terjadi pada proses penulisan kreatif hingga karya ilmiah?



Inilah yang menjadi persoalannya. Ketika saltik terjadi pada proses penulisan sepenting itu dan berhasil lolos revisi atau kurasi. Maka, tulisan itu akan terlihat cacat. Memang seringkali kejadian ini dimaafkan, namun pada akhirnya menjadikan ini sebagai kebiasaan. Tentu saja merupakan kebiasaan buruk.


Saltik yang terus-menerus terjadi pada akhirnya juga dapat menjadi permasalahan serius. Yaitu ketika tulisan itu diterjemahkan ke dalam bahasa lain, khususnya ke bahasa internasional (Inggris).
Di situlah akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Yaitu salah intepretasi terhadap tulisan. Apalagi jika tulisan itu merupakan artikel penting bahkan mungkin merupakan jurnal akademik.
Bisa Anda bayangkan bagaimana rasanya membaca jurnal internasional dan itu saltik? Pasti akan sangat repot mencari maksud dari tulisan tersebut. Apalagi jika merubah makna secara keseluruhan di dalam kalimatnya -hanya dikarenakan saltik pada satu/dua huruf. Bagaimana?
Dari pengalaman penulis dalam membaca jurnal internasional untungnya tidak ada yang terjadi saltik. Kalaupun semisalnya ada, mungkin saltiknya tulisan internasional tersebut lebih pada kesalahan mengetik kata A menjadi kata B. Misal, di artikel itu bermaksud mengetik kata "heaven" namun yang keluar justru "havana" hanya karena mungkin keseringan mengetik judul lagu Camila Cabello tersebut. (hehehe)
Inilah yang sebenarnya perlu diperhatikan oleh semua penulis. Tidak peduli seberapa tinggi-rendah kasta kita sebagai penulis. Karena selama tujuan dalam menulis itu adalah untuk menghadirkan tulisan yang dapat dibaca semua orang (bahkan orang luar negeri) maka seyogyanya dapat meminimalisir hingga menghilangkan kebiasaan saltik.
Bagaimana caranya agar tidak saltik?


Jika tulisan tersebut adalah berupa karya yang memang ditujukan untuk publik maka jangan pernah mengunggah tulisan tersebut sebelum dibaca minimal dua kali. Sekali dibaca saat sedang menulis dan mulai lupa dengan fokus tulisannya. Maka, di situ penulis wajib kembali ke atas membaca tulisannya dari awal dan sebisa mungkin sangat teliti dalam mengamati setiap katanya. Di kali kedua, penulis membacanya ketika tulisan sudah selesai.
Idealnya lagi adalah dibaca lagi untuk kali ketiga. Yaitu, ketika tulisan itu hendak dipublikasikan. Maka, sempatkan diri untuk kembali membacanya. Selain itu, beri jarak waktu beberapa saat antara pasca tulisan selesai dengan pra tulisan akan dipublikasikan. Idealnya minimal 1 jam dan sudah diselingi dengan satu-dua aktivitas yang mungkin dapat sedikit melupakan topik yang sedang ditulis tadi.
Dari situ, akan kembali muncul hasrat untuk membaca tulisan tersebut dan tentunya akan dibaca dengan teliti. Setelah pembacaan ketiga kali itu, kemungkinan besar tulisan tersebut sudah lolos dari saltik dan layak edar. Apalagi jika dibaca teman dari luar negeri. Maka, tulisan itu akan dapat diterjemahkan dengan tepat tanpa ada kekeliruan arti.


"No chatting, no day!" ^^. (Sumber.com)





Jika saltik masih terjadi, maka upayakan untuk mulai membiasakan diri menghindari saltik di dalam kegiatan chatting. Satu hal yang membuat saltik semakin sering terjadi sebenarnya karena rutinitas mengetik kita semakin intensif dan itu terjadi dengan wujud chatting. Maka dari itu, tekankan prinsip anti saltik sejak di ranah chatting. Memang sulit, tapi jika itu dilakukan secara berkelanjutan, tentunya tidak akan menjadi suatu hal yang berat.


Bagaimana supaya tidak saltik saat chatting?
Latihlah mata Anda untuk terbiasa membaca (secara jeli) sambil menulis. Tentunya juga hindari kesegeraan dalam memencet tombol kirim ketika tulisan itu sudah selesai. Kalau masih hanya sekadar sebaris-dua baris kalimat, maka tak perlu merasa repot untuk membacanya lagi sebelum memencet tombol kirim.


Mungkin efek nonton drama Hareem ya? emoticon-Big Grin. (Brillio.net)


Jika pada chatting panjang ternyata ada yang masih saltik. Segera ralat dan jangan lupa untuk minta maaf, baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Usahakan pula untuk berjanji tidak mengulanginya. Atau segera cari cara agar dapat menghindari saltik di kesempatan yang lain.


Jangan mengetik sambil tiduran! (Tekno.tempo.co)


Satu cara terakhir agar dapat menghindari saltik adalah mengetiklah dengan posisi ternyaman. Bukan berarti senyaman tubuh kita, namun senyaman tangan kita untuk mengetik. Melalui sikap kita yang penuh pengertian terhadap tangan kita itu, maka tangan kita juga akan dapat memberikan performa terbaiknya khususnya dalam hal mengetik. Tidak percaya?

Tulungagung, 23 Juni-13 Juli 2019
Deddy Husein S.


https://www.kompasiana.com/deddyhs_1...saan?page=all


ini dari google , Wan bud dinobatkan Gubernur salah ketik 
anasabila
sebelahblog
4iinch
4iinch dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1.7K
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan