XinHua.NewsAvatar border
TS
XinHua.News
Bos Salim Group Beber Kisah Saat Terjebak Kerusuhan Mei 1998 Usai Rumahnya Dibakar
Penulis Buku Liem Sioe Liong dan Salim Group Pilar Bisnis Soeharto, Richard Borsuk-Nancy Chng, menggambarkan suasana batim yang dihadapi Anthony Salim (anak bungsu Liem Sioe Liong), ketika terjebak di tengah kerusuhan Mei 1998 di Jakarta.

Apa yang ia lakukan pada 20 tahun lalu itu?

Ketika kompleks tempat tinggal keluarga Liem Sioe Liong di kawasan Jl Gunung Sahari, Jakarta, dibakar sekelompok pria berbadan tegap, 14 Mei 1998, Anthony Salim tengah berada di kantornya, Wisma Indocement, kawasan Jl Jenderal Sudirman, Kebayoran Baru.

Jarak rumah dan kantor hanya sekira 8 km.

Dari kantornya di lantai 19, Anthony Salim bisa melihat cepatnya situasi di Jakarta memburuk.

Pada hari Kamis itu, langit Kota Jakarta tampak pekat oleh asap gedung-gedung yang diibakar.

"Setelah rumah dibakar, kami khawatir sasaran selanjutnya adalah kantor," kata Anthony Salim dalam buku Liem Sioe Liong dan Salim Group Pilar Bisnis Soeharto, terbitan Penerbit Kompas, 2016.

Saat itu ribuan orang sudah memenuhi jalanan utama di dekat Gedung MPR/DPR di kawasan Senayan dan bergerak menuju Semanggi, hanya sekira 2 km dari Wisma Indocement.

Akses menuju Bandara Soekarno-Hatta sudah sulit ditembus.

Tak pelak, putra mahkota kerajaan bisnis Salim Group itu itu memutuskan segera meninggalkan kantornya, menuju Bandara Halim Perdana Kusuma.

Saat itu bandara tersebut lebih banyak melayani penerbangan pribadi.

Malam itu perjalanan menuju Bandara Halim Perdana Kusuma berisiko tinggi.

Namun kendaraan masih bisa sampai ke bandara.

Anthony tidak bisa menggunakan helikopter karena Wisma Indocement tidak dilengkapi helipad.

Tak ada pilihan lain ia harus menggunakan mobil.

Kawasan Jl Jenderal Sudirman sudah dipenuhi lautan manusia yang melakukan aksi pencegatan terhadap kendaraan bermotor yang lewat.

"Kami tidak ingin terjebak dalam kerumunan," katanya.

Anthony yang saat itu bersama Benny Santoso, seorang eksekutif Salim Group, berada dalam iring-iringan mobil yang dikawal ketat para pengawal pribadi menuju Halim.

Perjalan itu memerlukan waktu sekira dua jam, padahal dalam kondisi normal hanya 30 menit.

Rombongan harus berhenti beberapa kali untuk bernegosisasi dengan gerombolan orang yang menutup jalan.

Ketika ditanya apakah saat itu Anthony berpikiran tidak akan sampai di Bandara Halim, ia menjawab, "Saya kira pasti ada risiko, tetapi pada saat genting seperti itu saya harus pergi. Itu saja."

Pada saat itu para pengawal Anthony membawa sejumlah uang tunai untuk memudahkan negosiasi dengan gerombolan penutup jalan.

Mereka membawa uang sekira Rp 10 juta dalam uang pecahan Rp 50 ribu bergambar Soeharto Bapak Pembangunan.

Ketika itu nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS anjlok mencapai Rp 11.500.

Di setiap barikade, para pengawal turun untuk melakukan tawar menawar dan menyerahkan sejumlah uang.

Anthony mengaku tidak ingat berapa kali rombongan itu harus berhenti.

Ia memperkirakan perjalan ke Bandara Halim Perdana Kusuma menghabiskan uang sekira Rp 5 juta.

Begitu sampai di bandara, Anthony langsung menumpang pesawat Boeing 727 yang membawanya ke Singapura.

Kehilangan BCA

Pesawat tua Boeing 727 yang sudah diremajakan itu dibeli keluarga Liem Sioe Liong dari Ford Motor.

Sebelum peristiwa 14 Mei 1998, Anthony tidak pernah terbang menggunakan pesawat pribadi tersebut.

Beberapa jam setelah Anthony meninggalkan Jakarta, Soeharto tengah terbang kembali ke Jakarta dari Kairo.

Sang presiden yang tengah berada di penghujung kekuasannya, mendarat di Bandara Halim Perdana Kusuma pada subuh, Jumat, 15 Mei 1998.

Soeharto terkejut melihat Jakarta porak-poranda.

Ia mendapat laporan dari para pembantu dekatnya mengenai korban kerusuhan mencapai lebih dari 500 orang tewas dan sekira 5.000 lebih bangunan dirusak.

Setelah Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998, hantaman terjadi terhadap Bank Central Asia (BCA) milik keluarga Liem.

Di BCA, ketika itu kelurga Soeharto mempunyai saham sebesar 30 persen.

Para nasbah melakukan aksi menarik simpanan mereka secara besar-besaran sehingga bank raksasa di Indonesia itu akhirnya kolaps.

Anthony mengira penarikan dana besar-besaran (rush) itu bermotif politis.

"Keluarga Soeharto masih di situ (punya saham), sehingga BCA menjadi sasaran empuk," katanya.

Tak ayal ia menyebut peristiwa itu sebagai sebuah pengalaman traumatis.

Keluarga Liem harus melepas bank itu setelah kepemilikannya diambilalih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). (tribunnetwork/feb)

[url]https://sumutnews.bid/tribun/view.php?tampil&tamp=2018/05/22/bos-salim-group-beber-kisah-saat-terjebak-kerusuhan-mei-1998-usai-rumahnya-dibakar?page=4[/url]

kisah gan
0
8.7K
44
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan