Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

kecoakurusAvatar border
TS
kecoakurus
Harap maklum; Anies sekarang politisi, bukan lagi akademisi
Harap maklum; Anies sekarang politisi, bukan lagi akademisi


Rimanews – Kedatangan calon gubernur DKI Anies Baswedan ke markas Front Pembela Islam (FPI) di Petamburan, Jakarta, menjadi bahan diskusi yang hangat, terutama oleh kalangan akademisi.

Mereka yang pernah dekat, terutama masyarakat kampus Universitas Paramadina, tersinggung dengan sejumlah ucapan Anies di markas FPI tersebut; bahkan, ada yang menyebutnya sebagai Sengkuni, satu karakter antagonis dalam lakon pewayangan.

Terutama murid dan pengagum pemikiran Nurcholish Madjid, mereka menyebut Anies kini pandai membual untuk menarik dukungan dalam pertarungan yang kini dilakoninya. Penyebabnya adalah sejumlah klaim Anies yang intinya membersihkan sejumlah isu kontroversial seperti pernikahan beda agama, mata kuliah LGBT dan paham liberal di Paramadina, universitas yang dirintis pemikir Islam Nurcholish Madjid.

“Dulu ada api di situ, dan apinya sudah kita padamkan. Walaupun orang hanya meributkan apinya dan tak pernah menanyakan siapa yang memadamkan api. Dalam sembilan tahun terakhir tidak ada kontroversi di Paramadina, saat saya meneruskan sebagai rektor di sana sejak 2007-2014,” kata Anies Senin, 2 Januari lalu di markas FPI, Petamburan, Jakarta Pusat.

Sejumlah intelektual murid Cak Nur dalam akun media sosial mereka mentertawakan ucapan Anies, yang dinilai hanya pandai mengklaim dan tanpa pernah kerja keras. Rekam jejak Anies kala ikut berebut jabatan rektor pun diungkit-ungkit.

Tentu hak orang untuk mendukung atau menolak, termasuk terhadap Anies. Bagi orang-orang yang kesal dengan manuver-manuver Anies di kancah politik, mungkin mereka masih menganggap bahwa Anies adalah seorang cendekiawan atau negarawan yang ucapan dan tindakannya harus selalu linear.

Namun, faktanya, Anies kini adalah politisi yang membutuhkan racikan strategi pengiklanan untuk menancapkan citra positif di benak publik. Namanya juga iklan, yang ditonjolkan adalah kelebihan-kelebihan, bila perlu kelebihan yang hiperbolik sekalipun. Bahkan, sejumlah iklan cenderung manipulatif.

Sama seperti iklan rokok, misalnya, yang kerap menampilkan pria-pria ganteng dan maskulin yang di sampingnya ada perempuan cantik dan anggun. Apakah faktanya memang seperti itu: orang merokok lalu kekayaan dan wanita cantik datang? Datang betulan atau tidak itu bukan urusan, namanya juga promosi.

Sama seperti iklan coklat, yang penikmatnya tiba-tiba melayang setelah menggigit ujung batang coklat merek tertentu. Seperti itulah orang jika harus beriklan, bermain dalam ranah imajinasi.

Baik iklan makanan atau politik, yang membedakan hanya produk belaka. Intinya adalah beriklan, dalam arti menjual citra dan mitos yang ingin ditancapkan ke benak pembaca. Bila perlu, ditancapkan sampai menjadi ideologi, sesuatu yang dipercaya sebagai kebenaran.

Politisi itu seperti produk yang membutuhkan pembeli. Jika sebuah produk tidak disukai pembeli, siap-siap perusahaan gulung tikar; apabila politisi tidak ada yang mendukung, siap-siap saja bangkrut secara moral dan finansial.

Bagi politisi, termasuk Anies, suara dari siapa pun berhak dikeruk. Caranya seperti apa, ilmu komunikasi dan periklanan lalu dipakai.

Lazimnya politisi Indonesia, dan juga di mana pun, soal umbar janji dan kehebatan itu biasa. Ingat, mereka sedang beriklan. Bagi yang percaya, silakan menyukai produknya; bagi yang tidak, dimaklumi saja, cukup tidak dipilih.

Sumber: http://rimanews.com/nasional/politik...lagi-akademisi
0
1.9K
18
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan