Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

djalanloeroesAvatar border
TS
djalanloeroes
Pertemuan Jokowi-Prabowo: Demi Pilpres 2024, Prabowo Tinggalkan Rizieq Shihab
Momen yang paling ditunggu-tunggu rakyat Indonesia akhirnya terwujud. Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Prabowo Subianto, penantangnya di Pilpres 2019, akhirnya terjadi di Stasiun MRT. Pertemuan “bersejarah” ini diharapkan dapat menurunkan tensi politik yang keras selama pilpres berlangsung dan menjadi jalan rekonsiliasi anak bangsa yang sempat terpecah.

Spoiler for Pertemuan Jokowi-Prabowo:



Apa arti pertemuan ini dari sisi komunikasi politik? Pertemuan Jokowi-Prabowo tidak berlebihan jika dipandang sebagai jalan rekonsiliasi. Sifat bangsa Indonesia yang paternalistis akan mengikuti apa yang dilakukan pemimpinnya sehingga pendukung Jokowi dan Prabowo kembali akur serta tidak saling hujat dan serang, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Hal ini dengan tegas dinyatakan Jokowi bahwa setelah pertemuan itu tidak ada lagi cebong dan kampret, sebutan bernada mengejek dari masing-masing kubu untuk kubu lawan. Yang ada hanya merah putih, bangsa Indonesia. Suasana pertemuan yang santai menyiratkan hubungan di antara mereka sebetulnya selama ini memang tidak ada masalah apa-apa, selalu cair dan akrab.

Pemilihan tempat Stasiun MRT (Moda Raya Terpadu) juga memiliki makna tersendiri. Pemilihan ruang publik sebagai tempat pertemuan, bukan di Istana Negara misalnya, membawa pesan bahwa momen itu memang milik publik, harus diketahui masyarakat Indonesia seluas-luasnya, bukan hanya untuk elite politik. Di sisi lain, ada pengakuan terhadap proyek MRT sebagai salah satu keberhasil Jokowi yang selama ini memang menggenjot pembangunan infrastruktur, padahal sebelumnya banyak kritik terhadap pembangunan infrastruktur dari kubu Prabowo.

Bersedianya Prabowo memenuhi undangan Jokowi (dengan menganalogikan Stasiun MRT adalah rumah Jokowi karena merupakan proyek infrastrukturnya), memperlihatkan kesediaan Prabowo untuk rujuk kembali dengan PDIP, partai Jokowi berasal. Ingat, pada Pilpres 2009, Megawati sebagai capres berpasangan dengan Prabowo sebagai wapres. Pada Pilkada DKI 2012, Jokowi sebagai cagub dari PDIP berpasangan dengan Ahok sebagai cawagub dari Partai Gerindra. Pasangan ini memenangkan Pilkada. Artinya, PDIP dan Gerindra punya cerita kebersamaan yang panjang. 

Spoiler for Pertemuan Jokowi-Prabowo:



Tak ada untungnya juga bagi Prabowo untuk bermusuhan dengan PDIP. Apalagi Prabowo kemungkinan besar akan maju lagi sebagai capres pada 2024. Saat itu ia membutuhkan dukungan PDIP. Dan sampai saat ini di kubu PDIP belum terlihat tokoh yang potensial untuk maju di Pilpres 2024. Pada 2024 kemungkinan Prabowo akan berhadapan dengan Agus Harimurti Yudhoyono atau Ridwan Kamil. Dua tokoh muda ini, terutama Ridwan Kamil, sedang menyedot perhatian publik karena kinerjanya sehingga mempunyai modal politik yang kuat untuk maju di Pilpres 2024. Karena itu, pada Pilpres 2024, Prabowo sangat membutuhkan dukungan partai besar, seperti PDIP, untuk menghadang laju Ridwan Kamil.

Pertemanan PDIP dan Gerindra sejatinya adalah pertemanan natural, bukan paksaan. Karena partai ini sama-sama partai nasionalis berasaskan Pancasila yang mengusung kebinekaan dan pluralitas sebagai keniscayaan yang ada pada bangsa Indonesia.


Salah Pilih Teman

Pada Pilpres 2019, Prabowo kalah di daerah-daerah berpenduduk mayoritas non-Muslim. Tentu ini menjadi pertanyaan besar bagi Prabowo yang berasal dari partai nasionalis Gerindra. Bahkan dari latar belakang keluarga Prabowo pun, Prabowo lebih plural dibanding Jokowi. Banyak saudara Prabowo yang non-Muslim.

Mengapa ini terjadi? Karena Prabowo salah pilih teman. Prabowo berakrab ria, asyik masyuk, dengan Islam garis keras, terutama Front Pembela Islam (FPI) yang dipimpin Habib Rizieq Shihab. Ini tentu mengkhawatirkan bagi kalangan non-Muslim karena mereka melihat FPI sebagai ancaman sebab FPI tidak bisa menerima perbedaan dan kebinekaan sebagai pilar keberlangsungan bangsa dan negara Indonesia selama ini.

Dalam pada itu, pada saat pertemuan Jokowi-Prabowo, teriakan tentang pulangnya Rizieq Shihab dari Arab Saudi sedang ramai. Beberapa pihak, di antaranya Dahnil Anzar, mantan juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, menyuarakan pulangnya Rizieq terhambat karena ada “portal” yang dibuat pemerintah Indonesia. Pemerintah diminta membuka “portal” tersebut agar Rizieq bisa pulang ke Indonesia sebagai syarat rekonsiliasi Jokowi-Prabowo dan para pendukung mereka.

Terwujudnya pertemuan Jokowi-Prabowo seakan membantah ini semua. Rekonsiliasi sudah terjadi tanpa menunggu kepulangan Rizieq. Bahkan Pramono Anung, Sekretaris Kabinet, yang ikut dalam pertemuan Jokowi-Prabowo, dengan tegas menyatakan pertemuan terwujud tanpa syarat memulangkan siapa pun ke Indonesia. Di sisi lain, pernyataan Duta Besar RI untuk Saudi, Agus Maftuh, cukup menohok Rizieq. Menurut Dubes, Rizieq memang sudah tidak memiliki izin tinggal di Saudi sejak 20 Juli 2018.  Ia overstay di negeri petrodolar itu dan terancam hukuman enam bulan penjara serta denda 50 ribu rial (Rp194 juta).

Spoiler for Habib Rizieq Shihab:



Apakah ini artinya Prabowo sudah meninggalkan Rizieq? Dalam dunia politik yang memikiki rumus “tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi” hal ini bukan tidak mungkin. Bisa jadi Prabowo sudah menyadari kalau pertemanannya dengan Rizieq adalah pilihan yang salah, yang tidak mengantarkannya pada kemenangan. Rizieq malah mengantarkannya pada keterpurukan karena menjauhkannya dengan pemilih non-Muslim yang seharusnya menjadi tambang suaranya selain pemilih Muslim, sebagaimana fitrahnya Gerindra sebagai partai nasionalis.

Kritik Susilo Bambang Yudhoyono dan elite Partai Demkorat, pendukung Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019, yang menyatakan kekalahan Prabowo karena mengusung politik identitas yang tidak mencerminkan kebinekaan Indonesia, tidak mendengarkan nasihat SBY sebagai pemenang pilpres langsung dua periode, mungkin sudah diamini Prabowo. Prabowo sudah menginsafi kesalahannya dan akan mengikuti resep Demokrat, partai nasionalis yang pada kehadiran pertamanya sontak memenangkan pilpres langsung pada 2004.

Jika Prabowo sudah menyadari kekeliruannya, bagaimana nasib Rizieq. Rizieq harus kesepian sendiri karena ditinggalkan cantolan politiknya, Prabowo. Namun, Rizieq bisa menghibur kesepiannya dengan pulang ke Indonesia. Di Indonesia, Rizieq bisa mendirikan partai dan ikut Pemilu 2024. Tak akan ada yang menghalangi Rizieq untuk mendirikan partai karena di negeri demokrasi ini siapa pun punya hak yang sama untuk dipilih dan memilih.

Jika partai bentukan Rizieq memenangi Pemilu 2024, Rizieq bisa mewarnai Indonesia dengan program-program ala FPI-nya. Rizieq harus optimis. Bukankah selama ini banyak yang meyakini pengikut FPI dan Habib itu besar?


Opini dan analisa pribadi




Sumber foto 1

Sumber foto 2

Sumber foto 3



Diubah oleh djalanloeroes 06-08-2019 22:51
aguswahyu86
kakekane.cell
tien212700
tien212700 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
2.6K
19
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan