Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

sinyalitiAvatar border
TS
sinyaliti
Polemik Pasal “Karet” Undang-undang ITE, Demokrasi, dan Dunia Maya


Banyak yang tidak percaya ketika diberitakan Pemerintah memasukkan kembali pasal-pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru. Sebab, pasal-pasal tentang penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.

Melalui putusan Nomor 013 dan 022/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi yang saat itu dipimpin Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa pasal-pasal tentang penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden adalah inkonstitusional. Selain itu, pasal-pasal tersebut juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tiga pasal yang terkait dengan penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, yakni Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP.

Menurut Mahkamah Konstitusi, pasal-pasal tersebut bisa menjerat orang yang mungkin tidak bermaksud menghina Presiden, tetapi hanya menggunakan hak konstitusional biasa. Seperti melakukan protes, membuat pernyataan, mengemukakan pemikiran, atau menyampaikan kritik.



Pasal-pasal tersebut berpotensi dipergunakan seenaknya oleh Penguasa untuk membungkam suara rakyat dalam menggunakan hak konstitusionalnya.

Itulah sebabnya, banyak yang menilai upaya menghidupkan kembali pasal-pasal “karet” tersebut menjadi ancaman terhadap pembangunan demokrasi di Indonesia.

Jadi, dilema antara putusan Mahkamah Konstitusi dan kebrutalan politik inilah yang harus kita diskusikan secara mendalam untuk menemukan jalan keluar.

Kita tentu tak ingin ada orang yang seenaknya melakukan penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden atas nama demokrasi dan hak konstitusional. Kita menjadi geram saat melihat penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dilakukan secara sarkastis dan kotor. Namun di sisi lain, dukungan publik kepada si pelaku ternyata juga tidak sedikit. Ada yang mengatakan bahwa pasal tersebut terlalu diada-adakan.

Contohnya seperti kasus penghinaan yang dilakukan oleh Muhammad Arsyad, si tukang sate, yang dilanjutkan ke proses hukum.

Didasarkan dengan membuat dan mengedit foto seronok antara Jokowi dan Megawati Soekarnoputri, dan kemudian menyebarkannya melalui Facebook, Muhammad Arsyad (MA) kemudian ditangkap dan diproses secara hukum.

23 Oktober 2014, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri menahan MA. Ia dianggap melanggar Pasal 29 Undang-Undang Pornografi Nomor 44 Tahun 2008 serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 310 dan 311 tentang pencemaran nama baik. Dia terancam mendekam di penjara selama 12 tahun.

Awalnya, melalui Kuasa Hukumnya Henry Yosodiningrat, Jokowi menyatakan tidak akan mencabut laporan ke Mabes Polri terhadap MA. Karena kasus ini telanjur diproses oleh Kepolisian. Namun Arsyad kemudian dibebaskan dengan memiliki kewajiban untuk wajib lapor.

Pada akhirnya, kita berharap media sosial menjadi ekspresi dari masa depan kita. Tentu saja ada etika yang harus kita jaga dalam menggunakan media sosial. Namun, etika adalah etika. Sehingga jangan sampai ada sebuah regulasi yang justru meneror kita.

Sumber Sinyaliti
0
13.6K
76
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan