BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Dikriminasi hukum terhadap bahasa Indonesia

Tidak ada sanksi atas pelanggaran penggunaan bahasa Indonesia
Mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia, sama pentingnya dengan pemberantasan pungutan liar. Itulah yang diucapkan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Abdul Gafur, saat peluncuran Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V, (28/10/2016).

Ungkapan tersebut ditujukan Kepada Presiden Joko Widodo yang beberapa waktu lalu membentuk Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli). Gafur melihat setelah reformasi, penggunaan istilah asing kembali marak di ruang publik. Padahal istilah asing tersebut sebenarnya sudah ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia.

Banyak mal, kompleks perumahan atau perkantoran tidak lagi memakai nama dalam bahasa Indonesia. Karena itu, ia menitipkan pesan untuk Presiden Jokowi, agar menertibkan kembali penggunaan bahasa asing. Permintaan tersebut sampai diulang tiga kali.

Gafur memang sangat mencermati fenomena penggunaan istilah asing di ruang publik. Maklumlah dia adalah pencetus Bulan Bahasa--kini dikenal dengan Bulan Bahasa dan Sastra--yang diperingati setiap bulan Oktober.

Pada 1978, Kemenpora di bawah pimpinan Abdul Gafur, memperingati 50 Tahun Sumpah Pemuda secara besar-besaran di Istora Senayan. Saat itu dihadiri 50 ribu pemuda berbagai etnis. Di situlah tercetus untuk memberi makna bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa. Alasannya karena bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang juga dicetuskan pada hari Sumpah Pemuda.

Penetapan Bulan Bahasa tersebut, kemudian disertai dengan aktivitas penamaan dalam bahasa Indonesia. Anjuran pemerintah untuk menggunakan istilah Indonesia dalam penamaan jenama, nama gedung perkantoran, dan perumahan, ditaati masyarakat.

Saat itu meng-Indonesia-kan istilah asing seperti menjadi sebuah gerakan masyarakat. Gelaran midnight show di gedung bioskop diubah menjadi pertunjukan tengah malam. Nama kompleks perkantoran yang menggunakan building, diganti dengan graha atau griya. Usaha franchise yang saat itu tengah marak pun, akhirnya menemukan padan katanya yaitu waralaba.

Dalam perjalanan waktu, tak bisa dimungkiri penggunaan istilah asing kembali ramai di ruang publik. Politisi lebih suka menggunakan kata incumbent, ketimbang padanan katanya, petahana. Parliamentary threshold lebih dipahami dari pada ambang batas parlemen.

Bahkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun terkesan malas mencari padanan kata, saat mewacanakan program full day school untuk pendidikan SD dan SMP. Akibatnya banyak masyarakat yang mengira anak-anak bakal sekolah sehari penuh. Padahal yang dimaksud Mendikbud Muhadjir Effendy full day school, bukan berarti para siswa belajar selama sehari penuh di sekolah.

Sementara kaum pekerja pun lebih nyaman menggunakan kata meeting ketimbang rapat. Istilah delete lebih akrab dibanding hapus. Begitu pun copy untuk salin; Network untuk jejaring; Download buat unduh serta upload untuk unggah.

Nah, fenomena maraknya kembali penggunaan istilah asing tersebut, membuat kekhawatiran. Di masa depan generasi mendatang akan lebih akrab, senang dan bangga menggunakan istilah-istilah asing. Sementara bahasa Indonesia terpinggirkan lalu ditinggalkan.

Sesungguhnya pemerintah sudah punya pijakan hukum untuk membumikan bahasa Indonesia. UU No. 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Mengatur berbagai butir penting ihwal bahasa Indonesia.

Pasal 25, Ayat 3, misalnya, mengatur bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara. Fungsinya, sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan juga komunikasi tingkat nasional. Fungsi yang lain, untuk pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa.

Pada pasal yang lain, mengatur pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri, harus menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia juga wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau forum yang bersifat internasional di Indonesia.

Sedang pemakaian bahasa Indonesia untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran dan kompleks perdagangan, diwajibkan di Pasal 36, Ayat 3. Kewajiban yang sama juga untuk penamaan merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.

Sayangnya UU No. 24/2009 diskriminatif, dalam soal sanksi. Pelanggaran terhadap bahasa Indonesia tidak punya upaya paksa. Artinya tidak ada ancaman hukuman, denda atau pun sanksi administratif, bila semua kewajiban yang diatur dari Pasal 26 hingga Pasal 39, dilanggar.

Sanksi yang dituliskan dalam undang-undang tersebut hanya menyangkut pelanggaran terhadap penggunaan bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan. Ancamannya pun cukup serius bagi pelanggaran terhadap penggunaan bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan, yaitu pidana 5 tahun, atau denda Rp500 juta.

Tanpa sanksi yang jelas, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (BPPB) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tidak punya taring untuk melakukan penindakan terhadap pelanggaran bahasa di lapangan. Meski demikian bukan berarti penertiban terhadap penggunaan bahas Indonesia bisa berhenti.

Edukasi terhadap semua pihak agar tertib menggunakan bahasa Indonesia adalah pilihan terbaik. Karena pemerintah memang punya kewajiban untuk hal tersebut. Termasuk mengembangkan dan melindungi bahasa Indonesia, sesuai Pasal 41 UU No. 24/2009.

Pemerintah semestinya juga bisa menginisiasi tertib berbahasa Indonesia sebagai sebuah gerakan masyarakat. Publik dilibatkan untuk mengawasi penamaan gedung, kompleks perumahan perkantoran yang menggunakan bahasa asing, lalu melaporkan sekaligus mengusulkan padan kata Indonesia atau serapan bahasa yang cocok untuk menggantikannya.

Pemerintah dalam hal ini BPPB bisa menjadi jembatan. Menghimpun usulan dari masyarakat. Selanjutnya menyampaikan usulan tersebut kepada para pemilik gedung, kompleks perumahan perkantoran yang menggunakan bahasa asing.

Betapa pun tertib berbahasa Indonesia sangat penting dan strategis. Sebab Bahasa Indonesia juga memiliki fungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya.

Kendati begitu, harus ada jaminan bahwa bangsa Indonesia bukan lah anti bahasa asing. Dalam pengembangan bahasa Indonesia, tidak ada pantangan untuk menyerap bahasa asing yang memang sulit dicari padan katanya. Harus rajin juga menggali bahasa daerah yang jumlahnya mencapai 442 bahasa, untuk memperkaya kosa kata bahasa Indonesia..

Dengan begitu, dalam membumikan bahasa Indonesia, dapat berlangsung secara dinamis. Yaitu melestarikan bahasa daerah dan menguasai bahasa asing. Tapi tetap mengutamakan bahasa Indonesia, dan membumikannya dalam berbagai aspek kehidupan.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...hasa-indonesia

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Di balik keyakinan Jokowi soal penghentian impor beras

- Najwa Shihab: Televisi terancam media baru

- Pengguna Twitter meningkat, kerugian berlipat

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
8.9K
12
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan