KONFRONTASI- Dalam Pilpres 2019, peluang Jokowi menipis, dan pasti kalah kecuali pilpres tidak jurdil.Mengapa Jokow kalah? Karena Jokowi gagal ekonomi dan gagal Trisakti maupun gagal revolusi mental. Terutama akibat Presiden ke-7 RI ini gagal memenuhi hampir semua atau sebagian besar janji-janjinya di masa kampanye.Pemimpin gagal tak mungkin menang kecuali pilpres curang. Demikian pendapat masyarakat.yang didengar ,diteliti dan dicatat oleh peneliti F Reinhard, aktivis senior Gerakan 1998 Bennie Akbar Fatah dan pengamat politik Muslim Arbi, yang juga mantan aktivis HMI ITB.

Sekalipun disadari kesulitan ekonomi yang dihadapi Jokowi saat melanjutkan kepememimpin RI dari tangan SBY, cukup tinggi, akan tetapi persoalan ekonomi itu, gagal diatasi Jokowi. Rakyat kecewa, terutama karena rakyat yang memilihnya berpegang pada janji dan program kerjanya.

Ketidakberhasilan atau juga ketidakmampuan Joko widodo, apakah karena situasi ekonomi sehingga tidak memungkinkan atau investasi yang tidak mampu menyedot tenaga kerja yang menjadi kendala?

Hal di atas tetap tak bisa dijadikan sebagai alasan atau “excuse”. "Promise remains a promise," ujar F Reinhard, seorang pengamat.

Analis ekonomi/ Dosen Universitas Bung Karno Gede Sandra menilai tim ekonomi (Sri Mulyani, Rini Soemarno, Darmin Nasution, Engartiasto dll) pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) gagal dan gagal lagi. Gede menganggap pemerintah gagal mengendalikan situasi perekonomian. Jokowi pun mengaku ekonomi sudah lemah dan diambang pintu kehancuran.

"Tim ekonomi pemerintah telah gagal memperkirakan atau gagal melakukan forecasting situasi ekonomi nasional, yang seharusnya menjadi kompetensi utama mereka," katanya .

Dia mengindikasikan kegagalan tersebut lantaran pemerintah pernah menjanjikan pertumbuhan ekonomi 7%, namun hingga kini hanya 5%, jeblok.

"Nyatanya cuma dapat 5%. Kini bilang ekonomi kita akan baik-baik saja, ternyata toh ada masalah yang cukup fundamental seperti duo defisit yang disampaikan Presiden Jokowi dua hari yang lalu," sebutnya.

Di Pilpres 2014, Jokowi bisa terpilih karena faktor dalam dan luar negeri. Dua-duanya kondusif mendukung Jokowi. Tapi di tahun 2019, keduanya, sudah menolak Jokowi dan berubah total. Realita baru adalah perubahan dan rakyat ingin perubahan sehingga kalau Jokowi menang itu jelas ada kecurangan, fraud, demikian pandangan para jurnalis internasional dan diplomat Eropa/AS dan Jepang di Jakarta dalam perbincangan informal mereka...

Di pihak lain, Jokowi nampaknya masih cukup percaya dengan berbagai hasil survei bayaran yang bermunculan akhir-akhir ini.Semuanya menawarkan pujian pada Jokowi seakan hidup di sorga. Tetapi hasil survei itu hanya menunjukkan kepalsuan. Bukan memprediksi nasib Jokowi di Pilpres 2019.

Situasi 2019, sangat berbeda dengan 2014. Terutama jumlah pemilih baru. Sehingga survei itu, akan misleading. Menggunakannya sebagai pegangan tetap akan keliru.

Jokowi dikepung kartel dan pemburu rente serta elite bercokol. Akibatnya yang menikmati kekuasaan bahkan kesejahteraan hanya Jokowi dan mereka yang “menyandera dan mengelilinginya”. Sementara rakyat banyak makin susah,miskin dan menjadi korban. Jumlahnya tak sebanding. Rakyat yang menjadi korban relatif lebih banyak dengan para elite bercolo; dan kartel dimana Jokowi berutang budi.

Konsekwensinya muncul sikap yang menurunkan penilaian teradap kapabilitas dan integritas Jokowi sebagai pemimpin.

“Yang dibutuhkan dari seorang Presiden, bukan sekedar dia baik. Tapi apakah dia mampu mengatasi persoalan yang dirasakan beban oleh rakyat”. Apakah Jokowi memihak rakyat? Jelas tidak, dia doyan impor pangan dan melayani kepentingan asing, sampai ekonomi rakyat jadi garing, kering. ''Maka di 2019 ini, Jokowi bakal tumbang dalam pilpres kecuali pilpres itu tak jurdil dan bau curang,'' kata Bennie Fatah dan Muslim Arbi. . (berbagai sumber).

http://konfrontasi.com/content/nasional/jokowi-gagal-daya-beli-rakyat-ambruk-kalau-pilpres-jurdil-maka-jokowi-kalah