.mds.Avatar border
TS
.mds.
Mengenal Partai Komunis Indonesia, Kebangkitan Hantu atau Nyata?
Sebuah talkshow mengenai "kebangkitan PKI, Hantu atau Nyata?" menunjukan bahwa mayoritas generasi milenial saat ini tidak percaya dengan kebangkitan PKI. Disisi lain hal tersebut dianggap sebagai fakta bahwa ada upaya untuk membangkitan PKI dengan cara mengubur dan mengkaburkan sejarah PKI. Kekhawatiran tersebut bukan disampaikan oleh sembarang orang. Gatot Nurmantyo selaku Panglima TNI mengklaim memiliki data-data terkait kebangkitan PKI, disisi lain Gatot Nurmantyo tidak berani untuk menunjuk hidung pemerintah saat ini yang dianggap tidak serius dalam menindak kebangkitan PKI.

Apakah PKI benar-benar bangkit atau hayalan semata? Anda akan mengetahuinya setelah membaca sejarah PKi dibawah ini





Siapa tak mengenal HOS Cokro Aminoto? Dia adalah guru bangsa yang memiliki tiga anak asuh (murid) yang sangat terkenal. Dimana tiga anak asuh tersebut dikemudian hari akan saling berseberangan karena berbeda idiologi. Mereka adalah Kartosuwiryo (islamis), Sukarno (nasionalis), dan Semaun (komunis). Bagi yang sudah menonton film HOS Cokro Aminoto, anda dapat menjumpai sosok-sosok diatas yang kemudian menjadi anggota sebuah persyarikatan yang didirikan oleh HOS Cokro Aminoto, yaitu Syarikat Islam. Namun seiring waktu terjadi perselisihan antara Semaun dan HOS Cokro Aminoto lantaran Semaun menganggap gurunya lebih mementingkan pertemuan rapat dengan pemerintahan Hindia Belanda ketimbang rapat dengan organisasinya sendiri. Perselisihan semakin meruncing ketika sang guru berpesan untuk mengangkat isu pendidikan sebagai tema rapat sedangkan Semaun menginginkan agar isu agraria dan kesejahteraan lebih diutamakan. Tak pelak, terjadi keributan dalam rapat antara pendukung Semaun dan pendukung Hos Cokro Aminoto yang salah beberapanya adalah Sukarno dan Haji Agus Salim.

Pada akhirnya Semaun dkk memutuskan untuk berpisah dan berjuang sendiri. Syarikat Islam kemudian terpecah menjadi dua, yaitu Syarikat Islam hijau yang di nahkodai oleh HOS Cokro Aminoto dan Syarikat Islam merah yang dijalankan oleh Semaun dkk. Syarikat Islam merah inilah yang menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia di kemudian hari. Dalam perjalanannya, Semaun memprovokasi anggota-anggota Syarikat Islam untuk bergabung dengan kelompoknya. Pada waktu itu Semaun terpengaruh dan terinspirasi oleh keberhasilan gerakan revolusi di Rusia. Selain itu, Semaun ingin meniru keberhasilan kaum buruh dalam menekan pengusaha melalui aksi demo di daerah lain. Dan kelompok Semaun pun melakukan provokasi pemogokan-pemogokan kaum buruh dan pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Akibatnya pemerintah Hindia Belanda merasa risih dengan gerakan bandit Semaun dan memutuskan untuk menghabisi perlawanan tersebut. Pergerakan bandit Semaun memang dapat ditumpas, namun sayang justru HOS Cokro Aminoto lah yang disalahkan oleh pemerintahan Hindia Belanda mengingat pada faktanya Semaun adalah murid dari HOS Cokro Aminoto dan sekaligus anggota dari Syarikat Islam.

Dua puluh tahun kemudian (1948), Muso yang baru pulang dari Soviet membangun kembali jaringan ormas PKI bersama DN Aidit dkk. Singkatnya Muso dan DN Aidit berhasil mengumpulkan interniran bekas anggota dan kader PKI yang berhasil selamat dari penumpasan PKI yang dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa itu Indonesia telah lepas dari pengaruh penjajahan Belanda dan pemerintahan Indonesia baru seumur jagung. Kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh PKI untuk memberontak dan membajak pemerintahan daerah di berbagai daerah. DN Aidit kemudian memproklamirkan Republik Indonesia Soviet sedangkan massa ormas PKI merangsek ke berbagai daerah untuk menjarah tanah, hasil tani, serta mengkudeta kepala daerah di berbagai daerah. Dalam proses tersebut massa ormas PKI melakukan pembantaian dan genosida yang tidak sedikit korbannya. Bahkan tokoh nasional dan figure penting seperti Pahlawan Nasional Otto Iskandar Dinata, Gubernur Surabaya Soeryo, Seluruh keluarga Kasultanan Langkat, dan lain-lain. Hal tersebut belum termasuk pembunuhan terhadap kepala dan pejabat daerah, aparat sipil, dan aparat keamanan yang bekerja di pemerintahan daerah. Bukan hanya pejabat dan aparat pemerintahan, massa ormas PKI juga membantai rakyat sipil, santri, kyai, dan pimpinan ponpes yang dianggap sangat anti terhadap PKI. Tercatat bahkan ormas massa PKI secara tega membakar satu desa, membakar beberapa ponpes, dan meratakan masjid agung dengan dinamit.

Sebagai reaksi atas pendeklarasian kemerdekaan yang dilakukan oleh DN Aidit dan anarkisme massa ormas PKI diberbagai daerah, pasukan militer Indonesia memutuskan untuk bergerak dan menumpas perlawanan ormas PKI. Namun sayang, operasi penumpasan tersebut harus berhenti di tengah jalan mengingat pemerintah Indonesia pada saat itu harus menghadapi masalah yang jauh lebih serius, yaitu Agresi Militer Belanda. Bahkan Presiden Indonesia Sukarno harus mengkonsolidasikan berbagai elemen kekuatan yang ada untuk berfokus menghadapi agresi Belanda, termasuk kekuatan ormas PKI. Alhasil massa ormas PKI yang tersisa termasuk DN Aidit sendiri berhasil survive dari operasi penumpasan yang dilakukan oleh militer Indonesia. Kemudian mereka melebur dan “menghilang” di tengah-tengah masyarakat, sedangkan DN Aidit sendiri membuat “buku putih” pembelaan dan bantahan atas keterlibatan ormas PKI dalam aksi anarkisme dan genosida yang dilakukan oleh massa ormas PKI. Selang dua tahun kemudian (1950), DN Adit kembali membangun jaringan dan struktural ormas PKI yang sebelumnya telah dihancurkan oleh pasukan militer Indonesia. Tidak berhenti disitu, bahkan DN Aidit melembagakan ormas PKI menjadi partai politik yang kemudian mengikuti pemilu dan berhasil merebut posisi 4 besar dibawah PNI, Masyumi, dan NU.

Salah satu kunci keberhasilan ormas PKI dalam mengumpulkan massa dan memenangi pemilu adalah karena mereka memiliki program kerja bernama Turba (Turun ke Bawah). Turba adalah bagian dari ajaran Marksisme yang berupa penelitian sosial, pembumian (pensosialisasian), dan penguatan ajaran-ajaran komunisme secara langsung ke lapisan masyarakat bawah. Dalam prakteknya PKI menggunakan slogan-slogan yang sangat simpatik dan popular bagi kalangan rakyat jelata, buruh, dan tani, seperti slogan “Tanah Untuk Tani!”, atau “Tujuh Setan Desa” (kaum kapitalis musuh buruh dan tani). Selain itu, PKI juga menggunakan slogan “revolusioner” yang sangat kental dengan stigma ajaran Sukarnoisme. Puncaknya adalah ketika Sukarno (1960) merubah haluan negara menjadi lebih kiri (komunis) dengan memasarkan idiologi nasakom (nasionalis, agama, komunis) dengan PNI, NU, dan PKI sebagai pilar penopangnya. PKI seolah mendapatkan angin segar dan semakin dapat memperluas pengaruh ajaran komunis ditengah masyarakat bawah. Dan berkat nasakom pula, PKI secara resmi menjadi bagian tak terpisahkan dari pemerintahan dimana kader-kader PKI berhasil masuk kedalam pemerintahan Sukarno. DN Aidit sendiri menjabat sebagai mentri penasehat presiden sekaligus wakil ketua MPR dikala itu.

Maka dimulailah penyebaran paham komunisme melalui institusi-institusi pemerintahan. Tidak hanya itu, DN Aidit dan kader PKI lainnya secara aktif melakukan berbagai orasi, diskursus, dan simposium pada acara kenegaraan, kepartaian, dan perkumpulan akbar diberbagai daerah yang dihadiri oleh ribuan, belasan, hingga ratusan ribu massa dan kader PKI. Puncaknya adalah ketika terjadi reaksi publik dan dewan pers terkait pernyataan DN Aidit dalam diskursus pekarev (pengkaderan revolusi) yang menyatakan bahwa Pancasila hanyalah sebuat alat yang bisa dibuang ketika tujuan (persatuan) telah tercapai. Maka dimulailah perseteruan antara dewan pers melawan PKI, dimana dewan pers melalui media pers (surat kabar, siaran radio, majalah, dll) banyak melakukan kritikan dan telaahan terhadap serpak terjang PKI yang dianggap “kontra revolusi”. Tidak hanya itu, dewan pers membentuk BPS (Badan Pendukung ajaran Sukarnoisme) yang secara tegas memisahkan antara ajaran Komunisme (PKI) dengan ajaran Sukarnoisme yang sebenarnya, yaitu nasasos (nasionalis agama sosialis). Akibatnya PKI merasa tersudutkan dan tersaingi oleh siaran-siaran media pers yang disebarkan oleh dewan pers (BPS) yang mempertentangkan ajaran Komunisme dengan ajaran Sukarnoisme. Sebagai balasan, media berita milik PKI (Harian Rakyat) melakukan perang berita melawan harian milik dewan pers dengan menuduh dewan pers sebagai antek asing (CIA) dan pro atau kapitalis. Tidak hanya itu, massa PKI diberbagai daerah juga melakukan persekusi terhadap berbagai kantor berita yang dinaungi oleh dewan pers.

Konflik perseteruan dewan pers vs PKI semakin memanas dan membuat PKI berada pada posisi yang sangat terjepit dan tersudutkan oleh pemberitaan-pemberitaan yang anti PKI. Oleh karena itu, dengan kekuatan politik yang dimiliki di dalam pemerintahan, PKI membujuk dan mempengaruhi Sukarno untuk membubarkan dewan pers (BPS) yang dianggap sangat anti komunis dan anti nasakom. Pada akhirnya Sukarno bersedia memenuhi permintaan PKI untuk membubarkan BPS. Tidak hanya itu, Sukarno juga memecat anggota dewan pers yang terlibat dan mendukung BPS, serta melarang ajaran Sukarnoisme yang bertentangan dengan tafsir tunggal ajaran Komunisme ala PKI. Akibatnya dewan pers menjadi terkebiri dan PKI semakin leluasa melebarkan pengaruh dan ajaran komunis melalui media pers yang dimiliki oleh PKI. Dalam perjalanannya PKI juga melakukan pengkultusan terhadap figure dan ajaran-ajaran Sukarnoisme yang telah dibajak menurut versi mereka sendiri, yaitu Komunisme. Berkat pengkultusan tersebut, Sukarno membubarkan setiap surat kabar harian yang menolak dan anti terhadap ajaran komunisme (nasakom). Sebagai balasannya, LetJend Ahmad Yani secara kelembagaan resmi TNI AD meluncurkan berita harian Suara Rakyat dan Berita Yudha, yang dimaksudkan untuk melawan dominasi siaran media pers yang dimonopoli oleh PKI.

Pasca pengkebirian dewan pers dan pembubaran BPS, doktrin, ajaran, dan pengaruh komunisme semakin meluas. Kekhawatiran ini sangat dirasakan oleh militer AD dimana Presiden Sukarno lebih mau mendengarkan opini PKI ketimbang opini para jendral AD. Terutama pada kebijakan terkait konfrontasi melawan Malaysia dan pemberian senjata kaum buruh tani yang sangat ditentang oleh TNI AD. Persaingan perebutan pengaruh terhadap figur Sukarno memaksa militer AD melalui MPRS mengangkat Sukarno sebagai presiden seumur hidup. Hal itu disebabkan oleh kekhawatiran PKI yang semakin popular sehingga berpotensi memenangi pemilu dan merebut kursi presiden. Disisi lain kekuatan PKI dalam lingkaran politik pemerintahan semakin menguat. Hal ini disebabkan karena keberhasilan PKI dalam melakukan lobi dan persaingan politik yaitu dengan cara merangkul parpol yang sealiran atau minimal tidak menghalangi agenda PKI seperti PNI, mengisolasi parpol yang menjadi musuh PKI dengan tuduhan dan fitnah antek asing dan anti revolusi seperti Masyumi dan Murba, menyusup ke parpol lawan dengan tujuan memecah belah kesolidan parpol, hingga melakukan persekusi dan intimidasi kekerasan terhadap pihak-pihak yang sangat vokal terhadap PKI.

Militer AD adalah satu-satunya kekuatan politik anti PKI yang masih tersisa setelah mereka berhasil menguasai media pers dan mendominasi kekuatan politik pemerintahan. Namun sayangnya, militer AD sendiri tidak solid dan tidak kompak. Hal tersebut disebabkan karena keberhasilan PKI mendidik dan memasukan kadernya ke lingkaran elit militer. Bahkan PKI sendiri mengklaim bahwa mereka telah menguasai 1/3 dari kekuatan militer TNI. Dapat dikatakan dalam tubuh militer terbagi menjadi tiga faksi, yaitu faksi PKI, faksi loyalis Sukarno, dan faksi anti PKI. Pada masa itu Sukarno sangat dekat dengan PKI sehingga loyalis Sukarno dan faksi PKI adalah satu kubu. (Di kemudian hari pada peristiwa gestapu/pki, para jendral loyalis Sukarno mengklaim terlibat atau mendukung gestapu/pki karena terpengaruh oleh hasutan PKI tentang adanya kudeta dewan jendral terhadap Sukarno). Sedangkan faksi anti PKI difitnah dan didiskreditkan dengan tuduhan antek asing, kabir (kapitalis birokrat), dan isu kudeta yang dilakukan oleh dewan jendral. Perseteruan yang semakin memanas antara militer AD vs PKI serta kondisi kritis (sakit) Sukarno yang dikhawatirkan akan terjadi suksesi kekuasaan presiden dari Sukarno ke jendral militer AD, membuat PKI melakukan inisiatif “mencuri start” dalam persaingan perebutan kekuasaan presiden. Sebagaimana kita ketahui, PKI melalui militer faksi PKI, yaitu Letkol Untung (Komandan Cakrabirawa) melakukan pembantaian terhadap para jendral militer AD yang dianggap sangat anti terhadap PKI dengan dalih pengamanan para anggota dewan jendral yang hendak melakukan kudeta terhadap Sukarno.



Kelanjutan di post#8
Diubah oleh .mds. 04-10-2018 08:21
0
3.5K
17
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan