Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dewaagniAvatar border
TS
dewaagni
Gugurnya Agama Leluhur
Gugurnya Agama Leluhur

Fandy Hutari

21 Juni 2017





Ilustrasi

Ilustrator: Dwi Sugiyanto

Pada Desember 2014, publik dikejutkan dengan pemberitaan seorang warga Desa Siandong, Brebes, Jawa Tengah, yang jenazahnya ditolak warga untuk dikebumikan di pemakaman umum. Akibatnya, setelah terlantar selama 12 jam, jenazah warga yang bernama Daodah itu terpaksa dimakamkan di pekarangan rumahnya.

Peristiwa yang terjadi tiga tahun lalu itu, mendapatkan kecaman berbagai pihak yang fokus dengan isu toleransi, hak asasi, dan keragaman. Daodah adalah penganut aliran penghayat Sapta Darma. Salah satu aliran penghayat yang hidup di negeri ini.

Kasus tadi merupakan salah satu kasus diskriminasi, dari rentetan kasus lainnya, yang menimpa aliran penghayat di negeri ini.

Timbul-Tenggelam

Menurut Abd. Mutholib Ilyas dan Abd. Ghofur Imam dalam buku Aliran Kepercayaan & Kebatinan di Indonesia, awal kemerdekaan hingga 1964, jumlah aliran penghayat di Indonesia bertambah signifikan, dari 78 menjadi 300 lebih.

Kemudian, menurut Niels Mulder dalam bukunya Mistisme Jawa Ideologi di Indonesia, sepanjang periode subur pascaperang, sejumlah aliran penghayat mengembang menjadi kelompok nasional---yang menyatakan diri memiliki anggota ratusan ribu orang.

Kelompok-kelompok ini, bisa dibilang, setara dengan agama. Oleh karena itu, pada 1959, penganut aliran penghayat yang tergabung dalam Dewan Musyawarah Badan Kongres Kebatinan Indonesia pernah mengajukan permohonan kepada pemerintah agar aliran penghayat bisa disejajarkan dengan agama “resmi”.

Usaha mereka sia-sia. Pasca tragedi berdarah 1965, aliran-aliran penghayat itu dinyatakan terlarang oleh Kejaksaan Agung. Alasannya, banyak kasus penodaan agama “resmi”. Maka, lahirlah Penetapan Presiden, yang kemudian menjadi UU PNPS 1/1965 tentang Penodaan Agama. Bahkan, selepas huru-hara politik tersebut, banyak penganut penghayat yang akhirnya terpaksa memeluk agama “resmi”, karena takut dianggap ateis atau komunis.

Menurut salah seorang penganut Sunda Wiwitan, Dewi Kanti, banyak penganut Sunda Wiwitan yang akhirnya memeluk Katolik. Selain tragedi 1965, pembantaian oleh DI/TII juga menjadi faktor pemicunya.

Tekanan terus berlanjut. Pada 1971, sebanyak 167 aliran penghayat dinyatakan terlarang. Meski begitu, hal tersebut tak membuat jumlah aliran penghayat menciut. Malah, dari tahun ke tahun bertambah banyak.

Tangan negara untuk “menekan” aliran penghayat semakin menjadi-jadi. Melalui Sidang Kabinet Bidang Kesejahteraan Rakyat pada 24 Juni 1975, diambil keputusan mengubah formulir KTP, maupun formulir lainnya, yang mencantumkan kolom agama untuk diubah menjadi kolom agama/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Mulder mengatakan, pada 1978 aliran kepercayaan diberikan jatah sebuah biro, Direktorat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam posisi itu, kepercayaan disejajarkan sebagai sebuah kebudayaan, bukan agama.

Sidang Umum MPR tahun 1978 juga menegaskan hal tersebut: kepercayaan bukanlah agama, melainkan budaya bangsa. Dengan keluarnya TAP MPR Nomor 4/1978, kolom agama dalam KTP wajib diisi satu di antara lima agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha---ditambah Kong Hu Chu pada 2000.  

Salah satu contoh kasus terjadi pada Sapta Darma yang hanya mengakui statusnya sebagai sebuah aliran kepercayaan. Awalnya, semua ajaran yang diberikan penyebar Sapta Darma, Panuntun Agung Sri Gutama, disebut agama Sapta Darma.

Akan tetapi, sejak 1978, Sapta Darma diubah dan disesuaikan dengan keputusan MPR itu, menjadi kerohanian Sapta Darma (Ilyas dan Imam, 1988: 154). Imbas dari segala kebijakan pemerintah bahkan mengular ke daerah-daerah, yang sudah memiliki sistem kepercayaan kepada Tuhan dan leluhur sejak lama.

Dari sini, kita bisa melihat bagaimana sebuah agama lokal “diturunkan” posisinya dari sebuah agama ke budaya. Mereka harus menyesuaikan diri, dengan aturan negara.

Diskriminasi

Meski tak diakui sebagai agama “sah”, menurut Mulder, di penghujung 1970-an aliran penghayat sudah terlembaga dengan kokoh. Data Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003 menyebut, ada 245 aliran penghayat yang terdaftar.

Namun, kita tak bisa menutup mata. Negara belum bisa merawat eksistensi mereka. Bahkan, tak bisa dipungkiri pula, kerap terjadi diskriminasi. Yang masih hangat hingga kini, menyoal administrasi kependudukan (adminduk). Dalam aturan perundang-undangan, penganut aliran penghayat diminta tak mengisi kolom agama dalam KTP. Akan tetapi, tetap dicatat di data kependudukan, dan dilayani.

Namun, faktanya penganut aliran kepercayaan yang mengosongkan kolom agama tak dapat pelayanan yang sejajar dengan warga negara lain. Misalnya saja pengakuan Achmad penganut aliran penghayat Kepribaden, yang pernah saya temui. Ia mengatakan, lantaran kolom agama di KTP-nya kosong, ia kesulitan mengurus izin untuk mendirikan kios kecil di rumahnya.

“Saya pernah mengurus izin membuat warung sembako di rumah. Dilihat KTP saya (oleh petugas) tak ada agama, dia mempermasalahkan,” kata Achmad.

Hal serupa menimpa agama lokal Ugamo Malim di Toba Samosir, Sumatra Utara. Di KTP,  penganutnya harus mengisi kolom agama resmi, biasanya Kristen Protestan. Banyak kisah sulitnya warga Parmalim---sebutan penganut Ugamo Malim---untuk mendapatkan hak-hak konstitusional.

Hal ini memicu sejumlah penganut penghayat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminduk dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Adminduk 2006 ke Mahkamah Konstitusi pada awal Mei 2017.

Aliran penghayat sesungguhnya sebuah kenyataan sejarah yang tak bisa dibantah. Ia lahir, tumbuh, dan berkembang di Nusantara sejak lama. Keberadaannya, mungkin saja bakal berkurang---bahkan terancam punah---karena diskriminasi dan segala kebijakan yang kurang adil.

Referensi:
Artikel
Arif Koes Hernawan. “Sapta Darma Diterpa Diskriminasi” dalam Majalah Gatra, edisi 36/XXII 13 Juli 2016. 
CRCS. 4 Mei 2017. “Menguji UU Adminduk: Diskriminasi dalam Pengosongan Kolom Agama” dalam Ugm.ac.id. 
Herlina, Tutut dan SU Herdjoko. “Agama Lokal Warisan Besar Nusantara” dalam Sinarharapan.co, 29 Agustus 2015.
Nupus, Hayati. “Jalan Terjal Ugamo Malim” dalamMajalah Gatra, edisi 36/XXII 13 Juli 2016.
Saputra, Andi. “Rekam Jejak Penghayat Kepercayaan, dari Orde Lama hingga Reformasi”dalam Detik.com, 4 Mei 2017.

Buku
Ilyas, Mutholis Abd. dan Abd. Ghofur Imam. 1988.Aliran Kepercayaan & Kebatinan di Indonesia.Surabaya: CV Amin Surabaya.
Mulder, Niels. 2007. Mistitsme Jawa; Ideologi di Indonesia. Yogyakarta: LkiS.
Rahnip. 1997. Aliran Kepercayaan dan Kebatinan dalam Sorotan. Surabaya: Pustaka Progressif.

https://ruang.gramedia.com/read/1496...-agama-leluhur
0
7.9K
67
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan