Pada tahun 1988, Sony mencoba mengembangkan sistem permainan berbasis CD bersama Nintendo. Namun Nintendo menolak kerja sama tersebut dengan alasan sistem bagi hasil yang tidak menguntungkan mereka, dan kemudian Sony mengubah idenya menjadi PlayStation (1994). Sebenarnya Sega juga memiliki kesempatan yang sama, tapi gagal. Ini adalah kesalahan besar Sega yang pertama.

Sega berada di puncak industri game pada pertengahan tahun 90an, dan Sony mulai berbicara dengan CEO Sega saat itu, Tom Kalinske, tentang mengembangkan sistem permainan berbasis CD bersama. Di saat Nintendo menolak kerja sama dengan Sony, tentu ini akan menjadi kesempatan buat Sega. Tapi entah bagaimana, tidak ada kata sepakat antara kedua belah pihak, dan Sony memutuskan untuk membuat sistem mereka sendiri.

Setelah itu, Kalinske memulai pembicaraan dengan Silicon Graphics, yang saat itu ingin mengubah 3D workstation mereka menjadi konsol game 64-bit. Sayangnya, Sega Jepang tidak menginginkannya dan menolak ide tersebut. Sialnya lagi, Silicon Graphics malah menawarkan teknologi mereka ke Nintendo, yang nantinya akan menciptakan Nintendo 64 (1996).

Akhirnya Sega tak punya apapun untuk ditawarkan, dan merilis Sega Saturn (1994). Hasilnya? FLOP, Sega Saturn tidak mampu menyaingi PlayStation yang saat itu menguasai pasar. Secara total, PlayStation terjual 102,49 juta unit di seluruh dunia, Nintendo 64 terjual 32,93 juta unit, sementara Sega Saturn hanya terjual 9,26 juta unit.

Pertempuran di tahun 1995 antara Sega Saturn dan Sony PlayStation sudah jelas siapa pemenangnya. Kesalahan besar yang dilakukan Sega berimbas pada kemenangan pertama Sony dalam industri video game. Hal itu terjadi karena Sega Saturn dibawa ke Amerika di waktu yang tidak tepat.

Rencananya Sega Saturn dirilis di Amerika Utara pada bulan September 1995, dan Sony juga akan merilis PlayStation disana pada bulan yang sama. Tapi Sega mulai khawatir, kedua konsol game ini telah tersedia di Jepang selama berbulan-bulan, dan PlayStation mulai mengejar penjualan Sega Saturn di Jepang.

Lalu Presiden Sega Jepang, Hayao Nakayama memutuskan untuk mendahului Sony, dan mendatangkan Sega Saturn ke Amerika lebih cepat dari yang seharusnya. Di acara E3 1995, pada tanggal 11 Mei, CEO Sega Amerika, Tom Kalinske mengumumkan bahwa Sega Saturn tidak jadi dirilis pada bulan September, tapi sudah dirilis hari itu juga (11 Mei 1995) dengan banderol $399.



Tapi kerennya, Sony langsung membalas dengan dingin. Di event yang sama saat konferensi pers E3 1995, kepala pengembangan, Steve Race mendekati podium hanya untuk mengatakan "299." Seketika orang-orang menjadi liar, mereka tahu persis apa artinya itu. PlayStation akan dibanderol $299, lebih murah dari Sega Saturn. So, Sega benar-benar telah "ditampar" oleh Sony.

Setelah itu, Sega seakan tidak becus dalam mengurus Sega Saturn, padahal beberapa game dan konsol telah tersedia, tapi banyak pengecer yang geram karena Sega tidak mengirimkan mereka apa pun. Akibatnya, PlayStation mendominasi era 32-bit, dan Sega tidak mampu berbicara banyak.

Agak maju sedikit, di era akhir tahun 90an DVD menggantikan CD sebagai media penyimpanan, jadi masuk akal jika sistem permainan juga menggunakannya. Tapi konyolnya, Sega malah berpikir beda...

PlayStation 2 adalah salah satu pesaing konsol Dreamcast terbesar yang mengunggulkan kemampuan DVD. Game-game mereka dirilis dalam bentuk DVD, dan membuat PS2 bisa menjadi konsol game sekaligus movie player. Sementara Dreamcast, memilih teknologi berbeda yang disebut GD-ROM. Dikembangkan oleh Yamaha dan Sega, GD-ROM dapat menyimpan hingga gigabyte data, dan memiliki kemampuan tidak dapat disalin dengan CD writer, yang berarti pembajakan game akan jadi lebih sulit.

Ide Sega terdengar bagus, tetapi publik jelas meminta DVD, dan Sony mendengarkan mereka, yang kemudian membuat Sony semakin diatas angin. Walaupun GD-ROM bisa menyimpan lebih banyak data daripada CD, tapi DVD lebih unggul dari GD-ROM. GD hanya mampu menyimpan 1 GB data, sementara DVD dapat menyimpan 4,7 hingga 9,4 GB data, tergantung berapa banyak sisi yang digunakan.

Niat Sega mengantisipasi pembajakan game dengan GD ternyata tidak berhasil, para peretas menemukan teknologi (disebut MIL-CD) yang mampu membobol sistem GD-ROM Dreamcast. Dengan menggunakan disk bajakan mereka sebagai MIL-CD, para peretas dapat melewati celah keamanan GD-ROM dan mem-boot disk ilegal mereka.

Satu lagi "dosa besar" Sega terhadap Dreamcast adalah tidak ada banyak game yang bisa dimainkan di Dreamcast. Buat apa kita punya sistem permainan (yang katanya) terkeren dan terkuat di dunia, tapi kalo tidak bisa memainkan banyak game, apa gunanya? Itulah masalah besar Dreamcast.

Di Amerika Utara hanya tersedia 257 game Dreamcast. Kebanyakan adalah seri game yang telah menjadi hit dan klasik, tak ada hal 'fresh' yang bisa ditawarkan Dreamcast. Dan ternyata keputusan itu merupakan mandat perusahaan. Menurut Bernie Stolar, mantan Presiden dan CEO Sega Amerika, sosok Chairman Sega, Isao Okawa, hanya terpaku pada sistem dan hardware, dan tampaknya tidak menyadari bahwa software (dalam hal ini game) adalah alasan kenapa orang membeli hardware (konsol).

Stolar menjelaskan bahwa "Okawa tidak mengerti seperti apa arti software (game) itu, dan dia tidak benar-benar memahami industri game... Tapi dia adalah pemegang saham terbesar kami." Dengan kata lain, orang yang bertanggung jawab justru malah tidak tahu apa-apa tentang game dan tidak terlalu peduli dengan itu. Ditambah lagi Sega juga tidak mencurahkan cukup banyak uang untuk proyek Dreamcast.

Dreamcast seperti jadi proyek 'prematur' Sega, dan benar saja, Dreamcast gagal total dan tidak dapat bertahan lama (2,5 tahun - dari November 1998 sampai Maret 2001). Sega mengumumkan kerugian lebih dari $400 juta pada tahun 2000, sejak saat itu Sega belum membuat konsol video game lagi sampai sekarang, dan hilang dari percaturan industri konsol video game.

Hampir sejak awal, Sega telah punya dua cabang manajemen, yaitu: Sega Jepang dan Sega Amerika, dan tampaknya kedua manajemen itu selalu berseberangan.

Menurut mantan CEO Sega Amerika, Tom Kalinske, Sega Jepang menyimpan dendam lama terhadap mitra Amerika-nya. Ini mungkin dimulai sejak pengembangan game Sonic yang pertama. Sega Jepang menginginkan Sonic berada di sebuah band rock, memiliki seorang pacar bernama Madonna, serta memiliki taring yang tajam dan menakutkan.

Sementara Sega Amerika tahu bahwa karakter yang terlalu "kasar" akan sulit dijual, jadi mereka membuat Sonic jadi lebih imut, dengan sedikit sentuhan. Menurut Kalinske, sepertinya Sega Jepang tidak pernah melupakan, atau memaafkan, apa yang timnya lakukan untuk ide mereka tersebut. Apakah dendam itu benar ada atau tidak, tak bisa disangkal oleh kedua cabang yang berbeda dalam banyak gagasan tersebut. Sonic tidak begitu populer di Jepang, jadi mereka tidak terlalu mendorong Sonic untuk hadir membintangi banyak game.

Dan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, ketika Sony mendekati Sega untuk kerja sama, tapi Sega Jepang mengatakan tidak. Dan ketika PlayStation mulai laku di Jepang, mereka memaksa Sega Saturn rilis di Amerika. Ketika dua manajemen perusahaan punya dua arah yang berbeda dan berlawanan, maka tak mengherankan jika perusahaan tersebut tidak akan pergi ke mana-mana dan 'stuck' disitu saja.