VIVA.co.id – Dalam program Indonesia Lawyers Club yang ditayangkan di tvOne, Selasa malam, 19 September 2017, terdapat kata hantu dalam tema acara yang mengangkat topik hangat tentang ada tidaknya PKI di Indonesia, saat ini.

Ada dua versi hantu PKI yang mencuat dalam diskusi dengan judul lengkap 'PKI, Hantu atau Nyata? ini. Versi hantu PKI yang pertama dipaparkan Ilham Aidit, putra bungsu dari mantan pemimpin senior Partai Komunis Indonesia atau PKI, Dipa Nusantara Aidit.

Menurut Ilham, hantu PKI itu sebenarnya muncul dari adanya kebohongan yang ada dalam Film G30S/PKI. Hantu PKI muncul dalam adegan di sekitar Lubang Buaya yang ditayangkan selama 41 menit dari durasi lengkap film yang mencapai 3 jam 20 menit.

"Nah saya ingin katakan bahwa film itu benar-benar film propaganda, film memaksa dan melegitimasi Orde Baru. Betapa mereka itu hantu, sehingga kami benar menghajar mereka. Hantu itu dimulai dari film yang sangat detail, sangat bohong selama 41 menit di Lubang Buaya," kata Ilham.

Ilham mengatakan, dalam durasi cukup panjang itu, dipertontonkan kekejaman seperti memotong alat kelamin dan menyayat mata. Selain itu, kata Ilham, selama setengah tahun, saat terjadi tragedi 65, hanya ada surat kabar yang diperbolehkan terbit, dan selama itu kedua surat kabar itu selalu memberitakan tentang kejadian di Lubang Buaya.

"Dan itu sangat-sangat memprovokasi masyarakat dan memancing amuk massa. Masyarakat sangat peka pada kelamin dipotong, sangat marah ketika mata disayat. Karena mereka tahu, Lubang Buaya itu ampuh sekali memicu kemarahan," ujar Ilham.

Sementara itu, hantu PKI dalam versi kedua, menurut Mayor Jenderal Purnawirawan Kivlan Zen, ialah gerakan yang nyata adanya, tapi bergerak secara diam-diam.

"Ini bukan hantu lagi, sudah nyata. Masalah hantu atau nyata. Saya bilang hantu juga, nyata juga, diam-diam sudah bentuk satu susunan," kata Kivlan di diskusi yang sama.

Menurut Kivlan, PKI tak lagi hantu, tapi sudah bangkit. Buktinya, kata Kivlan, mereka meminta agar Tap MPR tahun 1966 dicabut.

"Karena sudah terbentuk dari tingkat pusat ke tingkat desa. Buka di meja, kita selesaikan masalah ini, mungkin Lemhanas bisa memfasilitasi," ujar Kivlan. (one)

Sumber Berita

=====================================================================

Komen TS

Mungkin diskusi di ILC TV One tadi (19 September 2017) adalah diskusi antara dua pihak (eks-PKI dan anti-PKI) yang paling berkualitas.

favorit saya Gubernur Lemhanas Letjend (Purn) Agus Widjojo (putra Mayjend Sutoyo/salah satu korban G30S-PKI) dan Prof. Salim Said

Gubernur Lemhanas : Rekonsiliasi tu saling menunjukkan kesalahan masing2 dan saling memaafkan bukan mencari pembenaran masing2 mengenai siapa yang paling benar/tidak bersalah. Jadi yang pro-PKI jangan merasa paling benar dan merasa tidak punya salah. Berdamailah dengan masa lalu, jangan biarkan pikiran selalu terpaku di tahun 65. Kalo tahun 2017 tapi pikiran masih tahun 65, berarti hidup anda tertinggal di tahun 65.

Prof. Salim Said menjelaskan bahwa film memang tidak harus akurat sama persis dengan aslinya. Intinya film tetap sama dengan faktanya. Saling debat dan berargumentasi mengenai siapa yg paling benar adalah gerakan politik, bukan rekonsiliasi. Eks-PKI jangan menggiring opini masyarakat bahwa PKI tidak punya salah. Coba tanya ke diri anda masing2, komunis sudah bangkrut, Uni Soviet sudah runtuh, Tiongkok sudah jadi kapitalis, tapi di Indonesia kebencian akan PKI tidak bisa disembuhkan. Itu karena kesalahan2 PKI di saat berkuasa yang sewenang-wenang dan menindas kelompok lain.

Jajang C Noer bilang bilang bahwa suaminya bikin film G30S tanpa paksaan siapapun. Murni karya Arifin C Noer, tidak ada intimidasi pihak tertentu.

Sukmawati: Pada tanggal 2 Oktober 1965, CC PKI mengeluarkan pernyataan dukungan pada G30S (pembunuhan para jendral dan perwira)

Kivlan Zen bilang : "PKI itu nyerang duluan, tapi dibales mewek 7 turunan. Udah gitu menuntut permintaan maaf lagi, dasar ga tahu diri!!"