fajarnews17Avatar border
TS
fajarnews17
FENOMENA RONTOKNYA PERBELANJAAN DI INDONESIA


Fenomena toko ritel yang mulai berguguran di Indonesia harus menjadi sebuah babak baru bagi industri ritel tanah air. Inovasi perlu dilakukan agar masyarakat kembali tertarik pergi belanja ke mal. Setelah Lotus, Mitra Adi Perkasa kembali menutup gerai lainnya yakni Debenhams. Sebelumnya Matahari di Pasaraya Manggarai dan Blok M juga harus gulung tikar.

Majalah Forbes memberi pemahaman tentang ‘Digital Transformation’ yang ditulis Daniel Newman, memaparkan beberapa hal canggih yang harus dilakukan retail dalam bertransformasi. Hal ini semata-mata untuk menggaet masyarakat agar merasakan suasana baru jika berpergian ke department store. Konsumen masa kini lebih efisien, super sibuk, dan sangat menyukai apa yang instan. Apa yang mereka inginkan sekarang, harus terwujud sekarang juga. Termasuk ketika membeli sebuah barang dari meja kerjanya atau dari rumah melalui handphone atau laptopnya. Maunya, dengan membayar melalui beberapa payment system atau gerbang pembayaran non tunai, tak lama barang tersebut datang sendiri.

Namun jika di Indonesia, menurut Ekonom Universitas Indonesia, Chatib Basri, memang tak dipungkiri bahwa banyak mal yang drop penjualannya karena peralihan transaksi masyarakat menjadi online. Namun fenomena jual-beli online hanya terjadi pada 30 persen masyarakat Indonesia yang mempunyai akses ke bank.

Manggarai, Blok M, Glodok & Tanah Abang, Kini Mangga Dua Terancam Tutup
Sri Mulyani Mulai Kepanikan

“Sebanyak 64 persen orang Indonesia belum terakses bank. Sedangkan untuk beli online harus pakai bank,” ucap Chatib. Sejauh ini, ia tidak melihat daya beli masyarakat Indonesia menurun, daya beli masyarakat masih tinggi. Namun telah terjadi pergeseran transaksi tersebut. Chatib menuturkan perkembangan teknologi dan ekonomi digital begitu cepat di Indonesia. Tapi sumber daya manusia (SDM) nya tidak siap, infastrukturnya, birokrasinya juga belum siap. Transformasi digital yang terjadi sekarang ini akan menggerus 5,1 juta lapangan kerja di seluruh dunia. Banyak jenis pekerjaan yang akan hilang di dunia karena bisa dikerjakan secara digital. Nantinya, karena tenaga kerja semakin berkurang, yang akan diuntungkan besar hanya penyedia aplikasi.

“Bahkan profesi akuntan saja sudah bisa digantikan dengan mesin. Akuntan yang sekarang hanya tinggal memeriksa hasil akhir atau evaluasi saja. Banyak pekerjaan yang sudah bisa dikerjakan oleh teknologi. Dan ini harus diantisipasi dengan training pekerjaan lain.”
Inovasi yang Bagaimana?

Kembali ke artikel tulisan Daniel Newman yang pernah bergelut di dunia peritelan itu, coba lupakan sejenak, mengenai kondisi eksternal jalanan seperti kemacetan dan cuaca yang tidak mendukung masyarakat berpergian ke mall langsung. Sebab, ini bukan perkara industri ritel siap atau tidak, industri ritel mau tak mau harus melakukan inovasi. Retailer harus bisa menciptakan demand yang tinggi atau ketertarikan yang tinggi untuk masyarakat agar mau merasakan pengalaman baru berbelanja di gerai ritelnya. Para pengelola harus menjual experience atau pengalaman ketika berbelanja sesuatu yang baru. “Kita tak bisa menutup digitalisasi, walaupun itu adalah sebuah ritel. Meskipun hal kecil yang ada di ritel. Kalau tidak semua gerai akan tutup dan terancam,” jelasnya.

Gambarannya begini, ketika seseorang pergi ke mal atau department store di masa depan (atau mungkin dalam waktu dekat) maka dia hanya berbekal sebuah ponsel pintar. Tak perlu luas gerai yang besar, namun hanya perlu layar digital dan gudang untuk menyimpan secara khusus barangnya. Sumber/Ekonom/Local/NN
0
36.7K
300
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan