digtara.com | MEDAN – Jelang Pemilu 2019, ungkapan mayoritas-minoritas kembali mengemuka ke publik. Netizen ramai mengecam status akun ‘Antonio Bannera’ yang mengungkit kembali tragedi 98 sambil mengungkit suksesi Pilpres 2019.

Menurut Candiki Repantu, Antropolog PUSIS Unimed, penyebab munculnya persoalan etnik karena adanya kepentingan politik.

“Hasil penelitian kami, masalah etnik banyak dimanfaatkan untuk melakukan politik identitas. Labeling negatif terhadap salah satu etnis sering dibuat untuk melakukan justifikasi kekerasan dan menganggap intimidasi adalah hal wajar,” kata Candiki dalam dialog publik ‘Meneguhkan NKRI, Mewaspadai Intimidasi Etnis Menjelang Pemilu 2019’ yang digelar oleh Rumah Konstituen.

Antropolog ini tidak menampik bahwa di negeri multietnis, labeling terhadap minoritas sering digunakan untuk meraih suara mayoritas. Oleh karenanya, masyarakat harus menyadari munculnya isu sentimen etnis karena ada kepentingan, baik kepentingan sesaat berskala kecil maupun kepentingan global.

“Jalan keluar dari persoalan ini menurut saya adalah menerima perbedaan sebagai anugerah, selalu berpikir positif, dan jangan mau diadu-domba oleh kepentingan pihak-pihak tertentu,” katanya.

Salah satu pembicara dalam dialog publik ini, Liani mengungkapkan, beberapa kali pengalamannya dalam Pemilu, etnisnya kerap menjadi sasaran intimidasi dan diskriminasi demi kepentingan kelompok tertentu.

“Itulah yang menyebabkan kami tidak begitu peduli dengan Pemilu. Yang penting bagi mereka rukonya aman, usahanya berjalan. Berpolitik, dikatakan kurang kerjaan,” ungkap Liani yang kini calon anggota legislatif DPRD Medan.

Selain Liani, pembicara lainnya adalah Irwansyah (Ketua Jurusan Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri Sumatera Utara), Eko Marhaendy (Direktur Eksekutif Rumah Komunikasi) dan Candiki Repantu (Antropolog UNIMED), dengan moderator Samuel Nababan.

Dialog ini diikuti kurang lebih seratus warga berbagai etnis dan agama, dan dirangkai dengan deklarasi ‘Pemilu damai tanpa diskriminasi dan intimidasi etnis’.

Sumber

Ah sudah biasa itu, ga jelang pemilu juga intimidasi tiap hari, liat saja sepak terjang warga kampung2 liar tepi sungai deli seperti kampung badur, aur, sei mati,dst di medan maimun dan medan kota, tiap hari teriakan "anjeng kau cin*k mintak duit!" mengumandang berkali kali dari mulut bocah hingga manula bau bantaran aer taik sei deli, maklum tidak ada polisi kan di medan?

Jangan cengeng, kayak bencong, tinggal di medan musti keras kayak kepala sipetak sumut, kalau tidak suka intimidasi, pindah saja ke jawa