Toleransi adalah ciri hidup masyarakat Indonesia dan menjadi ciri hidup masyarakat Sunda. Ini dibuktikan dengan falsafah hidup masyarakat Sunda, yakni Silih Asah, Silih Asih dan Silih Asuh. Masyarakat Sunda juga mengenal prinsip Nu Jauh Urang Deukeutkeun, Geus Deukeut Urang Layeutkeun, Geus Layeut Urang Paheutkeun, Geus Paheut Silih Wangikeun. Artinya bahwa yang jauh pun harus didekatkan, yang dekat kemudian diakrabkan yang akrab kemudian disatukan dalam hati, sudah bersatu dalam hati maka hidup saling mengasihi.
Quote:
Prinsip-prinsip tersebut itu datang sudah sejak lama, dimana sejak Kerajaan Sunda sudah dikembangkan paham itu. Jadi bukan hal yang aneh jika di Jawa Barat berdiri beragam tempat-tempat ibadah. Sebenarnya tempat ibadahnya itu bukan tempat ibadahnya penduduk Sunda, tetapi tempat ibadahnya para pendatang. Artinya bahwa ada sikap menghormati perbedaan dalam berkeyakinan di Tanah Sunda sejak lama. Inilah yang melatarbelakangi terbentuknya berbagai gerakan yang memberikan ruang bagi setiap orang untuk menjalankan hak dan kewajibannya sebagai mahkluk individu pada keyakinan ketuhannya.
Akhir-akhir ini muncul istilah toleransi dan intoleransi. Sikap intoleransi bukan merupakan sikap orang Sunda. Tetapi sikap beberapa orang yang kebanyakan adalah para pendatang yang memiliki spirit-spirit yang berisfat konflik, yang kebetulan mereka tinggalnya di Tanah Sunda. Ujung-ujungnya masuk ke wilayah politik, karena toleransi dan intoleransi lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor politik yang berkembang setiap saat dengan berbagai nuansa kepentingan. Teringat kisah Kabayan.
Quote:
Pada kisah Kabayan Dalam Kabayan Ngala Tutut, Kabayan diam berjam-jam jongkok di pematang sawah. Dia hanya memandang air yang menggenang. Mertuanya pun bertanya, "Ada apa, kenapa tidak turun?". Kabayan menjawab, "Tidak mau, karena air di sawah dalam sekali". Saking dalamnya, dia bisa melihat bayangan langit di permukaan air sawah.
Terkesan bodoh, tapi ini menyindir kebodohan kita dalam memandang hidup. Yang sering ketakutan oleh kehidupan dunia, yang sebetulnya hanya bayang-bayang. Agar tak terjebak dalam hal ini, karenanya orang Sunda dalam kisah-kisah Kabayan digambarkan punya filosofi hidup. Diantaranya, 'Geus teu nanaon kunanaon', artinya, 'Tidak terpengaruh oleh apa-apa'.
Sehari-hari si Kabayan hidup dengan gembira. Tak terlalu sedih ketika ditimpa kemalangan, tak terlalu gembira ketika mendapat kesenangan. Kesenangan dan kemalangan hanya sementara, datang dan pergi. Lalu si Kabayan selalu berteriak, 'Heuheuy deudeuh'. Ini sesuai dengan gaya hidup orang Sunda, Hirup mah heuheuy jeung deudeuh!, mun keur seuri cape seuri, mun keur ceurik cape ceurik'. 'Hidup itu selalu kesenangan dan kesedihan. Jika sedang menangis akan capek menangis, ketika tertawa akan capek tertawa. Semua saling berganti, jadi enjoylah! Makanya Orang Sunda itu terkesan suka canda.
Juga tidak lupa lengkapnya, 'Teu daya teu upaya'. 'Abdi mah teu daya teu upaya mung ngiringan kersaning anjeun'. Ini ungkapan yang artinya kira-kira sama dengan 'La haula wala quwwata illah billah'. Kita cuma wayang, dan hanya bisa berserah diri kepada Yang Di Atas.
Itulah sebagian filosofi Sunda dalam cerita Kabayan, sosok yang kesannya lugu, tapi membawa pesan filosofi yang dalam dan membawa pesan tentang ciri orang Sunda yang harus: Cageur sehat fisik dan rohani, Bageur baik hati, pinter cerdas motekar kreatif, tetapi harus ingat, selalu basajan sederhana, dan handap asor rendah hati. Selalu silih asih, silih asah, silih asuh, dan tetap satu. Aku bangga menjadi Indonesia, Bhineka Tunggal Ika!