Kali ini ane mau bahas tentang penyakit difteri yang akhir-akhir ini banyak banget diberitakan di media massa. Banyak banget yang nggak nyangka penyakit ini mewabah lagi.
Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri bernama Corynebacterium Diphteriae. Pada manusia bakteri ini umumnya menyerang saluran napas atas menyebabkan gejala seperti demam, sakit tenggorokan, dan yang khas munculnya selaput putih di sekitar amandel.
Konsultan Infeksi Tropik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Dr dr Hindra Irawan Satari, SpA(K), mengatakan bahwa difteri sudah dideskripsikan sejak abad ke-5 sebelum masehi oleh para ilmuwan Yunani. Saat itu difteri menjadi salah satu penyakit menular penyebab kematian terbanyak pada anak-anak.
Difteri mematikan karena selaput putih yang disebut pseudomembrane dapat terus tumbuh tebal hingga seseorang kesulitan atau bahkan tidak bisa bernapas. Selain itu bakteri juga memproduksi toksin yang dapat merusak jantung, ginjal, dan saraf memicu komplikasi.
Sampai sekitar tahun 1880 dengan bantuan mikroskop seorang ilmuwan bernama F. Loeffler berhasil mengidentifikasi bakteri Corynebacterium Diphteriae. Dari sana peneliti melihat bahwa bakteri menghasilkan toksin yang bisa dimanfaatkan untuk jadi vaksin.
"Vaksin difteri ini sudah dipakai di Amerika dari tahun 1890. Sudah ratusan tahun bukan barang baru, kenapa jadi pada takut? Dia itu untuk menetralisir racun," kata dr Hindra saat ditemui di Nutrifood Inspiring Center, Apartemen Menteng Square Tower, Jakarta Pusat, Selasa (19/12/2017).
Di Indonesia sendiri menurut Ketua Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) Profesor Dr dr Sri Rezeki S. Hadinegoro, SpA(K), pemberian vaksin difteri sudah diberikan sejak tahun 1977.
Seiring berjalannya waktu karena keberhasilan program imunisasi kasus difteri pun perlahan berkurang. Namun karena hal itu juga mungkin masyarakat menjadi lengah dan lupa terhadap ancaman penyakit yang dulu mematikan ini.
"Masyarakat sudah lengah menyangka penyakit ini sudah enggak ada. Dampaknya ya seperti yang kita alami sekarang," pungkas dr Hindra.
Menurut World Health Organization (WHO), tercatat ada 7.097 kasus difteri yang dilaporkan di seluruh dunia pada tahun 2016. Di antara angka tersebut, Indonesia turut menyumbang 342 kasus. Sejak tahun 2011, kejadian luar biasa (KLB) untuk kasus difteri menjadi masalah di Indonesia. Tercatat 3.353 kasus difteri dilaporkan dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2016 dan angka ini menempatkan Indonesia menjadi urutan ke-2 setelah India dengan jumlah kasus difteri terbanyak. Dari 3.353 orang yang menderita difteri, dan 110 di antaranya meninggal dunia. Hampir 90% dari orang yang terinfeksi, tidak memiliki riwayat imunisasi difteri yang lengkap.
Difteri termasuk salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dan imunisasi terhadap difteri termasuk ke dalam program imunisasi wajib pemerintah Indonesia. Imunisasi difteri yang dikombinasikan dengan pertusis (batuk rejan) dan tetanus ini disebut dengan imunisasi DTP. Sebelum usia 1 tahun, anak diwajibkan mendapat 3 kali imunisasi DTP. Cakupan anak-anak yang mendapat imunisasi DTP sampai dengan 3 kali di Indonesia, pada tahun 2016, sebesar 84%. Jumlahnya menurun jika dibandingkan dengan cakupan DTP yang pertama, yaitu 90%
Difteri umumnya memiliki masa inkubasi atau rentang waktu sejak bakteri masuk ke tubuh sampai gejala muncul 2 hingga 5 hari. Gejala-gejala dari penyakit ini meliputi:
- Terbentuknya lapisan tipis berwarna abu-abu yang menutupi tenggorokan dan amandel.
- Demam dan menggigil.
- Sakit tenggorokan dan suara serak.
- Sulit bernapas atau napas yang cepat.
- Pembengkakan kelenjar limfe pada leher.
- Lemas dan lelah.
- Pilek. Awalnya cair, tapi lama-kelamaan menjadi kental dan terkadang bercampur darah.
- Difteri juga terkadang dapat menyerang kulit dan menyebabkan luka seperti borok (ulkus). Ulkus tersebut akan sembuh dalam beberapa bulan, tapi biasanya akan meninggalkan bekas pada kulit.
Segera periksakan diri ke dokter jika Anda atau anak Anda menunjukkan gejala-gejala di atas. Penyakit ini harus diobati secepatnya untuk mencegah komplikasi.
https://health.detik.com/read/2017/12/19/175526/3777023/763/sejarah-panjang-penyakit-difteri-di-dunia
http://www.alodokter.com/difteri