OblOOOOOOOAvatar border
TS
OblOOOOOOO
[#SFTHChallange] The Tales of Dawn and Night: FAJAR & LAILA




FAJAR & LAILA





Hei, namaku Fajar. Dulu aku mahasiswa di salah satu universitas di Bandung. Aku punya banyak teman, tapi mereka aneh-aneh.

Ada yang masuk kepanitian organisasi cuma buat fotoin cewek cewek cakep lalu memprint fotonya dan di tempelkan di kamar. Ada juga yang pergi ke club pakai topeng Death Vader, lalu minum coca cola dan joget kaya anjing kesurupan di tengah orang-orang. Ada yang (maaf) onani, lalu menaruh (maaf lagi) spermanya di botol aqua plastik dan bodohnya ada yang main-mainin botol aqua itu.

Bahkan di luar negeri pun, banyak yang aneh-aneh. Seperti Lance, seorang sahabat di Amerika yang minum bir lewat hidung, dan dia ga tewas. Atau Yusuke, teman jepang ku yang suka makanin upilnya, katanya upil mengandung bakteri baik untuk tubuh. Di Perancis juga, Adam yang suka banget nyiumin slipper atau kaos kaki cewek, wanginya bergairah katanya.

Seolah aku terlihat sombong ketika menuliskan kalimat-kaimat di atas, tapi bukan itu intinya. Serius, bukan tentang betapa mewah dan baiknya kehidupanku. Jika kalian tidak percaya denganku silahkan keluar dan tak usah baca ceritaku, tapi jika kalian percaya, kalian bisa lanjutkan membacanya.

Aku hidup begini, hidup karena gadis itu. Gadis yang seolah seperti adik dan saudaraku sendiri. Setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit kita berada dalam jarak dekat, sedekat pandangan mataku yang rabun.

Gadis itu dari SD sampai kuliahnya selalu bersamaku, atau mungkin, akulah yang berusaha untuk bersamanya. Bukannya karena aku cinta atau suka, dan bukan juga karena dia kaya yang selalu mentraktirku, membelikan tiketku terbang keluar negeri, membelanjakanku barang-barang mewah. Aku disini selalu ingin bersamanya, karena aku sayang dia, layaknya adikku sendiri yang harus aku jaga, yang harus aku lindungi, yang harus aku temani setiap langkahnya dan yang selalu akan mengkhawatirkanku.

Dia itu, adalah majikanku.

Bukan, lebih tepatnya dia adalah anak dari majikan ibu bapakku.

Cerita ini dimulai ditanggal 23 September 1990. Seorang pemulung dan seorang pedagang asongan menikah di bawah kolong jembatan, dihadiri oleh 13 anak yatim dan 27 teman jalanan lainnya. Pemulung dan pedangan asongan itu yang nantinya aku panggil “Ayah” dan “Ibu”.

Di sekitar sebuah perkomplekan di Jakarta, terdapat sungai kotor yang mengalir ke hulu laut Jawa, disanalah Ayah dan Ibuku tinggal pada awalnya. Di bawah kegelapan dan bau sampah-sampah, ibuku merawatku dalam kandungannya. Hingga suatu malam pun tiba, ketika itu bukan purnama di malam Jum’at Kliwon, air ketuban ibuku pecah.

Ayahku yang baru saja pulang dan memakan nasi aking yang ia beli untuk kami mendadak panik. Tanpa disangka, hari itu aku ditakdirkan lahir ke dunia. Ayahku langsung berlari keluar rumah mencari pertolongan, dan satu-satunya yang ada di matanya adalah sebuah rumah besar dengan gerbang tinggi bewarna putih di atas lereng sungai itu.

Keluarga Hapsoro adalah keluarga terkaya di komplek itu. Rumahnya yang besar dan dekat dengan rumah ayah ibuku itu mendadak berisik. Ayah sedang menggedor-gedor pagarnya. Dan sangat-sangat kebetulan, atau memang jalan Allah yang telah di takdirkan, saat itu mobil sedan BMW berhenti di depan pagar. Dari kursi supir, cerita dari ayahku, Bapak Hapsoro turun dan menanyakan maksud Ayahku menggedor pagarnya.

“Pak, saya mohon, tolong saya! Saya janji akan bayar dengan apapun dan bagaimanapun, tolong saya.”Ayahku memohon sambil menangis setengah penuh harapan, setengah pasrah menyesal bahwa dia menjdi seorang yang tidak berguna bertekuk lutut pada orang kaya.

“Iya Pak, saya bisa tolong apa? Sudah, jangan menangis begitu Pak, katakan saja.”

“Istri saya mau melahirkan.” Jawab ayahku setengah pasrah.

“Yasudah Pih, kita antarkan saja istrinya ke rumah sakit. Bapak dimana rumahnya?” Ibu Hapsoro yang melihat kehebohan dari dalam mobil akhirnya turun.

Saat itu Ayah bilang, Ibu Hapsoro sangat putih, dan kalung emas tebalnya melingkar di lehernya itu terlihat seperti harta yang sampai matipun tak akan bisa ia berikan kepada istrinya. Ayahku saat itu, menunduk, sedih, dan hina.

Bapak dan Ibu Hapsoro yang juga hamil saat itu membantu membawa Ibuku yang akan melahirkanku ke rumah sakit terdekat. Salah satu rumah sakit berkelas, yang membuat kaki ayahku gemetar. Jika saja kelahiranku bisa ditunda, mungkin ia enggan dan menarik ibuku kembali lalu pergi ke dukun beranak.

Dan persalinanpun selesai, ayahku saat itu sudah pasrah sambil memelukku yang berbadan merah. Ibuku masih belum siuman. Ayahku mengadzankan ku dan kemudian memberikan diriku yang masih bayi pada suster agar dimasukkan incubator.

Ia pun berlari keluar kamar rumah sakit dan menemui Bapak Hapsoro. Kembali, dengan penuh harap, meminjam uang untuk biaya persalinan dan kamar. Pak Hapsoro hanya tersenyum, dan bilang “tenang saja”.

Saat itu jam 3 pagi aku lahir, oleh karena itu Ayah memberiku nama Fajar, dan Rizki sebagai akhirannya. Dan di jam itu juga, Ibu Hapsoro mengeluh perutnya sakit. Bapak Hapsoro pun membawanya ke ruang pemeriksaan. Dokter menberitahu, bahwa due date kelahirannya, adalah malam nanti.

Mau tak mau, ibu Hapsoro menginap di rumah sakit. Beberapa jam setelah ibuku siuman, tepat jam 8 malam, suara tangisan bayi perempuan terdengar dari sebelah. Ayahku tersenyum, si Ibu dan Bapak yang sangat baik itu ikut merasakan kebahagiannya hari ini.



“Ella..”

Begitu diriku yang masih balita memanggilnya. Laila Kencana Hapsoro, gadis yang kata ibuku, sangat cantik kayak bidadari. Tapi bagiku, Laila hanya sebatas majikanku, atau lebih lebihnya, ku anggap dia saudaraku. Jika saja aku berani mati dan membawa orang tuaku mati bersamaku dalam kesengsaraan, barulah aku berani jatuh cinta sama Laila. Karena, Ayahku membayar hutangnya dengan bekerja sebagai supir pribadi Pak Hapsoro dan Ibuku, sebagai babysitter sekaligus pembantu rumah tangga di rumah Keluarga Hapsoro.

Tentu saja Keluarga Hapsoro tak tega tak menggaji mereka, tapi sepermintaan ayahku, dengan gaji yang setengah dari rata-rata gaji pembantu. Tapi, Ayah dan Ibuku bersyukur, sangat-sangat bersyukur. Setidaknya mereka tak tinggal di tempat kumuh lagi, kesehatan dan kenyamananku terjamin, dan setidaknya gaji mereka sekarang lebih besar sari upah mulung atau ngasong.

Aku dan Laila tumbuh bersama, bermain bersama, mandi bersama, dan keluarga kami damai-damai saja. Ibu Hapsoro malah senang rumah mereka jadi ramai, dan punya teman anaknya bermain.

Ibuku bilang, Aku dan Laila, belajar berjalan bersama, belajar ngomong bersama, bahkan kadang tidur bersama dikamarnya Laila. Setelah kami pandai jalanpun, Aku dan Laila sama-sama main di lumpur, sama-sama kena marah, sama-sama nangis.

Ibuku bilang, Laila itu waktu kecil bandel, dan menurutku sampai sekarang dia juga bandel.

Ibuku bilang, aku sangat kalem, walaupun umur kami sama, aku seolah seperti sosok kakak bagi Laila. Ketika Laila jatuh dan menangis, aku mencoba menggendongnya lalu malah aku yang terjatuh, tapi aku bangkit lagi lalu Laila diam.

Ibuku bilang, saat Laila asik main-main di taman rumahnya, aku cuma duduk di teras main mobil-mobilan pemberian ibunya Laila. Lalu aku berlari sambil menutupi kepala Laila dengan tangan kecilku ketika hujan turun tiba-tiba.

Ibuku bilang, saat Laila sakit, akulah yang sibuk dengan imutnya mengkompress Laila sampi wajahnya basah karena tetesan air.

Dan Ibuku bilang, Laila, belum pernah menunjukkan kepedulian yang sama terhadapku.

Ketika kami SD, kami sekolah di SD yang sama dan Laila memperkenalkanku pada teman-temannya sebagai sepupunya. Aku juga mengira hal yang sama, karena ibu kami berkata seperti itu. Ibu Laila bilang, bahwa Ibuku adalah adiknya yang bantu-bantu di rumah. Aku tak protes, aku lebih banyak nurutnya.



Hingga ketika SMP, saat itu kelas 3, aku baru sadar kalau aku hanyalah anak pembantu.

Saat itu, bagiku dan Laila tiada lagi jarak seperti kami benar benar seorang saudara. Laila menciumku, memelukku, merangkulku, bercanda bercanda denganku dengan kemesraan seorang adik kepada kakaknya. Aku juga sering mencubit pipinya, menciumnya, mengusap rambutnya, memeluknya, merangkulnya, menggendongnya. Hal tersebut membuat ibu Laila khawatir, dan hari yang paling menakutkan dalam hidupku terjadi.

“Kamu itu bukan sodara Laila! Kamu itu anak pembantu! Ibu dan Ayahmu berhutang budi dengan kami!”

Aku, yang saat itu sudah sedikit mengerti tentang kehidupan, menangis dan jatuh ke lantai. Ibuku juga sempat shock dan ingin bunuh diri karena ucapan ibu Laila. Ayahku sempat berencana membunuh ibu Laila, tapi urung karena ibuku menahannya. Ibuku tau, hutang budi dan harta kami, mungkin tak bisa terbayarkan bahkan jika nyawapun bayarannya.

Saat itu mungkin ibu Laila benar-benar khawatir, dan menjadi sangat marah. Tapi, beberapa hari kemudian ibu Laila meminta maaf pada ibuku yang masih bekerja dan menjadi takut pada ibunya Laila. Ia menceritakan segala ke khawatirannya, delapan mata, dengan ayahku dan ayah Laila. Aku dan Laila menguping dari balik jendela.

Sejak saat itu sampai kami kelas 3 SMA, tak pernah, sedikitpun, kami bersentuhan. Laila menjaga jarak denganku, begitupun aku. Tapi, aku yang saat itu labil tak mengerti mana cinta dan mana sayang seorang saudara, mencoba menyatakan cintaku.

Laila tak menjawab dengan kata-kata, tapi dia meng-sms ku.

“Coba saja jatuh cinta, kalau sudah siap kita tidak akan tinggal serumah lagi.”

Awalnya aku kesal, dan sebal. Aku berpikir, “oh ternyata Laila begini menganggapku sekarang”. Tapi karena aku bukan anak bandel dan sering nurut, aku hanya diam menahan hatiku yang teriris.

Tapi lama-lama perasaan itu hilang, sikap Laila tidak berubah sama sekali kepadaku. Aku kira dia malah semakin menjauhiku, tapi tidak. Sekitar beberapa bulan, perasaanku perlahan hilang. Laila yang cantik, yang mudah tersenyum, yang periang, mulai terlihat sebagai sosok putri yang wajibku lindungi, sebagai seorang sahabat yang ku sayangi, sebagai seorang adik yang lemah sehingga membuat kakaknya khawatir.

Perasaanku benar benar hilang, ketika aku sangat-sangat bahagia ketika Laila bilang dia punya pacar! Aku betul-betul senang, seakan akan aku yang punya pacar. Tidak ada rasa kecewa, tidak ada pula rasa iri. Laila pun sering curhat tentang pacarnya, kadang aku membantunya membuat surprise untuk pacarnya.

Tapi hubungan mereka kandas saat UN menjelang, saat itu 2008, aku yang Juara Umum di sekolah mendadak jadi tutor belajar buat Laila. Malam itu, kami benar benar melupakan masa lalu. Kami, seorang kakak dan seorang adik, yang mengikrar janji untuk tak saling mengkhianati selamanya.



------------------------------------

Di tahun 2008 itu, kami lulus dan masuk kuliah. Aku yang mendamba masuk Universitas terbaik di Indonesia saat itu mendaftar tes untuk Universtas yang sama dengan pilihan Laila. Aku mau, mau agar bisa selalu melihat senyum adikku itu.

Di masa-masa kuliah itulah, Laila bisa bebas memperkenalkan sebagai “siapa-nya” dia. Kadang sebagai sepupu, kadang kakak, kadang pacar. Selain bekerja sebagai asisten pribadi dan bodyguard buat Laila, ibu Hapsoro berpesan agar melaporkan setiap gerak gerik Laila ataupun setiap ada cowok yang mendekati Laila.

Aku tidak tahu kenapa, tapi Laila yang selalu riang, menolak setiap cowok yang menembaknya. Bahkan jika ada cowok yang mendekat, Laila langsung menutup langkah modus cowok itu dengan mangatakan bahwa aku pacarnya.

“Kenapa kamu tolak El? Padahal mereka ganteng ganteng, tajir loh. Kalau aku cewek mungkin aku mau deh.”
Tanyaku suatu malam kepada Laila dikosannya.

“He he he, ga sreg aja. Lagian ada kamu kalau aku kenapa napa.”

Aku mulai berpikir. Aku tak bisa selamanya pasti menemaninya, sebagai seorang kakak, ada suatu saat dia harus melepaskan adiknya. Apalagi kakak non-kandung sepertiku.

“Kalau nanti aku punya istri, aku ga bisa nemenin kamu lagi kan, El.”

Laila terdiam. Seakan ia juga tiba-tiba berfikir hal yang sama. Tapi, ia kemudian tersenyum lebar.

“Tenang, kalau kamu mau nikah bilang! Aku bakal nyari cowok saat itu.”

Kata-kata Laila membuatku tergelak. Ada ada saja gadis ini.



Di tahun ketiga kami, Laila menemukan hobi barunya. Dari yang tadi hobi ngusilin orang, ia sekarang hobi fotografi. Ia mengajakku join club fotografi. Hal itulah yang membawaku punya banyak teman aneh, centil, gila, dan asik.

Laila mulai berfikir untuk berkeliling dunia, dengan uang tabungannya dan sedikit meminta tambahan sama ibunya, ia memulai travelnya ke Singapore. Tapi, ibu Hapsoro tak mengijinkan Laila untuk pergi jika sendiri. Melihat Laila yang benar-benar ingin pergi ke Singapore untuk hunting foto, aku pun berusaha berbicara pada Ibu Hapsoro tentang hobi dan impian Laila jadi seorang fotografer. Dengan terpaksa, ibu Hapsoro mengizinkan Laila pergi, tapi harus membawaku untuk menjaganya.

Aku yang tidak punya pikiran aneh dan penurut, mengiyakan permintaan ibu Hapsoro. Begitulah, cerita pertama kali aku selalu diajak jalan keluar negeri sama Laila. Alhamdulillah, rejekiku.

Laila pergi ke Singapore, Malaysia, Thailand, China, Russia, Jepang, Korea, Uzbekistan, Europe, Amerika, keliling dunia. Tentu saja tidak sekaligus. Perbulan, minimal 2 kali kami keluar negeri. Tentu saja, kami minta izin ke kampus. Akibatnya kuliah kami terbengkalai dan penambahan satu tahun kuliah.

Hasil-hasil foto Laila ia jual ke majalah-majalah, event-event ataupun lembaga semacam National Geographic. Dari situ, uangnya sebagian ditabung dan sebagian di putar oleh Laila. Semakin lama, semakin sibuk. Laila seolah menjadi forografer handal dan banyak acara dimana-mana! Aku, selalu diajak olehnya.

“Yuk, ikut.” Ujarnya selalu, dengan senyum manis di wajahnya.

Tak hanya diajak dan dibelikan tiket. Ketika Laila banyak orderan dan banyak rejeki, dia menggajiku. Aku tersenyum dan berterima kasih. Kerja kerasku mengikutiny yang lari-lari saat melihat objek foto bagus, sambil memegang tasnya aku selalu memperhatikan keceriannya.

Hatiku selalu berdoa, kebahagian Laila, keceriannya, semoga tidak pernah hilang.

Kadang, ia juga memfoto diriku yang sedang termenung. Tapi, selalu hitam putih jika itu fotoku.

“Kok fotoku selalu hitam putih, El?”

Laila hanya tersenyum lebar sambil bilang, “Soalnya kamu hitam. Hahaha!”

Kurang ajar. Tapi aku senang, setidaknya dia bahagia.

----------------------------------------



Beberapa bulan awal aku masuk kerja, aku jatuh cinta dengan seorang kolega. Namanya Maya. Gadis itu berjilbab, kalem dan sangat anggun. Tanpa minta advice ke Laila, ataupun orang lain, diam diam aku mengajak Maya jalan. Laila kadang menanyakan dengan siapa aku chatting ataupun kemana aku akan pergi di Sabtu Malam. Aku hanya tersenyum.

“Ada deh. Haha!”

Laila pun, terlihat tak peduli dengan itu. Mungkin dia sudah tau.

Di Desember 2016, di umurku yang ke 25, aku mengutarakan maksudku pada Maya. Kami tak pacaran, aku langsung melamarnya. Alhamdulillah, Mayapun punya perasaan yang sama denganku. He he, sungguh, sungguh bahagianya aku!

Aku yang melamar Maya di Jumat malam itu, pulang duluan kerumah dengan Maya. Aku bilang ke Laila kalau aku pulang duluan.

“Aku pulang duluan ya, ga usah jemput.”

“Ok, pulang naik apa? Kamu kan berangkat bareng aku?”

“Sama temen, aku bawa temen ke rumah.”Ujarku yang ingin memberikan surprise juga ke Laila.

Aku pun pulang dengan Maya. Jujur, Maya yang putih juga sedikit pucat. Ia grogi, ujarnya.

Sesampainya di rumah, Maya kaget dengan rumah majikanku. Betul, Maya pastiny sudah tau tentang diriku, tentang Laila, dan dia menerimanya.

“Walaupun kamu itu anak pembantu, selagi darah kamu dari uang halal, aku tak apa jika kita bikin keluarga kecil. Apalagi, sekarang, kamu sudah bekerja kan.”

Aku senang, jujur senang sekali! Maya-lah yang kucari, aku ingin segera menikahinya, membuat kelurga kecil, membawa ibuku pergi dari rumah itu, melupakan masa lalu ku yang kadang aku malu cerita ke orang.

Aku mengenalkan Maya pada nyonya Hapsoro dan ibuku di ruang tamu. Nyonya Hapsoro dan ibuku memuji kecantikan Maya. Terlihat senyuman lega dari nyonya Hapsoro karena anaknya bisa lepas dariku, dan senyuman bahagia dari ibuku yang melihat anaknya tumbuh dan akan menikah dengan keadaan yang lebih baik dari dirinya dulu.

“Mih, Bun, aku pulang.” Suara Laila pun terdengar membuka pintu dan betapa kagetnya ekspresinya melihat kami kumpul di ruang keluarga.

“Kenalin, ini calon istrinya Fajar, El.” Ujar nyonya Hapsoro.

“Hehe, surprise El, sorry ya duluan.” Ujarku.

Laila yang tadi berekspresi kaget tiba tiba tersenyum lebar, sambil ketawa dikit.

“Haha! Idih, selamat Fajar!” Laila mendekatkan wajahnya ke Maya, “Cantik juga calon kakak ipar gw.” Laila menjabat tangannya Maya.

“Laila. Sepupunya Fajar.” Ujar.

“Maya.” Sahur calon istriku dengan senyum grogi.

“Dia udah tau kali El, tentang aku sama keluargaku, tenteng kamu juga.”

Muka Laila berubah merah, malu, karena sudah kebiasaan kami berbohong.

“Hehe, tenang aja Kak. Kak Fajar juga cerita kalau kalian sering bohongin orang.”

“Haha! Sorry!” Ujar Laila mengatupkan tangannya di depan wajah.

Sesaat itu Laila pamit ke kamar, dan tak muncul-muncul lagi sampai Maya pulang.



------------------------------------------

Di Februari 2017, aku dan Maya sudah sibuk mempersiapkan pernikahan. Laila kadang membantu Maya untuk urusan kewanitaan.

“Please, sampai aku nikah, jadi pembantuku dulu ya.” Begitulah pintaku ke Laila.

“Haha! Siap Tuan.”Ujar Laila tersenyum. Ia girang sekali.

Bersambung di Post 1
Diubah oleh OblOOOOOOO 04-02-2018 01:03
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
2.9K
18
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan