- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Cerita Pendek : 24 Jam
TS
bumburacik
Cerita Pendek : 24 Jam
Quote:
Sebelumnya ane udah nulis cerita tapi belum kelar, setelah ini ane akan rapiin. Sebagai gantinya, ane menulis ini. Nulis langsung tuntas. Ane tunggu feedbacknya ya gan sis
Spoiler for Cerita Pendek 24 Jam (Bagian 1):
Ada pesan masuk, rupanya dari Ebby. Kami mulai ngobrol ringan hingga larut malam. Percakapan terputus ketika memasuki pukul 2 pagi, aku tak kuat lagi menahan kantuk. Keesokan harinya aku menyambung percakapan sisa semalam.
"Bams, kirim foto dong." isi pesan dari Ebby.
"Kamu duluan" balasku.
Selang beberapa menit, aku terima foto selfie yang ia kirim. Kemudian aku membalasnya dengan mengirimkan foto selfie di supermarket. Kebetulan saat itu aku singgah sebentar untuk membeli buah, ritual untuk sarapan dan makan malam.
"Hahaha..kenapa harus pisang sih?"
"Kenapa? Ada apa sama pisang?"
"Nggak kenapa-kenapa sih, biasa aja"
"Aku lagi di supermarket nih, tadi foto waktu mau ke kasir"
"Hahaha.. yaudah titip salam buat Mbak Kasir" canda Ebby.
Kami saling melempar canda, hingga dia bilang 'Lapar..'. Entah aku kerasukan roh dari mana, pesan ajakan makan malam pun baru saja kukirim untuk Ebby.
"Makan di mana?
"Aku biasanya makan di dekat kos, kalau agak jauhan ada sop kambing, ayam Pak Genter, nasi goreng sapi atau kamu punya saran?"
"Nasi goreng sapi. Terus abis makan pulang? Hm.."
"Hahaha.. mau apa enggak? Kalau mau, buruan bagi location kos kamu" pintaku.
"Hujan nggak?" tanya Ebby.
"Enggak"
Aku segera bergegas untuk segera berangkat, tentunya menuju tempat tinggal Ebby. Gerimis menyambut tetapi tak menyurutkan niat untuk makan malam bersamanya.
"Yah...hujan "
"Aku mau sampai" balasku sambil cek kembali alamat kos Ebby.
"Hujan. Kamu naik apa? Pakai baju apa?"
"Naik motor, pakai hoodie tosca"
Pukul 06.55 pm, aku berteduh di depan gerbang kos Ebby. Menunggunya turun untuk menemuiku. Bayangan perempuan dengan rambut panjang tergerai berjalan mendekat. Aku tidak merasa asing dengan wajah yang tersorot cahaya lampu itu. Ia mengenakan kaos polos berwarna putih, celana panjang berbahan jeans dan jaket rajut berwarna kelabu dengan ritsleting yang dibiarkan terbuka.
"Hai.." sosok nyata dari Ebby melemparkan senyum dan menghampiriku.
"Kiki.." kataku lirih sambil menyambut jabat tangannya.
"Yah.. hujannya makin deras"
"Tunggu sampai reda ajah, ya? atau mau pakai jas hujan?"
Kamipun sepakat untuk menunggu hujan reda. Menunggu itu menjemukan. Obrolan terus berlanjut untuk membunuh jenuh. Di tengah percakapan kami, ia mengeluarkan bungkus rokok dari dalam tas dan tanpa canggung mulai menghisap di depanku. Ebby adalah perokok aktif, kebiasaannya sangat kontras dengan wajahnya yang terlihat kalem. Seringkali penampilan orang bisa memanipulasi kesan pertama.
Ebby mulai bercerita awal mula ia merokok. Mulai membagikan potongan kisah dari masa lalu. Ia bercerita soal masa SMA, masa di mana ia mulai mengenal rokok hingga bagaimana lingkungan pergaulan di sekolahnya. Sampai hujan mereda. Kami siap untuk bergegas menerjang rintik gerimis.
***
Semesta mendukung, ternyata hujan lokal alias hujan turun di beberapa area. Jalanan menuju kaki lima nasi goreng sapi kering, belum diguyur hujan. Kami memilih duduk di bangku dalam tenda. Menunggu makanan diantar. Hening masih saja mendominasi.
Ebby duduk di depanku, rambutnya yang pirang ia ikat. Wajahnya nampak begitu bersih dan bibir merah jambunya membuat terlihat makin anggun. Aku diam-diam mulai kagum.
Kami saling melempar senyuman, sambil meraba-raba topik apa yang layak untuk dibahas. Ia seringkali sibuk dengan handphone-nya dan berhasil membuatku kurang nyaman. Aku merasa gagal sebagai teman bicara. Hahaha. Untungnya nasi goreng yang telah kami pesan diantar.
"Yah.. empingku cuma 2" Ebby sedikit menggerutu.
"Hahaha.. Yaudah, ini buat kamu" aku memindahkan beberapa emping ke piringnya.
Ebby kembali tersenyum.
"Makan yuk.." ajakku.
"Kamu duluan ajah" jawabnya.
"Lhah, kenapa? Nunggu es tehnya datang?"
Ia mengangguk. Tidak sabar untuk menyantap nasi goreng yang ada di hadapan, aku menghampiri abang nasi goreng untuk meminta minuman yang telah kami pesan. Sambil menunggu es teh diantar, ia berinisiatif untuk memulai makan sembari menunggu.
"Nasi gorengnya enak. Kalau aku biasanya beli nasi goreng yang ada di depan SMA 3 situ" kata Ebby
"Enakan di sini ya?"
"Iya, rasa nasi goreng di sini lebih asin. Kalau di sana lebih manis"
"Aku lebih suka di sini. Pernah dulu beli di depan SMA 3 situ, tapi nggak mau balik lagi ah. Di sana nasi gorengnya udah dingin pas aku terima."
"Nggak mau balik gara-gara nasinya udah dingin doang?" tanya Ebby dengan mimik keheranan.
"Iya, kalau di sini kan masaknya sedikit-sedikit. Jadi waktu makanan diterima, masih dalam keadaan hangat. Kalau rasa menurutku relatif. Pokoknya aku lebih suka di sini"
Kembali hening dan fokus menyantap makanan masing-masing. Ia begitu anteng menyuap sesendok nasi ke bibir indahnya. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya.
"Setelah ini kemana?" tanyaku.
"Emm.. nggak tahu" jawabnya sambil menggeleng.
"Yaudah, kita muter-muter aja. Nanti kalau kamu pengin berhenti bilang ya!" kataku sambil menyalakan motor untuk beranjak dari tempat parkir.
Kami menyusuri flyover dekat stasiun Lempuyangan dengan arah serta perasaan yang tak menentu. Pikiran ini berupaya menghidupkan suasana untuk memecah telur-telur keheningan.
"Kamu pernah lewat sini nggak?" tanyaku.
"Kayaknya pernah, pas mau main ke kontrakan temanku. Ini kan arah ke terminal Condong Catur kan ya?" timpalnya.
"Apa? Terminal Condong Catur?" tawaku pecah dan ia pun mulai tersenyum.
"Aku kurang paham nama-nama lokasi, iya kan namanya Terminal Condong Catur?"
"Bukan! Hahaha"
"Aku tahunya terminal Condong Catur" katanya polos.
"Jangan-jangan kamu nggak tahu nama terminal yang ada di Jogja" tukasku lalu senyumnya kembali mengembang. Duh, manisnya.
"Hahaha.. Iya, aku tahu jalan tapi kalau disuruh hafalin namanya agak susah."
"Apa perlu aku tunjukin satu per satu lokasi terminal yang ada di Yogyakarta?" seruku.
"Terminal yang dekat sini ada Terminal Giwangan" tambahku.
"Jadi touring dari terminal ke terminal dong ya.Hahaha. Ya maklum kan aku bukan anak terminal. Kok kayaknya sering dengar Giwangan ya?" pertanyaannya lagi-lagi berhasil memancing tawa.
"Ya iyalah, Terminal Giwangan itu terminal paling gedhe di sini."
"Iya ya? Hahahaha.. Maaf." tawanya bisa membuatku tenang.
"Coba sekarang aku tanya kamu, stasiun di Yogyakarta itu mana aja?"
"Stasiun Jombor terus..."
"Stasiun Jombor?? Hahahaha" potongku sambil terbahak-bahak.
Bermula dari percakapan sederhana itu, aku menyadari bahwa dia punya sedikit kendala dalam menunjuk arah. Ia bercerita selalu bingung menentukan kanan atau kiri. Saking bingungnya, ibu Ebby pernah memasang gelang di tangan kirinya. Apa tujuannya? Supaya Ebby bisa lebih mudah mengingat mana kiri dan kanan. Sungguh ibu yang solutif. Ebby paling sebal saat tanya petunjuk jalan, hampir semua orang yang ia tanyai memberi jawaban yang menurutnya menyebalkan.
"Tiap kali tanya jalan ke orang, jawabnya selalu pakai bahasa Jawa terus jelasinnya pakai 'kidul e' (selatannya) atau 'ngalor' (ke utara). Sini aja bingung baca arah. Pernah ya aku mau jemput temanku di Club Malam daerah Jalan Magelang, aku nggak tahu tempatnya. Tanya orang, malah bikin bingung. Akhirnya aku nyasar sampai Keraton sana. Untung orangnya baik, aku diantar sampai ke tempat tujuan" tuturnya.
"Kalau di Yogyakarta masih banyak orang baik, By." tambahku.
"Eh ini daerah mana?" tanyanya.
"Ini daerah Kotagede" jawabku.
"Oh, yang ada jembatan buat foto-foto itu bukan?"
"Hah? Jembatan apa?"
"Itu lho jembatan yang kalau belok setelahnya ke daerah Prawirotaman." kata dia gemas karena tak ingat namanya.
"Jembatan mana sih? Kali Code? hahaha"
"Pokoknya ada tugunya, jembatan apa ya namanya?" katanya.
"Jembatan Sayidan kalik! jawabku.
"Nah yaa, jembatan Sayidan"
Di sela kesibukan kuliah di semester 4, Ebby mencari tambahan uang saku dari proyek gambar dan proyek lainnya. Ia doyan menggambar realis manusia dan hewan. Selain itu kadang ia jadi juru kamera. Aku baru sempat melihat hasil proyek gambarnya, cukup bagus. Kami melintasi jalanan depan pasar Kotagede. Ebby memperhatikan penjaja makanan kaki lima yang ada di sepanjang jalan.
"Aku belum pernah lho naik bus TransJogja" tiba-tiba Ebby mulai bercerita mungkin karena ia melihat di samping kami ada TransJogja yang sedang melintas.
"Masak sih belum pernah?" tanyaku.
"Iya, belum pernah naik. Aku pengin deh kapan-kapan naik TransJogja"
"Naik sekarang aja, nanti aku jemput di halte depan" candaku.
"Ih.. nyebelin!" gerutu Ebby.
"Hahaha.. eh, kalau lapar lagi bilang lho!"
"Iya..."
"Kalau mulai dingin, bilang lho!"
"Iyaa.."
"Kalau mulai ngantuk, bilang lho!"
"Iyaa.. apalagi?!"
Sepanjang jalan kami cekikikan membahas hal-hal yang sederhana. Mulai dari film yang sering diikuti, kesenangan masing-masing.
"Kamu nggak takut pergi sama orang asing? Siapa tahu kamu mau diculik!" aku menakuti.
"Nggak takut lah, aku bisa pulang sendiri" bantahnya.
"Kamu mau aku culik kemana?"
"Ih.. nyulik kok minta izin. Itu mah bukan nyulik tapi ngajak!" seru Ebby.
Kami rasanya pulang segan, tapi tujuan pun tak tentu. Aku membiarkan motor melaju begitu saja, dari daerah Selatan menuju Utara. menyusuri Jalan Gejayan hingga Jalan Kaliurang. Saat menyusuri jalan Kaliurang, Ebby kembali bercerita sering ke warung ijo - warung kaki lima pinggir jalan - yang menjual snack dan minuman ringan. Ia sering membeli anggur cap orangtua, katanya. Lalu ia minum berbarengan dengan teman kampus, baik teman yang satu angkatan maupun senior.
Kegiatan itu sudah menjadi tradisi di kampusnya. Hanya orang-orang pilihan yang boleh minum-minum di kampus. Salah satu syaratnya adalah IPK harus mencapai nilai minimum yang sudah ditentukan sebelumnya, tuturnya. Okay! Dari ceritanya aku bisa menyimpulkan sesuatu, nilai akademik di kampusnya tak begitu buruk jadi dia bisa ikut bergabung minum anggur di kampus.
Aku mengarahkan laju motor menuju Sleman, kemudian sempat berhenti sebentar untuk mengisi bahan bakar, membeli mineral dan beberapa permen di minimarket dan sholat Isya'. Sesekali kami membuka obrolan meski hening sering menyergap.
"Kalau kedinginan bilang lho" kataku sambil mengintip kaca spion kiri mencari bayangan perempuan yang duduk manis di belakangku.
"Iyaa.. apalagi? Bawel." jawab Ebby sambil melempar senyum.
Kemudian kami kembali hening, hanyut dalam lamunan masing-masing.
"Aku mulai kedinginan" kata Ebby.
Tanganku refleks meraba tangan dan mengenggamnya dengan lembut, ternyata genggamanku bersambut. Aku sempat menggenggam jemarinya sekian detik, sebelum aku mengarahkan tangannya masuk ke balik hoodieku. Ebby sempat tertegun melihat tingkahku. Lalu tawa khasnya terdengar. Ada sesuatu yang aneh terasa mengalir dalam tubuh. Rasanya hangat. Seperti ada yang membangunkan tidur si beruang dari hibernasi.
Rasanya mungkin seperti tersengat listrik, aneh. Jujur, aku sudah lama tak merasakan perasaan seperti ini. Aku pun terakhir menjalin hubungan sekitar setahun yang lalu. Aku terbangun dari lamunan, memikirkan apa yang akan kami lakukan setelah ini. Ngaso di SPBU lagi? Enggak mungkin. Apalagi ngaso di masjid. Sebelum mencari penginapan sekitar Borobudur, kami mampir di minimarket (lagi) untuk tarik tunai dan beristirahat.
"Yes.. aku bisa ngrokok di sini." dia langsung ngacir ke dalam untuk beli rokok dan kopi.
Kami duduk di teras minimarket, dia asyik menghisap batang rokok dan menyeruput kopi. Aku asyik dalam duniaku sendiri sambil menggengam tangannya, alih-alih menghangatkan tangannya yang dingin.
"Bams, kirim foto dong." isi pesan dari Ebby.
"Kamu duluan" balasku.
Selang beberapa menit, aku terima foto selfie yang ia kirim. Kemudian aku membalasnya dengan mengirimkan foto selfie di supermarket. Kebetulan saat itu aku singgah sebentar untuk membeli buah, ritual untuk sarapan dan makan malam.
"Hahaha..kenapa harus pisang sih?"
"Kenapa? Ada apa sama pisang?"
"Nggak kenapa-kenapa sih, biasa aja"
"Aku lagi di supermarket nih, tadi foto waktu mau ke kasir"
"Hahaha.. yaudah titip salam buat Mbak Kasir" canda Ebby.
Kami saling melempar canda, hingga dia bilang 'Lapar..'. Entah aku kerasukan roh dari mana, pesan ajakan makan malam pun baru saja kukirim untuk Ebby.
"Makan di mana?
"Aku biasanya makan di dekat kos, kalau agak jauhan ada sop kambing, ayam Pak Genter, nasi goreng sapi atau kamu punya saran?"
"Nasi goreng sapi. Terus abis makan pulang? Hm.."
"Hahaha.. mau apa enggak? Kalau mau, buruan bagi location kos kamu" pintaku.
"Hujan nggak?" tanya Ebby.
"Enggak"
Aku segera bergegas untuk segera berangkat, tentunya menuju tempat tinggal Ebby. Gerimis menyambut tetapi tak menyurutkan niat untuk makan malam bersamanya.
"Yah...hujan "
"Aku mau sampai" balasku sambil cek kembali alamat kos Ebby.
"Hujan. Kamu naik apa? Pakai baju apa?"
"Naik motor, pakai hoodie tosca"
Pukul 06.55 pm, aku berteduh di depan gerbang kos Ebby. Menunggunya turun untuk menemuiku. Bayangan perempuan dengan rambut panjang tergerai berjalan mendekat. Aku tidak merasa asing dengan wajah yang tersorot cahaya lampu itu. Ia mengenakan kaos polos berwarna putih, celana panjang berbahan jeans dan jaket rajut berwarna kelabu dengan ritsleting yang dibiarkan terbuka.
"Hai.." sosok nyata dari Ebby melemparkan senyum dan menghampiriku.
"Kiki.." kataku lirih sambil menyambut jabat tangannya.
"Yah.. hujannya makin deras"
"Tunggu sampai reda ajah, ya? atau mau pakai jas hujan?"
Kamipun sepakat untuk menunggu hujan reda. Menunggu itu menjemukan. Obrolan terus berlanjut untuk membunuh jenuh. Di tengah percakapan kami, ia mengeluarkan bungkus rokok dari dalam tas dan tanpa canggung mulai menghisap di depanku. Ebby adalah perokok aktif, kebiasaannya sangat kontras dengan wajahnya yang terlihat kalem. Seringkali penampilan orang bisa memanipulasi kesan pertama.
Ebby mulai bercerita awal mula ia merokok. Mulai membagikan potongan kisah dari masa lalu. Ia bercerita soal masa SMA, masa di mana ia mulai mengenal rokok hingga bagaimana lingkungan pergaulan di sekolahnya. Sampai hujan mereda. Kami siap untuk bergegas menerjang rintik gerimis.
***
Semesta mendukung, ternyata hujan lokal alias hujan turun di beberapa area. Jalanan menuju kaki lima nasi goreng sapi kering, belum diguyur hujan. Kami memilih duduk di bangku dalam tenda. Menunggu makanan diantar. Hening masih saja mendominasi.
Ebby duduk di depanku, rambutnya yang pirang ia ikat. Wajahnya nampak begitu bersih dan bibir merah jambunya membuat terlihat makin anggun. Aku diam-diam mulai kagum.
Kami saling melempar senyuman, sambil meraba-raba topik apa yang layak untuk dibahas. Ia seringkali sibuk dengan handphone-nya dan berhasil membuatku kurang nyaman. Aku merasa gagal sebagai teman bicara. Hahaha. Untungnya nasi goreng yang telah kami pesan diantar.
"Yah.. empingku cuma 2" Ebby sedikit menggerutu.
"Hahaha.. Yaudah, ini buat kamu" aku memindahkan beberapa emping ke piringnya.
Ebby kembali tersenyum.
"Makan yuk.." ajakku.
"Kamu duluan ajah" jawabnya.
"Lhah, kenapa? Nunggu es tehnya datang?"
Ia mengangguk. Tidak sabar untuk menyantap nasi goreng yang ada di hadapan, aku menghampiri abang nasi goreng untuk meminta minuman yang telah kami pesan. Sambil menunggu es teh diantar, ia berinisiatif untuk memulai makan sembari menunggu.
"Nasi gorengnya enak. Kalau aku biasanya beli nasi goreng yang ada di depan SMA 3 situ" kata Ebby
"Enakan di sini ya?"
"Iya, rasa nasi goreng di sini lebih asin. Kalau di sana lebih manis"
"Aku lebih suka di sini. Pernah dulu beli di depan SMA 3 situ, tapi nggak mau balik lagi ah. Di sana nasi gorengnya udah dingin pas aku terima."
"Nggak mau balik gara-gara nasinya udah dingin doang?" tanya Ebby dengan mimik keheranan.
"Iya, kalau di sini kan masaknya sedikit-sedikit. Jadi waktu makanan diterima, masih dalam keadaan hangat. Kalau rasa menurutku relatif. Pokoknya aku lebih suka di sini"
Kembali hening dan fokus menyantap makanan masing-masing. Ia begitu anteng menyuap sesendok nasi ke bibir indahnya. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya.
"Setelah ini kemana?" tanyaku.
"Emm.. nggak tahu" jawabnya sambil menggeleng.
"Yaudah, kita muter-muter aja. Nanti kalau kamu pengin berhenti bilang ya!" kataku sambil menyalakan motor untuk beranjak dari tempat parkir.
Kami menyusuri flyover dekat stasiun Lempuyangan dengan arah serta perasaan yang tak menentu. Pikiran ini berupaya menghidupkan suasana untuk memecah telur-telur keheningan.
"Kamu pernah lewat sini nggak?" tanyaku.
"Kayaknya pernah, pas mau main ke kontrakan temanku. Ini kan arah ke terminal Condong Catur kan ya?" timpalnya.
"Apa? Terminal Condong Catur?" tawaku pecah dan ia pun mulai tersenyum.
"Aku kurang paham nama-nama lokasi, iya kan namanya Terminal Condong Catur?"
"Bukan! Hahaha"
"Aku tahunya terminal Condong Catur" katanya polos.
"Jangan-jangan kamu nggak tahu nama terminal yang ada di Jogja" tukasku lalu senyumnya kembali mengembang. Duh, manisnya.
"Hahaha.. Iya, aku tahu jalan tapi kalau disuruh hafalin namanya agak susah."
"Apa perlu aku tunjukin satu per satu lokasi terminal yang ada di Yogyakarta?" seruku.
"Terminal yang dekat sini ada Terminal Giwangan" tambahku.
"Jadi touring dari terminal ke terminal dong ya.Hahaha. Ya maklum kan aku bukan anak terminal. Kok kayaknya sering dengar Giwangan ya?" pertanyaannya lagi-lagi berhasil memancing tawa.
"Ya iyalah, Terminal Giwangan itu terminal paling gedhe di sini."
"Iya ya? Hahahaha.. Maaf." tawanya bisa membuatku tenang.
"Coba sekarang aku tanya kamu, stasiun di Yogyakarta itu mana aja?"
"Stasiun Jombor terus..."
"Stasiun Jombor?? Hahahaha" potongku sambil terbahak-bahak.
Bermula dari percakapan sederhana itu, aku menyadari bahwa dia punya sedikit kendala dalam menunjuk arah. Ia bercerita selalu bingung menentukan kanan atau kiri. Saking bingungnya, ibu Ebby pernah memasang gelang di tangan kirinya. Apa tujuannya? Supaya Ebby bisa lebih mudah mengingat mana kiri dan kanan. Sungguh ibu yang solutif. Ebby paling sebal saat tanya petunjuk jalan, hampir semua orang yang ia tanyai memberi jawaban yang menurutnya menyebalkan.
"Tiap kali tanya jalan ke orang, jawabnya selalu pakai bahasa Jawa terus jelasinnya pakai 'kidul e' (selatannya) atau 'ngalor' (ke utara). Sini aja bingung baca arah. Pernah ya aku mau jemput temanku di Club Malam daerah Jalan Magelang, aku nggak tahu tempatnya. Tanya orang, malah bikin bingung. Akhirnya aku nyasar sampai Keraton sana. Untung orangnya baik, aku diantar sampai ke tempat tujuan" tuturnya.
"Kalau di Yogyakarta masih banyak orang baik, By." tambahku.
"Eh ini daerah mana?" tanyanya.
"Ini daerah Kotagede" jawabku.
"Oh, yang ada jembatan buat foto-foto itu bukan?"
"Hah? Jembatan apa?"
"Itu lho jembatan yang kalau belok setelahnya ke daerah Prawirotaman." kata dia gemas karena tak ingat namanya.
"Jembatan mana sih? Kali Code? hahaha"
"Pokoknya ada tugunya, jembatan apa ya namanya?" katanya.
"Jembatan Sayidan kalik! jawabku.
"Nah yaa, jembatan Sayidan"
Di sela kesibukan kuliah di semester 4, Ebby mencari tambahan uang saku dari proyek gambar dan proyek lainnya. Ia doyan menggambar realis manusia dan hewan. Selain itu kadang ia jadi juru kamera. Aku baru sempat melihat hasil proyek gambarnya, cukup bagus. Kami melintasi jalanan depan pasar Kotagede. Ebby memperhatikan penjaja makanan kaki lima yang ada di sepanjang jalan.
"Aku belum pernah lho naik bus TransJogja" tiba-tiba Ebby mulai bercerita mungkin karena ia melihat di samping kami ada TransJogja yang sedang melintas.
"Masak sih belum pernah?" tanyaku.
"Iya, belum pernah naik. Aku pengin deh kapan-kapan naik TransJogja"
"Naik sekarang aja, nanti aku jemput di halte depan" candaku.
"Ih.. nyebelin!" gerutu Ebby.
"Hahaha.. eh, kalau lapar lagi bilang lho!"
"Iya..."
"Kalau mulai dingin, bilang lho!"
"Iyaa.."
"Kalau mulai ngantuk, bilang lho!"
"Iyaa.. apalagi?!"
Sepanjang jalan kami cekikikan membahas hal-hal yang sederhana. Mulai dari film yang sering diikuti, kesenangan masing-masing.
"Kamu nggak takut pergi sama orang asing? Siapa tahu kamu mau diculik!" aku menakuti.
"Nggak takut lah, aku bisa pulang sendiri" bantahnya.
"Kamu mau aku culik kemana?"
"Ih.. nyulik kok minta izin. Itu mah bukan nyulik tapi ngajak!" seru Ebby.
Kami rasanya pulang segan, tapi tujuan pun tak tentu. Aku membiarkan motor melaju begitu saja, dari daerah Selatan menuju Utara. menyusuri Jalan Gejayan hingga Jalan Kaliurang. Saat menyusuri jalan Kaliurang, Ebby kembali bercerita sering ke warung ijo - warung kaki lima pinggir jalan - yang menjual snack dan minuman ringan. Ia sering membeli anggur cap orangtua, katanya. Lalu ia minum berbarengan dengan teman kampus, baik teman yang satu angkatan maupun senior.
Kegiatan itu sudah menjadi tradisi di kampusnya. Hanya orang-orang pilihan yang boleh minum-minum di kampus. Salah satu syaratnya adalah IPK harus mencapai nilai minimum yang sudah ditentukan sebelumnya, tuturnya. Okay! Dari ceritanya aku bisa menyimpulkan sesuatu, nilai akademik di kampusnya tak begitu buruk jadi dia bisa ikut bergabung minum anggur di kampus.
Aku mengarahkan laju motor menuju Sleman, kemudian sempat berhenti sebentar untuk mengisi bahan bakar, membeli mineral dan beberapa permen di minimarket dan sholat Isya'. Sesekali kami membuka obrolan meski hening sering menyergap.
"Kalau kedinginan bilang lho" kataku sambil mengintip kaca spion kiri mencari bayangan perempuan yang duduk manis di belakangku.
"Iyaa.. apalagi? Bawel." jawab Ebby sambil melempar senyum.
Kemudian kami kembali hening, hanyut dalam lamunan masing-masing.
"Aku mulai kedinginan" kata Ebby.
Tanganku refleks meraba tangan dan mengenggamnya dengan lembut, ternyata genggamanku bersambut. Aku sempat menggenggam jemarinya sekian detik, sebelum aku mengarahkan tangannya masuk ke balik hoodieku. Ebby sempat tertegun melihat tingkahku. Lalu tawa khasnya terdengar. Ada sesuatu yang aneh terasa mengalir dalam tubuh. Rasanya hangat. Seperti ada yang membangunkan tidur si beruang dari hibernasi.
Rasanya mungkin seperti tersengat listrik, aneh. Jujur, aku sudah lama tak merasakan perasaan seperti ini. Aku pun terakhir menjalin hubungan sekitar setahun yang lalu. Aku terbangun dari lamunan, memikirkan apa yang akan kami lakukan setelah ini. Ngaso di SPBU lagi? Enggak mungkin. Apalagi ngaso di masjid. Sebelum mencari penginapan sekitar Borobudur, kami mampir di minimarket (lagi) untuk tarik tunai dan beristirahat.
"Yes.. aku bisa ngrokok di sini." dia langsung ngacir ke dalam untuk beli rokok dan kopi.
Kami duduk di teras minimarket, dia asyik menghisap batang rokok dan menyeruput kopi. Aku asyik dalam duniaku sendiri sambil menggengam tangannya, alih-alih menghangatkan tangannya yang dingin.
Cerita Pendek : 24 Jam (Bagian 2)
Diubah oleh bumburacik 01-05-2017 15:37
anasabila memberi reputasi
1
1.7K
Kutip
9
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan