Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dwiuta022Avatar border
TS
dwiuta022
Sepeda VS Matematika
Siang ini hujan turun lagi. Dan aku basah kuyup lagi. Sesampai di rumah, seperti biasa, aku dimarahi Ibu karena tidak membawa payung.

"Sudah berapa kali Ibu bilang, jangan lupa bawa payung!" kata Ibu mulai merepetiku.

"Aku malas bawa payung. Lagi pula, tas ku tak muat untuk bawa payung sebesar itu."

"Yang dibawa ya jangan payung yang besar. Kan ada payung kecil, muat sama tas Rani."

Ibuku memang selalu begitu. Paling khawatir jika aku sudah kena hujan. Apalagi sejak beberapa hari ini, aku jatuh dari sepeda. Padahal hanya luka sedikit, Ibu sudah khawatirnya seperti aku akan mati saja. Tapi walaupun sikap Ibu berlebihan, hal itu membuatku berjanji, jika besar nanti aku akan menjadi anak yang bisa membanggakan Ibu.

"Dadang, sepeda Rani rantainya putus lagi. Dadang nanti tolong perbaiki, ya!" kataku berteriak pada Dadang. Dadang adalah kakak pertamaku. Nama sebenarnya adalah Randa. Dari kecil, Ibu menyuruhku untuk panggil Dadang, karena Dadang artinya Uda Nan Gadang.

"Pasti Rani mau balapan sepeda lagi, ya? Dadang tak mau perbaiki kalau sepedanya dipakai buat balap-balapan!!"

"Bukan buat balap-balapan, Dadang. Nanti Rani mau ke rumah Rizki buat belajar matematika."

"Ya sudah, biar Dadang saja yang antar pakai motor!"

"Tidak mau! Rani mau pergi pakai sepeda saja!" aku menjawab dengan nada tinggi.

Berbicara mengenai sepeda, sepeda adalah kendaraan favoritku. Aku sangat suka sepeda. Aku berjanji, kalau nanti sudah cukup umur, aku akan ikut Tour de Singkarak dengan menggunakan sepeda yang dibelikan ayahku ini. Aku akan menjadi pembalap sepeda yang paling handal. Itu impianku.

"Alaaah... Gaya Rani buat belajar matematika. Palingan nanti main sepeda sampai ke perumahan sebelah. Pulang-pulangnya nanti luka lagi. Tak usah diperbaiki, Dadang!" Dangah menghasut Dadang. Dangah adalah kakak keduaku. Namanya Randi. Dangah artinya Uda Nan Tangah. Ia kakak yang paling susah diajak kompromi. Kata Ibu, aku dan Dangah punya sifat yang sama. Sama-sama keras kepala. Karena itu, aku sering berkelahi dengan Dangah.

"Aku bukan mau balap-balapan. Aku mau belajar matematika ke rumah Rizki. Sebentar lagi kan Ujian Nasional."

"Sudah tahu mau Ujian Nasional, harusnya bisa jaga kesehatan!" kata Dangah menceramahiku. Sudah kubilang, Dangah adalah kakak yang susah diajak kompromi.

"Terserahlah! Orang mau belajar matematika malah dilarang. Rani tak mengerti kenapa banyak orang yang tidak mengerti Rani. Cuma Ayah yang mengerti Rani!" kataku berteriak sampai seantaro rumah mendengar. Aku memandangi foto Ayah. Ayah telah meninggal sejak aku kelas tiga SD. Aku jadi rindu saat Ayah memboncengku pakai sepeda.

"Sudah sudah! Iya, nanti Dadang perbaiki! Tapi janji ya, jangan dipakai buat balapan!"

"Iya, aku janji! Terima kasih, Dadang," kataku tersenyum lebar sambil mencium pipi Dadang. Dadang adalah kakak sekaligus pengganti sosok Ayah bagiku. Ia kakak yang sangat mengerti aku. Tak pernah ia berbicara kasar padaku.

Aku segera masuk kamar, lalu mengambil handuk, dan langsung ke kamar mandi. Kebiasaanku mandi sambil bernyanyi, membuat Ibu merepet lagi. Pasti Ibu sedang memilih baju yang hangat untukku pakai.

"Jangan lama-lama di kamar mandinya. Nanti masuk angin, Rani."

"Iya, Ibuku Tersayang. Sebentar lagi Rani selesai kok mandinya," kataku lanjut menyanyikan lagu Satu Satu Aku Sayang Ibu.

Selesai mandi dan memakai baju hangat, aku langsung berlari menuju ruang makan.

"Saatnya untuk makaaan," kataku dengan nada ceria. Aku membaca do'a kemudian langsung melahap makanan yang sudah Ibu siapkan. Ketiga kakakku hanya geleng-geleng kepala.

Oh iya, aku belum cerita tentang kakak ketiga-ku. Namanya Ridwan. Aku memanggilnya Dewan, artinya Uda Ridwan. Dia kakakku yang paling lucu, aku sering diajaknya makan es krim bersama, dan yang pasti ia kakak yang paling enak diajak kompromi. Tapi, ia punya sifat suka tidur yang kadang membuat orang serumah kesal. Bayangkan, setiap pagi orang di rumah bergiliran membangunkannya agar segera mandi dan berangkat ke sekolah. Kakakku yang satu ini benar-benar unik. Ia juga pasti sedang tidur saat aku pulang sekolah tadi.

Setelah selesai makan, aku segera menuju teras rumah untuk mengambil sepeda. Sebelumnya, aku mencium pipi ketiga kakakku dan pipi Ibu dulu agar mereka semua tak usah khawatir padaku. Hujan sudah reda. Tuhan selalu bersahabat denganku.

"Hati-hati. Pulanglah sebelum maghrib!" kata Dadang berteriak padaku.

"Jangan lupa bawa payung, Rani!" giliran Ibu yang berteriak.

"Ibu tenang saja! Tuhan selalu bersahabat denganku! Hujannya akan turun lagi setelah aku sampai di rumah!" kataku balas berteriak. Aku seolah mengetahui apa yang akan terjadi hari ini.

***

"Assalammu'alaikum!" kataku berteriak di depan pintu rumah Rizki.

"Wa'alaikumsalaaaam," kepala Rizki muncul dari balik jendela.

Aku terkaget. Ia menjawab salamku dengan suara yang sengaja dibesar-besarkan, menakut-nakuti. "Dasar kau! Bikin kaget saja!" kataku memarahinya. "Jadi tidak belajar matematikanya?!" aku ikut mendongakkan kepala ke jendela rumah Rizki.

"Tentu saja jadi, Maharani," katanya seraya membukakan pintu. "Silahkan masuk, Tuan Putri!" ia bergaya seperti seorang pangeran mempersilahkan masuk.

"Aku tak suka dipanggil Tuan Putri. Panggil aku, Tuan jenius!"

"Jenius!? Kau kan tolol matematika!"

"Enak saja! Asal kau tahu ya, dari seluruh cucu nenekku, aku adalah cucu yang paling pintar," kataku seraya menepuk dada. Aku memang selalu percaya diri.

"Kalau yang pintarnya saja macam kau, bagaimana yang bodohnya?"

"Yang pasti aku lebih pintar naik sepeda dibandingkan kau, weee...," kataku menjulurkan lidah padanya. Aku heran. Rizki selalu mendapat juara kelas. Tapi ia tak pandai memakai sepeda. Aneh.

"Aku heran, Rizki. Kau kan sangat pintar matematika. Kenapa tidak pandai naik sepeda?" kataku di sela belajar kami.

"Aku sudah bisa naik sepeda, kok. Hanya saja, karena pernah jatuh, aku jadi sedikit takut naik sepeda sekarang."

"Ooo... Kalau kata ibuku, itu namanya trauma," aku mengangguk-anggukkan kepala. "Berarti, aku lebih berani dibandingkan kau. Aku sudah pernah jatuh, tapi tidak pernah trauma seperti kau," lanjutku, lagi-lagi menyombongkan diri di depannya.

"Iya iya. Kau lebih berani dibandingkanku. Ayo, lanjutkan belajarnya! Jangan mengoceh terus!" Rizki berkata sambil memandangi soal matematika.

Hari itu aku menghabiskan siang dengan belajar matematika bersama Rizki. Rizki adalah temanku dari kecil. Aku senang berteman dengannya, apalagi kalau memarahinya, aku paling senang. Kalau dimarahi, Rizki tak pernah menjawab. Dia adalah sahabatku yang paling baik walaupun sedikit culun.

***

Keesokan harinya. Di sekolah.

"Ada yang mau ke depan untuk menjawab soal nomor satu?" kata Bu Guru pada seluruh murid di kelas.

"Ayo, ke depan Maharani!" Rizki berbisik di telingaku. Kemaren, saat belajar matematika di rumahnya, aku sudah berjanji bahwa aku akan menjawab soal matematika dengan sangat berani. Namun, nyaliku menciut juga setelah berhadapan langsung dengan matematika.

"Kemaren kau sudah janji!" kata Rizki lanjut berbisik.

Aku mengatur napas. Kupandangi lagi soal matematikanya. Sekarang otakku sedang berpikir, ke depan atau malu pada Rizki.

"Jangan biasanya hanya balap-balapan sepeda. Ayo, berani tidak?" kata Rizki berbisik lagi. "Di rumahku kemaren, gayamu seperti orang paling pintar."

"Jangan kau samakan matematika dengan sepeda!" kataku membalas bisikannya dengan sedikit keras.

"Katanya mau dipanggil Tuan Jenius?!"

"Iya iya, aku ke depan," kataku seraya mengacungkan jari ragu-ragu.

"Ya, Maharani. Silahkan jawab soalnya, Nak!" kata Bu Guru dengan nada yang lembut. Walaupun sudah selembut itu, aku tetap saja takut.

"Matematika itu menakutkan," aku berkata pada Rizki sebelum maju ke depan.

Rizki membalasnya dengan tersenyum. Ia seolah berkata: Selamat, Rani. Hari ini kau akan dipermalukan oleh matematika.

Ya Tuhan, bantu aku menyelesaikan soal matematika ini. Izinkanlah Rizki memanggilku Tuan Jenius.

Dengan sedikit takut, aku maju ke depan lalu menjawab soal matematika yang diberikan Guru. Jantungku berdetak kencang sekali, seperti ingin lepas. Otakku berpikir keras agar percaya diri seperti halnya aku selalu percaya diri naik sepeda.

"Maharani? Sudah selesai jawabannya, Nak?" tanya Bu Guru membuat tanganku berhenti menghapus dan menulis ulang angka yang kuragu sebagai jawaban.

"I... Iya, Bu. Sudah selesai," kataku sedikit gugup. Aku mengarah pada Rizki yang tersenyum sambil geleng-geleng kepala padaku. Kali ini, ia seolah berkata: Inikah Maharani yang harus dipanggil Tuan Jenius?

"Jawaban Rani benar," kata Bu Guru dengan nada yang lembut.

"Apa? Jawaban yang kutulis benar??" kataku memandang Bu Guru dengan mata melotot.

Bu Guru menganggukkan kepala dengan penuh wibawa.

"Horeeee... Jawaban matematika-ku benar!! Horeee...," kataku berteriak sambil melompat-lompat. Aku memeluk Bu Guru yang berdiri di sampingku. Dengan semangat, aku berjalan menuju tempat dudukku lalu langsung toss-an dengan Rizki.

"Tuan Putri, kau sangat jenius," kata Rizki tersenyum padaku.

"Panggil aku Tuan Jenius!"

"Iya, Tuan Jenius."

Sejak hari itu, aku tak mau lagi menganggap matematika sebagai musuhku. Aku berjanji, untuk menganggap matematika sebagai sahabatku. Sama seperti sepeda. Dan sejak saat itu juga, aku hampir tiap hari belajar matematika di rumah Rizki. Ia guru matematika yang jenius. Ia bilang, "Jangan anggap matematika sebagai musuhmu, Maharani. Anggaplah ia seperti sepeda untukmu. Sepeda yang sangat kau cintai.



Quote:
Diubah oleh dwiuta022 02-09-2018 12:47
anasabila
anasabila memberi reputasi
2
1.3K
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan