Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

n4z1Avatar border
TS
n4z1
Ketua MK: Kenapa Agama dari Asing Diakui, Kalau dari Leluhur Tidak?
Ketua MK: Kenapa Agama dari Asing Diakui, Kalau dari Leluhur Tidak?

Jakarta - Sidang permohonan kolom agama bagi penghayat kepercayaan menarik perhatian 9 hakim konstitusi. Tak terkecuali Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat yang menanyakan hal-hal filosofis dalam bernegara dan beragama.

Sidang itu digelar atas permohonan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba dan Carlim. Mereka menggugat Pasal 61 ayat 1 dan ayar 2 UU Administrasi Kependudukan sebab kewajiban mengosongkan kolom agama di KTP bagi penghayat kepercayaan dinilai diskriminatif.

Pemohon menghadirkan ahli yang juga pengajar di Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), UGM, Yogyakarta, Samsul Maarif.

"PNPS mengakui ada agama resmi. Kemudian, ada dari sekelompok yang asli mengatakan, 'Lho, yang berasal dari asing malah diakui'. Kan kita tahu semua, yang keenam keyakinan atau agama itu kan asing sebetulnya, kalau kita mau jujur. Dari yang asing diakui, tapi kalau agama leluhur yang genuine yang asli Indonesia kenapa tidak diakui?" kata Arief.


Hal itu disampaikan dalam sidang terbuka di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta sebagaimana tertulis dalam risalah sidang yang dikutip detikcom, Rabu (3/5/2017).

Bila dihubungkan dengan ideologi negara, menurut Arief, proses mengangkat ke-Bhinekaan, kepercayaan Indonesia, atau ketakwaan orang Indonesia yang religius melalui proses yang panjang. Kemudian diangkat dan dikristalisasi menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam perkembangan negara modern, terdiri dari dua aliran yaitu sekuler (memisahkan agama dengan negara) dan negara agama (mengintegralkan agama dan negara). Tapi di Indonesia, tidak kedua-duanya. Hal itu dinilai menjadi tolak ukur UU Adminduk apakah diskriminatif atau tidak.

"Tapi, Indonesia kayaknya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa itu mencoba untuk menyinergikan, menyinergikan berbagai keyakinan orang Indonesia yang religius itu diangkat menjadi norma atau prinsip yang disebut Ketuhanan Yang Maha Esa," ucap guru besar Universitas Diponegoro (Undip) Semarang itu.

Arief juga menyoroti keterangan ahli soal politik rekognisi. Ia menanyakan apakah politik rekognisi itu dibisa dikatakan politik dominasi atau politik penjajah. Di mana saat ini dari 6 agama yang ada di Indonesia, merupakan agama yang datang dari luar Nusantara.

"Dari yang asing diakui, tapi kalau agama leluhur yang genuine yang asli Indonesia kenapa tidak diakui?" tanya Arief.


Arief mencoba mengkomparasikan dengan politik penjajahan Belanda. Yaitu membagi warga kepada beberapa golongan yaitu:

1. Golongan Eropa.
2. Golongan Timur Asing
3. Golongan Pribumi


"Ini politik rekognisi, kan? Nah, apakah bisa dikatakan demikian itu?" ujar Arief bertanya menegaskan pertanyaannya.

Arief menanyakan hal di atas karena untuk menggali rasa keadilan terhadap semua orang di Indonesia, yang saling menyinergikan. Apalagi 9 hakim konstitusi memiliki keyakinan yang berbeda-beda.

"Saya sangat mengapresiasi Ahli, masih muda tapi pengetahuannya demikian itu," kata Arief menutup pertanyaan.

Atas pertanyaan tersebut, Samsul menjawab bahwa selalu ada tarik menarik antara rezim yang berkuasa dengan pemeluk kepercayaan dan agama.

"Upaya politik agama --mungkin lebih khusus politik Islam-- sejak awal hingga hari ini terus ada dan itu terus diajak bernegosiasi oleh rezim, dan hasil negosiasi itu adalah hasil yang kita lihat dalam sejarahnya. Pancasila tegas, tegas bahwa menurut saya, Pancasila melihat perlakuan terhadap penghayat ini diskriminasi, tetapi harus diajak bernegosiasi dengan tuntutan politik rekognisi ini, politik identitas ini, atas nama mayoritas yang harus lebih banyak mendapatkan privilege dibanding dengan yang minoritas," jawab Samsul.

(asp/imk)
https://news.detik.com/berita/349104...-leluhur-tidak
==================

Sudah sampai di MK.
Mahkamah Konstitusi, sebagai pemegang mandat tertinggi hukum dan keadilan, berhak memutus perkara ini berdasarkan kesamarataan hukum yang berkeadilan, yang dijunjung tinggi oleh Pancasila.

Bagi mereka-mereka yang selalu berkutat dengan isu sektarian, isu agama, isu ideologi, mungkin bisa saja melempar masalah ini menjadi fitnah, menjadi hoax yang bakal viral di sosial media. Tinggal bilang : MK Sekuler, MK Komunis, MK anti agama, maka secepat kilat tangan-tangan para pengikut Dajjal Laknatullah akan mengetik Like, Aamiin, Share.

Jika ada agama yang mayoritas disini, mengapa takut untuk menjadi minoritas? Bukankah ribuan pemuka agama bertebaran di bumi Indonesia ini, dari yang berkata santun mengikuti cara para Nabi, sampai berkata kasar mengikuti cara Firaun. Ini pemuka agama lho, bukan pemimpin propinsi atau kabupaten. Pada dasarnya mengajarkan kebenaran, sesuai dengan tugasnya yang mengajak ummat kepada kebaikan, bukan dengan cara-cara fitnah, bukan dengan cara-cara provokasi, bukan dengan cara-cara pengecut, yang selalu berlindung pada ummat. Alangkah lucunya jika seseorang yang mengaku pemuka agama, selalu menyuruh kelompok yang dipimpinnya untuk maju, sementara dia bersembunyi diluar sana.

Pancasila mengajarkan keadilan, begitu juga dengan Allah, Tuhan, atau apapun juga kita yang berbeda agama menyebut, keadilan adalah landasan untuk saling menghargai, saling menghormati. Keadilan itu bukan saling menjatuhkan dan saling mencaci. Sebab tak ada 1 Nabi pun yang menyebarkan agama dengan fitnah dan sumpah serapah. lalu kepada siapa mereka belajar, para pendengki, para penghasut, para provokator ini, meskipun mereka selalu membungkus dirinya dengan dalih agama?

Pancasila tidak pernah mengenal yang namanya Diktator mayoritas ataupun Tirani minoritas. Seyogyanya tak ada yang namanya kekhususan bagi mayoritas disini.

Jika ada ketakutan yang tersembunyi diantara para pemuka agama mayoritas, seharusnya mereka belajar berkata jujur, bahwa mayoritas mereka disini bukan karena pemuka agama ini, tapi lebih banyak karena faktor keturunan. Si A beragama I karena keluarganya beragama I. Atau si B beragama K karena keluarganya beragama K. Dan sekarang ini, banyak badut-badut media yang mempertontonkan kelucuan-kelucuan yang memuakkan. Di mulut selalu mengajarkan surga surga dan surga, tapi dikehidupan mereka selalu mempertontonkan neraka. Di mulut mereka selalu mengajarkan empati, saling berbagi, dan rendah hati, tapi dalam kehidupannya selalu mempertontonkan kesombongan, tak peduli pada sesama, dan memperkaya diri sendiri. Atau di mulut mereka selalu mengajarkan akhirat, tapi kehidupan mereka mempertontonkan glamour duniawi dan syahwat hewan.

Kalau sudah begini, siapa yang salah? Pemuka agama, ataukah ummat?
Lantas mengapa mereka selalu seperti kebakaran jenggot jika ada yang pindah agama? Bukankah itu adalah hak? Atau bisa jadi, mereka yang pindah agama ini karena melihat ketidaksesuaian antara pemuka agama yang dianutnya dengan ajaran yang ditanamkannya selama ini?

Tanya pada diri sendiri.
Sesungguhnya di akherat nanti, tiap manusia itu akan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di dunia ini, sedetikpun mereka berbuat, sepatah katapun meeka berucap, sebaris katapun yang mereka tulis. Semua ada perhitungannya. Dan jangan harap bisa lolos dari semua itu. Karena Allah itu Maha Adil dan Maha mengetahui, bahkan apa yang ingin kita ucap dan kita perbuat meski belum terlaksana.

emoticon-Traveller
0
14K
243
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan