yesknowAvatar border
TS
yesknow
Ditolak Publik Berkali-kali, Revisi UU KPK Muncul Lagi


Jakarta - Usulan revisi UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengemuka lagi di DPR. Wacana revisi UU KPK sudah berulangkali diusulkan, namun selalu kandas di tengah jalan karena penolakan.

Sebagaimana diketahui, berdasarkan agenda resmi rapat akan digelar di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (5/9) besok. Agenda rapat ialah pandangan fraksi-fraksi terhadap RUU usul Badan Legislasi (Baleg) DPR tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dilanjutkan dengan pengambilan keputusan menjadi RUU usul DPR RI.

Dalam rapat paripurna nanti, fraksi-fraksi di DPR akan mengemukakan pendapatnya apakah revisi UU KPK akan disahkan menjadi RUU usulan DPR. Itu berarti draf revisi UU KPK berasal dari DPR.

Bila disepakati, maka pembahasan revisi UU KPK akan berlanjut. DPR nantinya akan mengundang pihak pemerintah untuk membahas revisi UU ini.

Pada Rabu (4/9/2019) detikcom merangkum wacana revisi UU KPK yang sering mendapat penolakan. Wacana ini kerap timbul-tenggelam. Berikut ini catatannya:

2010 - 2012: Era SBY

Revisi UU KPK untuk pertama kalinya mulai diwacanakan pada 26 Oktober 2010. Ide revisi UU KPK itu diusulkan oleh Komisi Hukum DPR. Pada 24 Januari 2011, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso dari Golkar menulis usulan RUU KPK. Priyo saat itu juga meminta Komisi III menyusun draft naskah akademik dan RUU KPK. RUU itu masuk Prolegnas prioritas 2011.

Baca juga: UU KPK Mau Direvisi, Anggota Komisi III: Salah Satu Poinnya SP3

Ada sepuluh poin yang menjadi isu krusial, antara lain: 
- kewenangan KPK merekrut penyidik dan penuntut, 
- fokus pada agenda pemberantasan korupsi yang harus dipertegas, 
- wewenang menyadap, 
- wewenang meminta laporan harta kekayaan penyelenggara negara, 
- kewenangan KPK melakukan penyitaan dan penggeledahan, 
- menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), 
- berkaitan dengan prinsip kolektif kolegial kepemimpinan KPK, 
- prioritas kerja KPK dalam bidang pencegahan atau penindakan harus dipertegas, 
- kesembilan adalah fokus penindakan KPK untuk kasus dengan ukuran tertentu, apakah fokus ke kasus-kasus besar atau tidak, fokus KPK untuk menyelamatkan uang negara atau ingin menghukum pelaku korupsi.

Pada 23 Februari 2012, muncul Naskah Revisi UU KPK yang diduga berasal dari Badan Legislasi DPR. 


Dalam naskah tersebut dijelaskan bahwa kewenangan penuntutan KPK hilang, penyadapan harus izin ketua pengadilan, 
pembentukan dewan pengawas, kasus korupsi yang ditangani hanya di atas Rp 5 Miliar.

Berdasarkan risalah rapat pleno Komisi II pada 3 Juli 2012, ada tujuh tujuh fraksi di DPR menyetujui revisi UU KPK dan UU Tipikor. Ketujuh fraksi tersebut adalah Fraksi Partai Demokrat, Golkar, PAN, PKB, PPP, Gerindra, dan Hanura. Sementara PDI Perjuangan menolak revisi, dan PKS memilih tak bersikap.

Rapat pleno lanjutan Komisi III DPR pada 4 Oktober 2012 menghasilkan persetujuan untuk terus melanjutkan Revisi UU KPK. Yakni pada poin pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi oleh Badan Legislasi DPR RI.

Baca juga: Begini Upaya DPR Merevisi UU KPK Sejak 2010 Hingga 2016

Menanggapi dinamika ini, Presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) langsung menyatakan sikapnya pada 8 Oktober 2012. SBY menilai revisi UU KPK ketika itu waktunya belum tepat.

"Sampai saat ini saya tidak tahu konsep DPR untuk merevisi UU KPK itu. Jika ternyata itu untuk memperkuat KPK dan lebih efektif. Saya pada posisi yang siap untuk membahasnya. Tapi untuk saat ini belum tepat," ujar SBY kala itu.

Hingga pada akhirnya, rencana revisi UU KPK ini kandas juga. Pada 16 Oktober 2012 Panitia Kerja (Panja) Revisi UU KPK menghentikan pembahasan revisi UU KPK. Semua Fraksi Parpol DPR menolak Revisi UU KPK.

2015 - Sekarang: Era Jokowi

Pada 9 Februari 2015 keluar Surat Keputusan DPR tentang Program Legislasi Nasional 2015-2019 dan Program Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2015. Surat dengan Nomor 06A/DPR/II/2014-2015 ditandatangani oleh Ketua DPR Setya Novanto. Revisi UU KPK tercantum dalam nomor urut 63 dan diusulkan oleh DPR.

Lantas, pada 23 Juni 2015 dalam sidang Paripurna, seluruh Fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) bersepakat untuk memasukkan Revisi UU KPK dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2015.

Tak lama berselang, draf naskah Revisi UU KPK yang patut diduga berasal dari gedung Parlemen di Senayan beredar. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sedikitnya terdapat 17 (tujuh belas) hal krusial dalam Revisi UU KPK versi Senayan yang melemahkan KPK. Mulai dari usulan pembatasan usia institusi KPK hingga 12 tahun mendatang, memangkas kewenangan penuntutan, mereduksi kewenangan penyadapan, membatasi proses rekruitmen penyelidik, dan penyidik secara mandiri hingga membatasi kasus korupsi yang dapat ditangani oleh KPK.


Novanto bilang ditunda

Pada 13 Oktober 2015, Pemerintah dan DPR sepakat menunda pembahasan Revisi UU KPK. Ketua DPR, Setya Novanto menyatakan penundaan ini dilakukan lantaran DPR masih fokus membahas RAPBN 2016, yang harus disahkan pada rapat paripurna 30 Oktober 2015.

Tetap ada di prolegnas

Pada 27 November 2015 Baleg DPR dan Menkumham Yasonna Laoly menyetujui Revisi UU KPK menjadi prioritas yang harus diselesaikan pada tahun 2015. DPR beralasan revisi UU KPK penting dilakukan untuk menyempurnakan kelembagaan KPK. Revisi UU KPK menjadi usulan Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan draf RUU pengampunan pajak (tax amnesty), menjadi inisiatif pemerintah.



Jokowi menanggapi

Melihat dinamika rencana revisi UU KPK ini, Presiden Jokowi kemudian bersikap. Jokowi menyebut ide revisi UU KPK itu datang dari DPR.

"Soal revisi Undang-Undang KPK, inisiatif revisi adalah dari DPR. Dulu juga saya sampaikan, tolong rakyat ditanya, Semangat revisi Undang-Undang KPK itu untuk memperkuat, bukan untuk memperlemah," kata Jokowi pada 2 Desember 2015.

Revisi UU KPK masuk uji kelayakan

Selama 14-16 Desember 2015, materi Revisi UU KPK masuk dalam materi pertanyaan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon Pimpinan KPK periode 2015-2019. Uji kelayakan dilakukan oleh Komisi Hukum DPR. Kemudian, DPR RI memutuskan untuk memasukkan Revisi UU KPK dan RUU Pengampunan Pajak (tax amnesty) dalam Prolegnas 2015. Keputusan yang dilakukan secara mendadak di hari-hari akhir masa sidang anggota DPR RI, yang akan reses pada 18 Desember 2015.

Kembali masuk prolegnas

Berganti tahun, pada 26 Januari 2016 DPR kembali menyepakati untuk memasukan revisi UU dalam Prolegnas 2016. Hanya Fraksi Partai Gerindra yang menolak Revisi UU KPK.

Pada 1 Februari, revisi UU KPK mulai dibahas dalam rapat harmonisasi Badan Legislasi di DPR RI. Anggota Fraksi PDI-P Risa Mariska dan Ichsan Soelistyo hadir sebagai perwakilan pengusul revisi UU tersebut. Ada 45 anggota DPR dari 6 fraksi yang menjadi pengusul Revisi UU KPK. Sebanyak 15 orang dari Fraksi PDI-P, 11 orang dari Fraksi Nasdem, 9 orang dari Fraksi Golkar, 5 orang dari Fraksi PPP, 3 orang dari Fraksi Hanura, dan 2 orang dari Fraksi PKB. Namun agenda revisi UU KPK ini tiba-tiba tenggelam.


Wacana revisi UU KPK hidup lagi

Lama tak terdengar, wacana revisi UU KPK hidup lagi. Pada tahun 2017, Badan Keahlian DPR saat menggelar sosialisasi revisi UU KPK sejumlah kampus.

"Benar. Kami sudah ke Universitas Andalas, di Jakarta sudah ke Universitas Nasional, dan akan kami lanjutkan ke beberapa universitas lagi.
Nanti setelah ini kami ke UGM, dalam waktu dekat ke sana," ujar Ketua Badan Keahlian DPR Johnson Rajagukguk saat dikonfirmasi, Jumat (3/3/2017).

Masih pada tahun 2017, wacana Revisi UU KPK kembali menguat usai Pansus Hak Angket KPK menyampaikan 11 temuan sementara berdasarkan hasil kerja pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK.

Salah satu poin temuan itu menyebut KPK yang dibentuk bukan atas mandat Konstitusi akan tetapi UU No. 30 Tahun 2002 sebagai tindak lanjut atas perintah Pasal 43 UU 31 Tahun 1999 sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sudah sepatutnya mendapatkan pengawasan yang ketat dan efektif dari lembaga pembentuknya (para wakil rakyat) di DPR secara terbuka dan terukur.

Menanggapi temuan ini, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah memastikan akan melakukan revisi UU KPK. Menurutnya, ada banyak penyimpangan dalam temuan pansus.

"Jadi memang Presiden Jokowi dan Pak JK sudah harus memulai membaca laporan sementara dari temuan angket. Saya kira Istana mengikuti dengan baik perkembangan yang terjadi di DPR dan harus dipandang secara positif. Kalau revisi (UU KPK) itu sudah pastilah, karena penyimpangan sudah terlalu banyak," ujar Fahri di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (23/8/2017).

Wacana revisi UU KPK ini kemudian tenggelam lagi dari pemberitaan. Wacana revisi UU KPK kini kembali menghangat ketika Kamis (5/9/2019) DPR ingin melakukan rapat terkait revisi UU KPK.

Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu menyebut salah satu wacana yang akan dibahas dalam revisi UU KPK yakni pemberian kewenangan menerbitkan SP3 atau surat perintah penghentian penyidikan. Dia juga menilai revisi UU KPK perlu dilakukan agar sesuai dengan perkembangan zaman.

"Ya salah satunya emang itu, poin SP3," kata Masinton kepada wartawan, Rabu (4/9/2019).

"Seumpama dengan pemberian kewenangan SP3, karena sampai saat ini ada beberapa kasus di KPK itu yang belum bisa di apa, ya tidak bisa, yang tidak jelas status ininya, tak dibawa ke pengadilan dan juga tak bisa dihentikan karena KPK oleh UU tidak memiliki kewenangan SP3. Itu ada yang tersangka bertahun-tahun," lanjut Masinton.


https://news.detik.com/berita/d-4694...m=wp_hl_judul#

================================================

- emang maling gak butuh makan ?
- emang maling gak butuh sejahtera ?
- emang maling gak butuh aman ?
- emang maling gak butuh nyaman ?

begitu kira2 kata mereka emoticon-Big Grin
Diubah oleh KASKUS.HQ 05-09-2019 01:30
ziont
rizaradri
darwinsilb
darwinsilb dan 5 lainnya memberi reputasi
6
4.8K
46
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan