Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

okcomputer_2721Avatar border
TS
okcomputer_2721
Berulangkali Ingin Mati. Inilah Kisah Hidup Saya bersama Depresi Klinis
Aku terbangun dan memulai pagi itu dengan keinginan untuk mati.

Ini bukanlah kejadian yang langka ketika depresiku masih parah 2-3 tahun yang lalu. Perasaan itu bisa amat intens dan menguasai diriku. Ketika aku berangsur-angsur pulih, keinginan itu juga berangsur-angsur makin jarang muncul. Mudah stres mungkin masih, tapi ingin mati? Kurasa sudah tidak lagi.

Ternyata memang tidak sesimpel itu. Buktinya pagi itu muncul lagi.

Sebentar.

Depresi?

Ya, depresi. Aku punya kondisi mental bernama depresi klinis (clinical depression). Kondisi yang secara klinis dapat dijelaskan sebagai ketidakseimbangan hormon/kimiawi di otak sehingga seseorang, pada tingkat yang parah, akan cenderung merasa sedih, kosong, mati rasa, dan menganggap hidup ini tidak ada guna, tujuan, atau apapun yang membuatnya terasa bermakna. Pada level yang lebih tinggi lagi, dapat mendorong seseorang untuk ingin serius bunuh diri. Kondisi mental ini dapat disebabkan oleh faktor genetis maupun situasional.

Aku belum pernah mencapai tahap di mana aku pernah mengeksekusi rencana bunuh diri ataupun mencoba mengiris pergelangan tangan dengan pisau atau cara-cara mati lainnya.

Namun, pernah ada masanya di mana aku setiap hari mendoakan supaya besoknya aku mati.

Aku tidak punya cukup niat, ataupun "keberanian," untuk melakukannya. Tapi pernah selama waktu yang cukup lama perasaan ingin mati itu cukup intens. Pernah pula aku habiskan waktu kurang lebih 2 tahun benar-benar melakukan segalanya dengan kehampaan. Hanya bangun, makan, mandi, internetan, tidur, dan stres sendiri. Menjalani hari-hari sebagai orang yang hidup segan mati tak mau. Aku hanya ingin semuanya selesai begitu saja.

Di hari itu, setelah sekian waktunya perasaan ingin mati tidak muncul, perasaan itu muncul lagi, entah karena terlalu stres dengan kerjaan yang sedang banyak tidak beresnya, terlalu lelah, atau yang lainnya. Ketika perasaan itu muncul, aku cukup sedih. Apalagi aku sudah banyak membaik dan kupikir hal ini seharusnya bukan menjadi suatu hal yang bisa muncul lagi.

Ternyata memang begini adanya. Perjalananku untuk pulih adalah perjalanan panjang yang penuh tantangan. Di saat aku mulai merasa jalan makin nyaman dan dekat menuju pemulihan, lalu lupa diri, jalan pun kembali terjal. Aku perlu terus menjaga fokusku sepanjang perjalanan.

Di saat-saat seperti itu, aku coba melawan perasaanku dengan kilas balik lagi tentang apa yang kualami karena kondisi mental ini. Benar, bila kulihat lagi, secara garis besar, perjalanan menuju pemulihan ini adalah sesuatu yang aku amat syukuri. Perjalanan yang aku suka sebut dengan sebuah istilah untuk menggambarkan kondisiku: 'Happily Depressed.'

Kenapa dua kata sifat perasaan yang terlihat berlawanan ini: 'happy” dan 'depressed”, kupakai bersamaan? Karena setelah semua yang aku lalui selama ini, secara keseluruhan, aku bersukacita karena punya depresi.

Mungkin terdengar paradoks. Tapi tahu tidak?

Karena pernah depresi parah, kini aku bisa melihat segalanya dengan lebih jernih. Aku makin bisa mensyukuri mental yang sehat yang bisa dipakai beraktivitas dengan baik sehari-hari.

Kini aku sudah bisa kembali beraktivitas seperti biasa, walaupun aku merasa bahwa kalau aku sudah benar-benar sembuh aku akan bisa beraktivitas dengan performa yang lebih baik dari sekarang.

Aku bisa melihat berbagai hal baru yang dahulu tidak kulihat dan I take for granted. Misalnya, bahwa berani hidup lebih susah dan menantang daripada berani mati.

Lebih mudah menyerah untuk hidup daripada memperjuangkan makna hidup.

Lebih singkat prosesnya untuk mengakhiri hidup daripada membangun hidup yang bermanfaat.

Untuk hidup dan berguna bagi orang lain pun juga lebih menantang daripada bertindak egois dan mengincar kematian.

Aku pun temukan, untuk masih bisa meneruskan hidup sedetik ke depan saja sebenarnya sudah merupakan suatu anugerah. Anugerah besar yang seringkali aku lupa untuk hargai, karena kulihat dari perspektif terdistorsi. Apa lagi yang lebih indah daripada mensyukuri anugerah dengan hidup yang berani?

Aku makin ke sini makin percaya, kehidupan yang dijalani dengan berani, lebih layak untuk diperjuangkan. Karena itu aku memilih kehidupan daripada kematian, walaupun amat susah bagiku. Kini, dalam ketakutanku, aku memilih berjuang untuk berani hidup. Untuk apa yang aku lalui serta pelajari selama masa-masa depresiku, aku bersukacita.

Sukacita karena aku mendapat karunia mengalami kondisi mental bernama depresi klinis.

Sukacita karena depresi malah menjadi berkah terselubung (blessing in disguise) yang mengubah banyak hal dalam hidupku dan relasiku dengan Tuhan, orang tua, lingkungan sekitar, dan diri sendiri ke arah yang lebih baik.

Sukacita karena aku melalui suatu hal yang tidak semua orang pernah alami atau akui, dan kini aku berani bercerita bahwa aku punya kondisi mental seperti ini.

Sekarang, aku ingin semampuku menceritakan keadaanku kepada orang lain, dan bila ada kesempatan, juga menjelaskan tentang kesadaran akan kesehatan mental. Mengenai luasnya spektrum kesehatan mental itu.

Banyak sekali hal terkait masalah kondisi mental yang menurutku perlu untuk orang lain ketahui, karena ini bukanlah hal yang langka, melainkan amat umum. Dan sayangnya banyak orang tidak berani mengakuinya karena stigma yang muncul atas kondisi mental seperti depresi, skizofrenia, bipolar, dan lain-lain. Profesi psikiater, konselor, dan psikolog pun seringkali mengalami stereotip sebagai orang-orang yang mengurusi 'orang gila' atau masalah yang memalukan.

Aku ingin, walaupun mungkin hanya bisa sedikit saja, membantu orang lain yang punya kondisi mental khusus dengan membantu menjelaskan bagaimana rasanya punya mental distortion, paling tidak seperti yang aku alami.

Aku juga ingin coba jelaskan bahwa depresi adalah salah satu elemen yang kuanggap penting dalam hidupku. Tapi satu hal yang perlu diingat:

“I have depression, but it doesn’t define who I am (hopefully)”.

Depresi adalah bagian dari hidupku, tapi itu sama sekali tidak menjelaskan seluruh hidupku.

Semoga semua yang berhadapan dengan orang-orang yang mengalami kondisi mental khusus, juga melihat hal yang sama dalam diri kami. Kami adalah sesama manusia, dengan pergumulan mental yang agak berbeda.

Cerita tentang perjalananku bersama depresi akan terus berlanjut hingga waktu yang aku tidak tahu kapan, dan aku akan terus belajar menikmatinya.
Diubah oleh okcomputer_2721 30-05-2017 16:48
0
12.1K
56
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan