Julukan Derby d'Italia memang tersemat untuk Juventus dan Inter Milan. Padahal, kalau ukurannya adalah prestasi, lawan sepadan untuk Juventus adalah AC Milan.

Saat bertanding melawan Inter, ada aspek psikologis yang terlibat di dalamnya. Apalagi, setelah melewati fase Calciopoli yang secara langsung menguntungkan Inter sebagai penguasa Italia kala itu. Mereka bahkan bisa jemawa dengan menjadi satu-satunya kesebelasan Italia yang mampu meraih treble saat Juve--dan juga AC Milan yang terseret arus Calciopoli--tengah terpuruk.

Selain itu, saat terdegradasi, Patrick Vieira dan Zlatan Ibrahimovic memutuskan untuk hijrah ke Inter Milan. Keduanya dianggap tak setiap seperti halnya Gianluigi Buffon, Alessandro Del Piero, Pavel Nedved, David Trezeguet, dan Mauro Camoranesi. Hal ini menambah percikan-percikan yang membuat hadirnya aspek psikologis dalam persaingan Juventus dengan Inter Milan.



Lantas bagaimana dengan rival lain yang sama-sama bermarkas di San Siro?

Secara prestasi, Milan jelas lebih gemilang. Di kancah Eropa, mereka tujuh kali juara Liga Champions atau yang kedua terbanyak setelah Real Madrid. Sementara itu, di liga, Milan mengoleksi jumlah trofi yang sama dengan Inter Milan yakni 18 trofi. Namun, sebelum era Calciopoli, Inter cuma mengoleksi 13 trofi sementara Milan 17 trofi.

Rivalitas Juventus - AC Milan pun akan dikenang oleh generasi 80'an dan 90'an. Pasalnya, keduanya bersaing ketat di era 90'an. Salah satu puncaknya adalah final Liga Champions 2002/2003 di mana AC Milan keluar sebagai juara setelah melalui 120 menit panjang tanpa gol menghadapi I Bianconeri.

Berjaya di Era yang Berbeda

Apabila dirunut, sejatinya kejayaan Juventus hadir secara dominan pada beberapa era yakni 1930-an, 1970-an, 1980-an, pertengahan 1990-an, dan awal 2000-an. Era 1930-an dan 1970-an menjadi paling dominan karena Juve meraih lima gelar Serie A, sementara pada 1980-an dan 2000-an meraih empat gelar.

Sementara itu, kejayaan Milan hadir di akhir 1980-an hingga 1990-an. Capaian paling monumentalnya adalah meraih dua gelar Liga Champions secara beruntun pada musim 1988/1989 dan 1989/1990.

Dari capaian di atas pun bisa dirunut kembali apa yang membuat keduanya berjaya pada era-era tertentu tersebut.

Turin yang Berkembang

Juve memang didirikan oleh beberapa pelajar intelek Turin. Namun, sejak 1923, kepengurusannya sudah dipegang oleh keluarga Agnelli. Di Italia, Keluarga Agnelli dikenal sebagai pengusaha yang bisnisnya menggurita. Dibentuk oleh Giovanni Agnelli, mereka memiliki perusahan manufaktur otomotif terbesar di Italia, Fiat. Keluarga Agnelli juga membeli kepemilikan Ferrari, Lancia, Alfa Romero, dan yang terbaru, Jeep.

Setelah Perang Dunia II, Italia mulai berbenah. Pun dengan Turin yang mulai kembali membangun. Sejak era 1950-an, ekonomi Turin mulai bergairah dan mencapai puncaknya pada 1960-an. Peningkatan ekonomi ini pun tidak bisa dilepaskan dari kian berjayanya FIAT sebagai salah satu pemain di industri otomotif.

"Fiat terus mengalami peningkatan produksi pada pertengahan 1960-an, baik pada sisi ekspor maupun penjualan domestik. Kepemilikan mobil di Italia berubah menjadi satu mobil per 96 orang, menjadi satu berbanding 28 orang," tulis Life in Italy.

Peningkatan produksi ini pula yang barangkali meningkatkan gairah manajemen Juventus untuk bukan cuma berjaya di industri otomotif, tapi juga di sepakbola.

Karena Berlusconi



AC Milan meraih kejayaan di erah 1990-an. Mereka meraih lima trofi Serie A yang semuanya di bawah arahan Fabio Capello. Di era tersebut, AC Milan juga memenangi trofi Liga Champions pada musim 1993/1994.

Namun, di luar kehebatan Capello meracik tim, ada satu sosok yang jelas tak bisa disepelekan perannya. Ia adalah Silvio Berlusconi.

Sebelum dikenal karena pengaruh politiknya yang kuat, Berlusconi lebih dikenal sebagai pengusaha. Awalnya, ia terjun di bidang konstruksi. Lalu, pada 1973, ia mulai merambah dunia media massa dengan membangun perusahaan televisi kabel. Sejak itulah kariernya melesat baik sebagai pengusaha maupun politikus.

Berlusconi secara resmi membeli Milan pada 1986. Kehadiran Berlusconi amat penting bagi Rossoneri karena itu yang membuat mereka tak hilang ditelan bumi karena kebangkrutan.

Masuknya Berlusconi menghadirkan dampak positif bagi Milan secara prestasi. Selain mengeluarkan uang yang cukup banyak dalam investasi, jiwa pengusaha Berlusconi tidak hilang: ia tak mau rugi. Dipilihlah pelatih berbakat, Arrigo Sachhi, untuk meramu dua bintang Belanda yang datang bersamaan: Marco van Basten dan Ruud Gullit. Semusim berselang, ia melengkapi keduanya lewat Frank Rijkaard.

Hasilnya sungguh di luar dugaan. Milan berhasil meraih dua gelar Liga Champions secara beruntun. Gelar itu merupakan gelar prestisius karena mereka yang ikut serta di Liga Champions adalah para juara liga. Menjuarai Liga Champions sama artinya dengan menguasai Eropa.

Hubungan Akrab

Tak seperti dengan Inter, hubungan Juve dengan Milan malah terkesan hangat. Hal ini lagi-lagi disebabkan oleh uang. Setiap kompetisi memiliki pembagian hak siar yang berbeda. Pun di Serie A di mana saat ini, sejak 2010/2011, komposisinya 40% dibagi rata, 30% berdasarkan posisi musim sebelumnya, dan 30% lagi dari estimasi jumlah penggemar.

Namun, berbeda dengan dulu di mana setiap kesebelasan mesti menjual hak siarnya masing-masing ke stasiun televisi. Ini yang menyebabkan kesebelasan besar akan mendapatkan lebih banyak uang. Juventus bekerja sama dengan AC Milan yang menjual hak siarnya ke Mediaset Premium yang tak lain dimiliki oleh Berlusconi.

Selain itu, baik Milan dan Juventus sama-sama terseret kasus Calciopoli yang membuat keduanya menaruh kebencian yang sama terhadap Inter. Kasus ini pula yang membuat Milan dan Juve seperti menanggung nasib yang sama.