Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

gilbertagungAvatar border
TS
gilbertagung
Habibie dan Proses Demokratisasi Indonesia



Berbicara soal Bacharuddin Jusuf Habibie, kebanyakan orang akan membincangkan soal pencapaiannya dalam bidang kedirgantaraan. Namun, saya lebih tertarik membahas mengenai pondasi bagi reformasi dan demokratisasi yang dibangunnya selama periode yang relatif singkat sebagai presiden.

Klik gambar untuk menuju sumber gambar

Masa Kepresidenan


Habibie menjadi presiden per 21 Mei 1998. Ia menjadi presiden dalam kapasitasnya sebagai wakil presiden yang sedang menjabat saat Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan yang telah diemban selama 31 tahun. Ini sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 yang berbunyi "Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya." Namun oleh sebagian pihak dianggap tidak memenuhi Pasal 9 yang berbunyi "Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat...". Habibie disumpah di depan Ketua Mahkamah Agung. Habibie menjabat presiden selama 518 hari hingga 20 Oktober 1999.

Habibie menyadari bahwa ia tidak dipercayai sepenuhnya oleh rakyat dan kaum reformis sebab ia lama menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi (1978-1998) dan juga Wakil Presiden (1998) di bawah Presiden Soeharto sehingga ia juga diasosiasikan dengan rezim Orde Baru yang baru saja ditumbangkan. Untuk itu, Habibie harus menunjukkan bahwa pemerintahannya pro terhadap proses reformasi dan demokratisasi yang sedang berlangsung. Inilah berbagai langkah reformis dan demokratis yang diambil Habibie.

Pembebasan Tahanan Politik dan Pencabutan Status DOM


Habibie membebaskan beberapa orang tahanan politik selama menjabat presiden. Pada Juni 1998, Habibie mengeluarkan Keputusan Presiden nomor 85 tahun 1998 yang memberikan amnesti kepada 8 orang tahanan politik berkaitan dengan Timor Timur, yaitu Cancio AH Guterres, Thomas Agusto, Antonio Freitas, Jose Gomez, Hermenigildo da Costa, Luis Pereira, dan Bendito Amaral. Sementara itu, abolisi diberikan kepada 6 orang lainnya yaitu Juvenal do Santos Monis, Fransisco de Deus, Domingos da Silva, Silvereiro Baptista Ximenes, Vicente Marques, dan Bernadino Simao.

Kemudian pada Agustus 1998, Habibie memberikan grasi kepada 3 tahanan politik berkaitan dengan Pemberontakan Gestapu 1965, yaitu Manan Effendi, Alexander Warrouw, dan Pudjo Prasetyo. Ini diatur dalam Keputusan Presiden nomor 42/G/1998.

Pada Januari 1999, 65 tapol lainnya memperoleh grasi, abolisi, amnesti, atau rehabilitasi.

Pada 7 September 1999, Xanana Gusmao, tokoh perjuangan kemerdekaan Timor Timur yang dipenjara sejak 1993, dibebaskan.

Habibie juga mencabut status Daerah Operasi Militer di Daerah Istimewa Aceh yang telah diberlakukan sejak 1989 pada Agustus 1998.

Selamat Tinggal SIUPP


Habibie mengangkat Letnan Jenderal (Purn) Yunus Yosfiah sebagai Menteri Penerangan dalam kabinetnya yang disebut Reformasi Pembangunan.

Di bawah kepemimpinnya, Departemen Penerangan mengambil langkah drastis. Yang paling berdampak adalah pencabutan keharusan memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang diatur dalam Peraturan Menteri Penerangan nomor 1 Tahun 1984 tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin  Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).

Sebelumnya, SIUPP menjadi momok menakutkan bagi pers dan dianggap menjadi alat pemerintah untuk mengendalikan pers. Ambil contoh pembredelan Majalah Tempo pada 1994.

Pada edisi 7 Juni 1994, Majalah Tempo menurunkan laporan mengenai pembelian 39 kapal perang eks-Jerman Timur. Pangkal perdebatan adalah harga pembelian kapal tersebut : dari 12,7 juta dolar AS membengkak menjadi 1,1 miliar dolar AS. Pemberitaan ini membuat Soeharto marah. Menteri Penerangan Harmoko kemudian menetapkan pencabutan izin Tempo dan 2 majalah lainnya pada 21 Juni 1994. Tempo akhirnya terbit kembali pada Oktober 1998 seiring dengan pencabutan Permen mengenai SIUPP.

Pada masa Habibie, UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers disahkan dan memastikan tak ada lagi bredel ataupun penutupan terhadap media massa seperti sebelumnya.

Setelahnya, begitu banyak harian, tabloid, dan majalah yang terbit di Indonesia. Sebagian mengapresiasi langkah ini karena memberi jalan bagi proses demokratisasi, sebagian mengkritik karena dianggap terlalu bebas dan dinilai kebablasan.

Kebebasan Berpolitik dan Pemilu yang Dipercepat


Sejak 1973, hanya ada 2 partai politik yang diizinkan untuk berdiri di Indonesia dan bersama sebuah organisasi sosial politik bernama Golkar, menjadi peserta pemilu dari 1977 hingga 1997. Berkat kebijakan Soeharto, Golkar selalu meraih kemenangan mutlak dan mendominasi DPR.

Keadaan ini berubah drastis pada 1999. Golkar menjadi partai politik dan tidak lagi bersaing dengan hanya 2 partai, tetapi 47 partai politik untuk memperebutkan 462 kursi DPR periode 1999-2004.

Habibie, yang merupakan anggota Golkar, merancang Undang-undang baru untuk menggantikan 5 UU yang disahkan tahun 1985 dan dianggap sebagai belenggu bagi demokrasi yaitu UU nomor 1 tahun 1985 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, UU nomor 2 tahun 1985 tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UU nomor 3 tahun 1985 tentang Partai Politik Dan Golongan Karya, UU nomor 5 tahun 1985 tentang Referendum, dan UU nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Dari lima produk hukum di atas, hanya UU nomor 8 tahun 1985 yang tidak dicabut pada masa Habibie. 4 UU lainnya dicabut dan diganti pada masa pemerintahan Habibie : UU nomor 1 tahun 1985 dicabut dengan UU nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, UU nomor 2 tahun 1985 dicabut dengan UU nomor 4 tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UU nomor 3 tahun 1985 dicabut dengan UU nomor 2 tahun 1999 tentang Partai Politik, dan UU nomor 5 tahun 1985 dicabut dengan UU nomor 6 tahun 1999 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum. UU nomor 8 tahun 1985 baru dicabut pada 2013 dengan UU nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Selain itu, pemerintahan Habibie, lewat UU nomor 2 tahun 1999 memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk mendirikan partai politik. Namun, partai beraliran komunisme tetap dilarang berdiri. UU nomor 3 tahun 1999 juga mempercepat waktu penyelenggaraan pemilu berikutnya dari 2002 ke 1999. Sebagai konsekuensinya, masa jabatan anggota DPR hasil pemilu 1997 berakhir pada 30 September 1999 dan masa jabatan Habibie juga dipangkas menjadi hanya sampai 20 Oktober 1999.

141 partai politik mendaftar sebagai peserta pemilu ke Komisi Pemilihan Umum, termasuk 3 peserta pemilu 1997. Namun, hanya 48 partai politik yang akhirnya lolos untuk berlaga.

Pemilu 1999 dilaksanakan pada 7 Juni 1999. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri menang dengan 35.689.073 suara dan 153 kursi DPR. Golkar, di mana Habibie merupakan salah satu anggotanya, lengser ke posisi ke-2 dengan 23.741.749 suara dan 120 kursi DPR.

Dengan kursi Golkar yang tidak lagi mayoritas, plus lepasnya Timor Timur melalui referendum 30 Agustus 1999, pidato pertanggungjawaban Habibie yang dibacakan pada 14 Oktober 1999 ditolak MPR hasil pemilu 1999 pada 20 Oktober 1999 berdasarkan hasil pemungutan suara yaitu 355 suara menolak, 322 suara menerima, 9 suara abstain, dan 4 suara tidak sah. Hasil ini dibacakan Ketua MPR, Amien Rais.

MPR ini pun memilih Abdurrahman Wahid sebagai Presiden ke-4 RI dan Megawati sebagai wakil presiden. Habibie, meski masih diperbolehkan untuk ikut dalam pemilihan presiden di MPR, memutuskan tidak ikut serta setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak.

Masa kepresidenan Habibie berakhir pada 20 Oktober 1999.

Konon, pemikiran Habibie mengenai demokrasi didapat dari Helmut Schmidt, kanselir Jerman Barat periode 1974-1982 yang dikenal baik oleh Habibie. Apalagi, Jerman (Barat) memiliki kondisi demokrasi dan kebebasan pers yang baik, sebuah reaksi atas belenggu terhadap keduanya selama era berkuasanya NSDAP pimpinan Adolf Hitler. Habibie menyebut Schmidt sebagai "Bapak Intelektual" baginya.


Demikian threaddari saya kali ini.
Meski pemerintahannya harus berakhir begitu cepat, Habibie berhasil meletakkan dasar bagi demokratisasi Indonesia. Kita kini hanya dapat berdoa agar Habibie dapat beristirahat dengan tenang di alam baka. Terima kasih telah membaca thread ini dan semoga hari Anda menyenangkan.


Referensi I
Referensi II
[URL=https://jdih.kemenkeu.go.id/fullText/1945/UUDTAHUN~1945UUD.HTM]Referensi III[/URL]
Referensi IV
Referensi V
Referensi VI
Referensi VII
Referensi VIII
Referensi IX
Referensi X
Referensi XI
Referensi XIII
Referensi XIII
Referensi XIV
Referensi XV
Referensi XVI
Referensi XVII
Referensi XVIII
Referensi XIX
Referensi XX
Referensi XXI
Referensi XXII



Diubah oleh gilbertagung 14-09-2019 10:48
comrade.frias
anasabila
Gresta
Gresta dan 2 lainnya memberi reputasi
3
766
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan