Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

itanovita6Avatar border
TS
itanovita6
Protes Hong Kong dan Indonesia: Masalah Serupa yang Dihadapi Pemimpin


Dalam menghadapi protes, para pemimpin Hong Kong dan Indonesia harus menjaga keseimbangan yang kini dalam keadaan genting. Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam terperangkap di antara model “satu negara, dua sistem,” sementara Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo harus menyeimbangkan antara aspirasi rakyat dan kepentingan politik.

Seperti Hong Kong, Indonesia baru-baru ini mengalami protes jalanan terbesar dalam beberapa dekade. Ada beberapa kesamaan yang terlihat di antara kedua gelombang protes tersebut.

Meskipun penduduk Hong Kong sebagian besar memprotes campur tangan politik oleh China yang otoriter ke dalam wilayah mereka—yang terwujud nyata dalam langkah untuk mengubah RUU Ekstradisi—namun penyebab utama yang mendasari protes tersebut adalah biaya perumahan yang mahal akibat cengkeraman pengembang properti swasta atas pasar.

Di Indonesia, mahasiswa turun ke jalan di kota-kota besar di Indonesia pada akhir bulan September 2019, untuk memprotes Revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), yang dipandang mengisyaratkan kemunduran Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo dari komitmennya terhadap reformasi ekonomi dan politik, yang telah mendorongnya untuk memenangkan masa jabatan kedua di Pilpres 2019.

Para demonstran memusatkan perhatian pada Revisi UU KPK yang akan melemahkan kinerja KPK, dan RKUHP yang akan mengusulkan hukuman berat bagi sejumlah pelanggaran seperti menghina martabat presiden dan hubungan seksual konsensual di luar nikah. Dalam bidang ekonomi, agenda protes digalakkan oleh oposisi populer terhadap upaya memberikan lebih banyak kekuatan bagi kepentingan bisnis atas lahan, pertambangan, dan sumber daya lainnya di Indonesia melalui RUU Pertanahan maupun RUU Minerba.

Sama halnya dengan Hong Kong yang menyaksikan tantangan terbesarnya terhadap kekuasaan China sejak serah terima dari Inggris tahun 1997, demonstrasi Indonesia kali ini adalah yang terbesar sejak Reformasi tahun 1998 mengakhiri otokrasi Orde Baru mantan Presiden Suharto selama 32 tahun.

Ada perbedaan ironis antara kedua rangkaian protes tersebut. Para pengunjuk rasa Hong Kong menentang erosi terus-menerus terhadap kebebasan yang dinikmati wilayah tersebut di bawah kekuasaan Inggris.

Sebaliknya, para demonstran Indonesia mengecam otoritas Jokowi selaku presiden yang terpilih secara demokratis dan sistem politik yang telah mewakili pembebasan Indonesia dari praktik otoriter era Suharto. Protes bulan September 2019 terjadi sebelum Jokowi dilantik untuk masa jabatan kedua tanggal 20 Oktober 2019, dan telah didahului oleh kerusuhan bulan Mei 2019 yang memprotes kemenangan Jokowi.

Mungkin saja ada kekuatan tersembunyi di kedua krisis ini. Dipercaya secara luas bahwa para pengunjuk rasa yang kejam di Hong Kong—tidak seperti mayoritas demonstran yang damai—bekerja untuk pasukan bayangan yang identitasnya mungkin tidak akan pernah diketahui. Di Indonesia, Jokowi dianggap mewakili ancaman demokrasi terhadap kebangkitan persona politik era Suharto. Sayangnya, Jokowi dinilai telah mengecewakan para pendukungnya yang merindukan stabilitas politik dan kesejahteraan rakyat.

Namun, seperti di Hong Kong, keluhan politik dan ekonomi di Indonesia sangat sulit dipahami oleh elit penguasa.

Hal ini karena ada kontradiksi dalam kedua kasus. Tantangan mendasar Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam Cheng Yuet-ngor adalah harus memenuhi tuntutan yang berlawanan di bawah formula “satu negara, dua sistem.” Dengan mandat nasionalnya, pemerintahan China secara alami berfokus pada bagian “satu negara” semata.

Namun, mengingat keinginan mereka untuk otonomi yang berkelanjutan, warga Hong Kong yang tidak puas menekankan upaya pengawalan terhadap aspek “dua sistem” yang tidak bisa dikompromikan. Secara teoretis, seharusnya tidak mustahil untuk menyeimbangkan kedua tuntutan berbeda itu, karena formula tersebut telah bekerja dengan baik pada awalnya dan selama bertahun-tahun sesudahnya. Namun, ketika “satu negara” mulai mengganggu “dua sistem,” kompromi yang telah bertahan selama ini pun akan runtuh.

Karena warga Hong Kong arus utama tidak menuntut otonomi yang lebih besar maupun restorasi kebebasan yang telah terkikis, namun hanya meminta upaya pelestarian hak-hak yang masih ada, China berkewajiban untuk menghormati prinsip “dua sistem,” bahkan ketika China menuntut secara sah agar Hong Kong berpegang teguh pada bagian “satu negara.”

Dikutip dari South China Morning Post, Rabu (16/10), Lam terjebak karena otoritasnya berasal dari Hong Kong, sementara kekuatannya berasal dari pemerintah pusat China di Beijing. China tidak harus memikul tanggung jawab, tetapi melakukan veto diam-diam atas tindakan Lam, yang dampaknya dirasakan oleh warga Hong Kong yang dapat melampiaskan kemarahan mereka hanya pada Lam dan pemerintahnya.

Kontradiksi-kontradiksi tersebut muncul tidak tertalu kentara di Indonesia, meski gejolaknya masih tetap dapat dirasakan.

Jokowi memimpin koalisi ideologis yang tidak mudah di kalangan liberal kiri, yang menuntut reformasi ekonomi dan ruang politik pro-rakyat untuk kebebasan berpikir dan berekspresi; sekuler kanan yang terdiri dari sisa-sisa rezim Suharto yang mendukung kepentingan korporasi Indonesia dan undang-undang yang mengistimewakan stabilitas politik; serta kelompok ketiga religius kanan, yang konservatif secara ekonomi dan politik tetapi dukungannya bergantung pada tingkat Islamisasi di Indonesia.

Kalangan liberal kiri dan religius kanan mewakili kekuatan massa, sementara sekuler kanan menandakan jalinan bisnis-militer-birokrasi yang kuat di bawah Suharto hingga kekuatan massa—terutama kaum liberal kiri tetapi tanpa oposisi dari religius kanan keagamaan—menggulingkannya dan mengedepankan jalinan ketiganya secara harmonis.

Sama seperti Lam yang tidak dapat mengasingkan China atau Hong Kong—meskipun keduanya memiliki kemampuan untuk menghancurkan Lam—masalah Jokowi adalah bahwa ia tidak dapat melepaskan salah satu dari tiga konstituensi yang saling bersaing, meskipun kalangan liberal kiri dan religius kanan dapat membuat kepresidenannya tidak dapat dipertahankan, sementara sekuler kanan dapat menumbangkan kekuasaannya dari dalam.

Yang terbaik yang bisa diharapkan Jokowi adalah merangkul dua dari tiga kekuatan itu. Akibatnya, Jokowi akan dipaksa untuk memilih kombinasi dari sekuler kanan dan religius kanan untuk mempertahankan cengkeramannya atas istana dan politik jalanan. Liberal kiri mungkin terpaksa dibiarkan gagal memperjuangkan aspirasi mereka.

Di Hong Kong dan Indonesia, para pemimpin diharapkan dapat berjuang dengan segenap kekuatan politik mereka untuk menegakkan dorongan demokrasi rakyat yang melegitimasi otoritas mereka dan menjustifikasi kekuasaan mereka. Lam dan Jokowi bisa gagal, tetapi mereka tidak boleh menyerah begitu saja.



Spoiler for Sumver:



Mirip-mirip demonya, karena ga suka peraturan baru
Diubah oleh itanovita6 16-10-2019 15:55
tien212700
tien212700 memberi reputasi
1
1.4K
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan