wismanganAvatar border
TS
wismangan
Hentikan Eksploitasi Agama dan Ideologi untuk Kepentingan Politik Pragmatis
Jakarta - Budayawan Jawa Barat yang juga politisi Partai Golkar, Dedi Mulyadi menyerukan berbagai pihak untuk menghentikan eksploitasi agama dan ideologi demi kepentingan politik pragmatis. Seruan moral itu disampaikan Dedi lantaran eksploitasi agama dan ideologi telah membuat masyarakat terbelah.

“Beberapa tahun belakangan ini publik seolah terbelah dua. Padahal, sebenarnya mereka satu bangsa. Satu kubu merasa paling berhak atas narasi nasionalis-pluralis. Kubu yang lain merasa memiliki otoritas berjihad melalu media sosial dengan narasi agama,” kata Dedi dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis (9/8).

Ketua DPD Golkar Jawa Barat itu menyatakan fenomena eksploitasi agama dan ideologi ini harus segera dihentikan. Dedi khawatir jika terus dibiarkan hal yang tidak substantif ini akan menghabiskan energi anak bangsa. Sementara, pemikiran sekaligus pembangunan harus terus berlangsung secara berkesinambungan.

“Kritik di sosial media itu kini lebih mengarah pada ejekan. Bukan bersifat otokritik yang konstruktif agar ada perbaikan kepemimpinan. Sehingga, menurut saya kesinambungan positif dalam berbagai bidang lebih utama dibanding perdebatan yang tersaji,” katanya..

Maesenas budaya Sunda itu mencontohkan fenomena dua kubu yang tidak kunjung move ondi Pilkada Jakarta. Kontestasi politik pada 2017 telah melahirkan perubahan kepemimpinan. Tetapi, kesinambungan pembangunan tidak terjadi.  “Kalau mau objektif, Pak Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) ada sisi keberhasilannya, tetapi ada juga sisi lemahnya. Begitu pun Anies-Sandi, ada fokus yang menjadi perubahannya, ada juga hal yang dia lupakan,” katanya.

Menurutnya, seringkali trade markpersonal mengalahkan kepentingan yang lebih besar. Dedi pun mencontohkan kawasan Kalijodo yang dianggap publik sebagai warisan Ahok. Jika dilanjutkan Anies-Sandi akan menimbulkan anggapan tidak tercipta tren kreativitas baru. “Kalau mau jujur, pemimpin di setiap masa pastilah memiliki jasa. Apabila bermanfaat, saya kira layak untuk diteruskan,” tuturnya.

Tak hanya Pilkada DKI Jakarta 2017, pada Pilpres 2019 pun menurut Dedi menyisakan residu energi dari Pilpres 2014. Narasi yang persis sama masih berseliweran menghiasi linimasa media sosial dalam rangka menggiring opini publik. Lebih parah lagi, baik narasi nasionalisme maupun agama telah diarahkan untuk menyulut emosi publik. Tingkat kerusakan tenun kebangsaan menurut Dedi, akan semakin parah jika hal ini tidak dihentikan.

“Kalau dua kubu ini mengalami kekecewaan, mereka bisa menjadi oposan yang absurd. Ini buah dari kegagalan mengelola politik aliran, timbul ketidakpercayaan terhadap elit politik,” katanya.  Di sisi lain, keriuhan perdebatan ini menurut Dedi justru tidak terjadi di kalangan elite politik. Tidak ada narasi nasionalisme maupun agama yang menjadi pokok bahasan.

Elite hanya berfokus pada peningkatan nilai elektoral partai. Hal ini tercermin dari alotnya penentuan nama cawapres dari kubu petahana maupun penantang di Pilpres 2019. Padahal, Dedi menegaskan kejujuran seharusnya menjadi panglima dalam kehidupan politik kebangsaan.

“Dua narasi besar yang menjadi perdebatan itu tidak kita temukan di elit politik kita. Publik terbelah menjadi cebong dan kampret, sementara elite baik-baik saja. Bahkan, kini muncul istilah baru, ada kardus pula. Maka saya tegaskan, saya bukan cebong, saya bukan kampret, saya bukan kardus, saya ini Golkar,” tegasnya.

http://www.beritasatu.com/nasional/504858-hentikan-eksploitasi-agama-dan-ideologi-untuk-kepentingan-politik-pragmatis.html

Setuju.
0
1.5K
21
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan