BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Menghormati konsumen, menghormati dunia usaha

Ilustrasi: konsumen harus cermat terhdap janji pelaku usaha
Ini bukan dejavu. Orangnya berbeda. Peristiwanya berbeda. Tapi jalan ceritanya serupa: Acho dan Prita.

Bulan Agustus sembilan tahun lalu Prita Mulyasari menulis dan mengirimkan email pribadi ke teman terdekatnya. Email itu berisi keluhan atas pelayanan RS Omni Internasional, tempat dia berobat beberapa hari sebelumnya. Tanpa ia duga, email itu beredar luas di Internet.

RS Omni Internasional berkeberatan dengan isi email tersebut. Karena mediasi dengan Prita mengalami kebuntuan, RS Omni Internasional mengadukan Prita ke polisi. Selain itu, RS Omni Internasional juga menggugat Prita secara perdata.

Dalam perkara pidana, Prita dibidik dengan pasal-pasal yang ditujukan bagi pelaku pencemaran nama baik dan penghinaan. Prita dijerat dengan pasal-pasal pencemaran nama baik dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan KUHP.

Dalam perkara perdata, Prita menjadi pihak Tergugat. Sedangkan pihak penggugat terdiri dari pengelola rumah sakit sebagai Penggugat I, dokter yang merawat sebagai Penggugat II, dan penanggungjawab atas keberatan pelayanan rumah sakit sebagai Penggugat III. Dalam gugatan perdata itu, penggugat meminta tuntutan ganti rugi sebesar Rp559.623.064.960,-

Bulan Agustus tahun ini kasus Acho -yang nama bernama lengkap Muhadkly MT- mencuat di media. Kasus itu bermula ketika Acho menuliskan keluhannya, sebagai pembeli dan penghuni Apartemen Green Pramuka, di blog pribadinya pada Maret 2015.

Selang beberapa bulan sejak tulisan keluhannya terbit di blog pribadi, Acho dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh Danang Surya Winata, PT Duta Paramindo Sejahtera. Acho dituding melakukan pencemaran nama baik. Pasal yang digunakan dalam perkara ini adalah Pasal 27 ayat 3 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan pasal 310-311 KUHP.

Tahun ini, dua tahun setelah pelaporan itu, Acho diperiksa polisi. Acho berstatus tersangka dalam kasus ini sejak Juni 2017.

Kedua kasus -Prita dan Acho- ini memperlihatkan gambar yang serupa. Kedua menggambarkan nasib konsumen yang mengeluhkan layanan atau produk yang diterimanya.

Kita belum tahu bagaimana ujung perkara Acho nanti. Belajar dari kasus Prita, kasus semacam ini bisa saja akan memakan waktu cukup lama sampai pada keputusan yang berkekuatan hukum tetap.

Dalam kasus perdata, Prita pernah divonis kalah sehingga harus membayar ganti rugi kepada pihak penggugatnya. Namun pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) membebaskan Prita dari gugagatan itu.

Dalam kasus pidana, pengadilan negeri pernah memutus bebas kepada Prita. Namun pada tingkat kasasi, MA memvonis Prita 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun. Prita bebas dalam kasus pidana ini setelah permohonan Peninjauan Kembali dikabulkan oleh MA, yang menganulir putusan pengadilan negeri maupun kasasi MA sebelumnya.

Diwarnai oleh gempitanya dukungan masyarakat kepada Prita, kasus itu memakan waktu tak kurang dari 4 tahun. Bukan waktu yang sebentar untuk sebuah perkara yang memojokkan konsumen yang mengeluhkan layanan maupun produk yang diterimanya.

Dalam kasus Acho, mungkinkah solidaritas konsumen akan kembali bangkit seperti halnya terjadi pada kasus Prita? Jelas, tidak mustahil.

Kasus Acho dan Prita mengingatkan kita bahwa hak konsumen masih diabaikan. Kita juga melihat ketergesaan dan ketidakcermatan dalam memroses keluhan konsumen hanya akan berujung pada kriminalisasi konsumen.

Selain menyebutkan tentang kewajiban, Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan jelas menyebutkan hak-hak konsumen. Yaitu:
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sementara bagi pelaku usaha, selain memuat haknya, Undang-undang Perlindungan Konsumen juga menyebutkan dengan jelas kewajibannya. Yaitu:
Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Menilik dua hal tersebut, kiranya memang agak mengherankan jika ungkapan keluhan konsumen dipojokan menjadi perkara pidana. Sejauh sejak awal keluhan itu disertai dengan bukti dan fakta-fakta serta tidak mengandung kebohongan maupun fitnah, sebuah keluhan itu tak lebih dari indikasi adanya hak konsumen dan kewajiban pelaku usaha yang tidak terpenuhi dalam sebuah transaksi.

Inilah asumsi dasar yang sebaiknya dipegang -baik oleh konsumen, pelaku usaha, maupun aparat yang bertugas di gerbang proses hukum. Asumsi dasar itu harus menjadi bentuk itikad baik dari semua pihak untuk menghormati dan melindungi konsumen.

Kita berharap aparat hukum tidak gegabah menerapkan pasal karet -tentang pencemaran nama baik- kepada setiap keluhan yang disampaikan oleh konsumen. Mengkriminalisasi konsumen, yang mengeluhkan layanan maupun produk yang diperolehnya, adalah bentuk intimidasi terhadap konsumen yang kritis.

Jangan lupa, intimidasi semacam itu sama sekali tidak berfaedah bagi pihak manapun -terutama sekali bagi dunia usaha. Sebetulnya, menghormati konsumen adalah juga berarti menghormati dunia usaha, sekaligus mematuhi UU Perlindungan Konsumen.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...ti-dunia-usaha

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Pekerjaan rumah itu bernama konflik agraria

- Mewaspadai penilap dana masuk desa

- Bergegas merebut peluang bonus demografi

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
13.7K
67
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan