Fenomena orang Indonesia yang gampang percaya pada cerita hoax berlabel agama
TS
just.be.wise
Fenomena orang Indonesia yang gampang percaya pada cerita hoax berlabel agama
Pernakkan agan membaca cerita mengharu biru berlabel agama yang di klaim merupakan kisah nyata? Pasti pernah, karena cerita semacam itu banyak kita jumpai di kaskus raya kesayangan kita ini atau di forum lain.
Setelah saya membaca dan mencerna sebuah cerita baik baik, kadang saya pun tersenyum kecut setelah mengambil kesimpulan bahwa cerita tersebut hanya fiksi alias hoax belaka, tapi lebih miris lagi saat saya melihat ada begitu banyak nitizen yang dikit dikit bilang “subhanallah” “masyaallah” seolah mereka percaya bahwa cerita dasyat itu memang benar benar terjadi apalagi jika diberi embel embel agama.
Satu pertanyaan saya, kenapa nitizen begitu mudahnya percaya bahwa cerita itu memang nyata padahal tidak ada sumber yang terpercaya, bukti atau saksi yang membenarkan cerita tersebut atau bahkan orang yang mengaku sebagai pelakunya.
Spoiler for cerita pertama ::
Namaku Maryani, orang-orang biasa memanggilku Aryani. Ini adalah kisah perjalanan hidupku yang hingga hari ini masih belum lekang dari benakku. Sebuah kisah yang nyaris membuatku menyesal seumur hidup, bila aku sendiri saat itu tidak berani mengambil sikap. Ya, sebuah perjalanan kisah yang sungguh membuat aku sendiri takjub dibuatnya, sebab aku sendiri menyangka bahwa tidak ada lagi orang seperti dia di dunia ini.
Pembaca nurani yang baik. Tahun 2007 silam aku dipaksa orang tuaku untuk menikah dengan seorang pria, kak Arfan namanya. kak Arfan adalah seorang lelaki yang tinggal sekampung denganku, tetapi dia seleting dengan kakakku waktu sekolah dulu, usia kami terpaut 4 tahun, yang aku tahu bahwa sejak kecilnya kak Arfan adalah anak yang taat kepada orang tuanya dan juga rajin ibadahnya. Dan tabiatnya seperti itu terbawa-bawa hingga ia dewasa, aku merasa risih sendiri dengan kak Arfan apabila berpapasan dijalan semisal. Sebab sopan santunnya sepertinya terlalu berlebihan kepada orang-orang, geli aku menyaksikannya. Yaaah kampungan banget gelagatnya, setiap ada acara-acara ramai di kampung pun kak Arfan tidak pernah terlihat bergabung dengan teman-temannya, pasti kalau dicek kerumahnya nggak ada, orang tuanya pasti menjawab : “Kak Arfan sedang dimasjid nak, sedang menghadiri ta’lim” dan memang mudah sekali mencari kak Arfan. Sejak lulus dari pondok Pesantren Al-Akhirat Gorontalo kak Arfan selalu menghabiskan waktunya membantu orang tuanya jualan, kadang terlihat bersama bapaknya di kebun atau di sawah. Terkadang teman-teman sebayanya menyayangkan potensi dan kelebihan-kelebihannya yang tidak tersalurkan.
Secara fisik memang kak Arfan hampir tidak sepadan dengan ukuran ekonomi keluarganya, sebab kadang gadis-gadis kampung suka menggodanya kalau kak Arfan dalam keadaan rapi menghadiri acara-acara didesa semisal. Tetapi bagiku sendiri itu adalah hal yang biasa-biasa saja, sebab aku sendiri merasa bahwa sosok kak Arfan adalah sosok yang tidak istimewa. Apa istimewanya menghadiri ta’lim? Kurang pergaulan dan kampungan banget. Kadang hatiku sendiri bertanya, “kok bisa ya ada orang yang sekolah di kota begitu kembali ke desa tak ada sedikitpun ciri-ciri kekotaannya yang melekat pada dirinya, Hp aja nggak punya, selain membantu orang tua pasti kerjanya ngaji, shalat, ta’lim dan kembali kepekerjaan lagi. Seolah ruang lingkup hidupnya hanya monoton pada itu-itu saja. Sekali-kali ke bioskop kek, ngumpul bareng teman-teman kek setiap malam minggunya di pertigaan kampung, yang pada malam minggu itu ramainya luar biasa. Apalagi setiap malam kamis dan malam minggu ada acara curhat kisah yang top banget, di sebuah stasiun radio swasta di Gorontalo, kalau tidak salah ingat nama acaranya Suara Hati dan penyiarnya juga Satria Herlambang.
Pembaca nurani yang baik. Waktu terus bergulir, dan seperti gadis-gadis modern pada umumnya yang tidak lepas dengan kata pacaran, akupun demikian. Aku sendiri memiliki kekasih yang sangat aku cintai, Boby namanya. Masa-masa indah aku lewati bersama Boby, indah kurasakan dunia remajaku saat itu. Kedua orang tua Boby sangat menyayangi aku dan sepertinya memiliki sinyal-sinyal restunya atas hubungan kami. Hingga musibah ini akhirnya tiba, aku dilamar oleh seorang pria yang sudah sangat aku kenal, yaa siapa lagi kalau bukan si kuper Kak Arfan. Lewat Pamanku orang tua kak Arfan melamarku untuk anak yang kampungan itu, mendengar penuturan Mama saat memberi tahu tentang lamaran itu, kurasakan dunia ini gelap, kepalaku pening, aku berteriak sekencang-kencangnya menolak permintaan lamaran itu, dengan tegas dan tidak terbelit-belit aku sampaikan kepada orang tuaku bahwa aku menolak lamaran keluarga kak Arfan dan dengan terang-terangan pula aku sampaikan bahwa aku memiliki kekasih pujaan hatiku. Ya, dengan terang-terangan pula aku sampikan bahwa aku memiliki kekasih pujaan hatiku, Boby namanya. Mendengar semua itu ibuku shock dan jatuh tersungkur ke lantai, akupun tidak menduga kalau sikapku yang egois itu akan membuat Mama shock. Baru ku tahu bahwa yang membuat Mama shock itu karena beliau sudah menerima secara resmi lamaran kak Arfan, hatiku sedih saat itu dan kurasakan dunia begitu kelabu, aku seperti menelan buah simalakama, seperti orang yang paranoid, bingung dan tidak tahu apakah harus ikut kata orang tua atau lari bersama kekasihku Boby? Hatiku sedih saat itu, akhirnya dengan berat hati dan penuh rasa kesedihan aku menerima lamaran kak Arfan untuk menjadi suamiku, dan kujadikan malam terakhir perjumpaanku dengan Boby di rumahku untuk meluapkan segala kesedihanku. Jujur, meskipun kami saling mencintai tetapi mau tidak mau Boby harus merelakan aku menikah dengan kak Arfan, karena saat itu Boby belum siap untuk membina rumah tangga.
Setelah saya cerna, saya berkesimpulan bahwa cerita ini hanyalah hoax belaka. Sang pengarang cerita seolah ingin memberikan pesan bahwa “orang tua yang menerima pinangan secara sepihak tanpa memintan pendapat anaknya adalah benar, meskipun awalnya dijalani dengan setengah hati tapi akhirnya happy ending juga, karena itu semestinya seorang wanita harus rela dinikahkan dengan seseorang pilihan orang tuanya meskipun hatinya menolak karena pasti akhirnya bahagia”
Padahal setahu saya seorang wanita berhak menolak dinikahkan dengan laki laki yang tak dia sukai. Dan bagaimana bisa orang tua langsung mengiyakan pinangan yang datang tanpa minta persetujuan dari sang anak? Saya kira bukan anak yang egois tapi orangtualah yang egois.
Jika saya menjadi Arfan yang digambarkan sebagai laki laki alim pasti saya mencari wanita yang sama alimnya (yang suka memakai jubbah warna hitam dan lebar ) bukan wanita biasa yang suka pacaran sebelum menikah.
Spoiler for Cerita kedua ::
Sore itu, menunggu kedatangan teman yang akan menjemputku di masjid ini seusai ashar.. seorang akhwat datang, tersenyum dan duduk disampingku, mengucapkan salam, sambil berkenalan dan sampai pula pada pertanyaan itu. “anty sudah menikah?”. “Belum mbak”, jawabku. Kemudian akhwat itu .bertanya lagi “kenapa?” hanya bisa ku jawab dengan senyuman.. ingin ku jawab karena masih kuliah, tapi rasanya itu bukan alasan.
“mbak menunggu siapa?” aku mencoba bertanya. “nunggu suami” jawabnya. Aku melihat kesamping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar lagi yang tak bisa kutebak apa isinya. Dalam hati bertanya- tanya, dari mana mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnya kuberanikan juga untuk bertanya “mbak kerja dimana?”, ntahlah keyakinan apa yg meyakiniku bahwa mbak ini seorang pekerja, padahal setahuku, akhwat2 seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai ibu rumah tangga.
“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja lagi” , jawabnya dengan wajah yang aneh menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan hati.
“kenapa?” tanyaku lagi.
Dia hanya tersenyum dan menjawab “karena inilah cara satu cara yang bisa membuat saya lebih hormat pada suami” jawabnya tegas.
Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia hanya tersenyum.
Ukhty, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini bisa menjadi pelajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah akan didatangi oleh ikhwan yang sangat mencintai akhirat.
“saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan nama kantornya. Gaji saya 7juta/bulan. Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari, es cendol di siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka padanya. Waktu itu jam 7 malam, suami baru menjemput saya dari kantor, hari ini lembur, biasanya sore jam 3 sudah pulang. Saya capek sekali ukhty. Saat itu juga suami masuk angin dan kepalanya pusing. Dan parahnya saya juga lagi pusing. Suami minta diambilkan air minum, tapi saya malah berkata, “abi, umi pusing nih, ambil sendirilah”.
Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam 23.30 saya terbangun dan cepat-cepat sholat, Alhamdulillah pusing pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan pulasnya. Menuju ke dapur, saya liat semua piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang bukan mencucinya kalo bukan suami saya? Terlihat lagi semua baju kotor telah di cuci. Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini? Bukankah abi juga pusing tadi malam? Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap abi sadar dan mau menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu lelah, hingga tak sadar juga. Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang wajah suami saya itu, ya Allah.. panas sekali pipinya, keningnya, Masya Allah, abi deman, tinggi sekali panasnya. Saya teringat atas perkataan terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan air minum saja, saya membantahnya. Air mata ini menetes, betapa selama ini saya terlalu sibuk diluar rumah, tidak memperhatikan hak suami saya.”
Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita dengan semangatnya, membuat hati ini merinding. Dan kulihat juga ada tetesan air mata yg di usapnya.
“anty tau berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh dengan gaji saya. Sekitar 600-700rb/bulan. 10x lipat dari gaji saya. Dan malam itu saya benar-benar merasa durhaka pada suami saya. Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah pada suami, meskipun suami selalu memberikan hasil jualannya itu pada saya, dan setiap kali memberikan hasil jualannya , ia selalu berkata “umi,,ini ada titipan rezeki dari Allah. Di ambil ya. Buat keperluan kita. Dan tidak banyak jumlahnya, mudah2an umi ridho”, begitu katanya.
Kenapa baru sekarang saya merasakan dalamnya kata-kata itu. Betapa harta ini membuat saya sombong pada nafkah yang diberikan suami saya”, lanjutnya
“Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa menghargai nafkah yang diberikan suami. Wanita itu begitu susah menjaga harta, dan karena harta juga wanita sering lupa kodratnya, dan gampang menyepelekan suami.” Lanjutnya lagi, tak memberikan kesempatan bagiku untuk berbicara.
“beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah orang tua, dan menceritakan niat saya ini. Saya sedih, karena orang tua dan saudara-saudara saya tidak ada yang mendukung niat saya untuk berhenti berkerja. Malah mereka membanding-bandingkan pekerjaan suami saya dengan orang lain.”
Aku masih terdiam, bisu, mendengar keluh kesahnya. Subhanallah, apa aku bisa seperti dia? Menerima sosok pangeran apa adanya, bahkan rela meninggalkan pekerjaan.
“kak, kita itu harus memikirkan masa depan. Kita kerja juga untuk anak-anak kita kak. Biaya hidup sekarang ini besar. Begitu banyak orang yang butuh pekerjaan. Nah kakak malah pengen berhenti kerja. Suami kakak pun penghasilannya kurang. Mending kalo suami kakak pengusaha kaya, bolehlah kita santai-santai aja di rumah. Salah kakak juga sih, kalo ma jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah sama yang kaya. Sama dokter muda itu yang berniat melamar kakak duluan sebelum sama yang ini. Tapi kakak lebih milih nikah sama orang yang belum jelas pekerjaannya. Dari 4 orang anak bapak, Cuma suami kakak yang tidak punya penghasilan tetap dan yang paling buat kami kesal, sepertinya suami kakak itu lebih suka hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh saudara sendiri yang ingin membantupun tak mau, sampai heran aku, apa maunya suami kakak itu”. Ceritanya kembali, menceritakan ucapan adik perempuannya saat dimintai pendapat.
“anty tau, saya hanya bisa nangis saat itu. Saya menangis bukan Karena apa yang dikatakan adik saya itu benar, bukan karena itu. Tapi saya menangis karena imam saya dipandang rendah olehnya. Bagaimana mungkin dia meremehkan setiap tetes keringat suami saya, padahal dengan tetesan keringat itu, Allah memandangnya mulia. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa membangunkan saya untuk sujud dimalam hari. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya selalu menenangkan hati saya. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar saya, padahal saat itu orang tersebut belum mempunyai pekerjaan. Baigaimana mungkin seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah dihadapannya hanya karena sebuah pekerjaan.
Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat orang membanding-bandingkan gaji saya dengan gaji suami saya. Saya memutuskan berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya. Saya juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya. Semoga saya tak lagi membantah perintah suami. Semoga saya juga ridho atas besarnya nafkah itu. Saya bangga ukhti dengan pekerjaan suami saya, sangat bangga, bahkan begitu menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang punya keberanian dengan pekerjaan itu. Kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada melakukan pekerjaan yang seperti itu. Tapi lihatlah suami saya, tak ada rasa malu baginya untuk menafkahi istri dengan nafkah yang halal. Itulah yang membuat saya begitu bangga pada suami saya.
Semoga jika anty mendapatkan suami seperti saya, anty tak perlu malu untuk menceritakannya pekerjaan suami anty pada orang lain. Bukan masalah pekerjaannya ukhty, tapi masalah halalnya, berkahnya, dan kita memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami kita dari rizki yang haram”. Ucapnya terakhir, sambil tersenyum manis padaku.
Dia mengambil tas laptopnya,, bergegas ingin meninggalkannku. Kulihat dari kejauhan seorang ikhwan dengan menggunakan sepeda motor butut mendekat ke arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm, meskipun tak ada niatku menatap mukanya. Sambil mengucapkan salam, meninggalkannku. Wajah itu tenang sekali, wajah seorang istri yang begitu ridho.
Ya Allah….
Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini aku dapat pelajaran paling baik dalam hidupku.
Pelajaran yang membuatu menghapus sosok pangeran kaya yang ada dalam benakku..
Subhanallah..
akhi lagi ukhti sekalian..
Kekeliruan selama ini, orang mengganggap kebahagiaan itu adalah kaya akan materi.. mobil mewah.. rumah bagus..
Tapi sesungguhnya kekayaan sebanarnya itu ada saat kita merasa cukup akan nikmat ALLAH walaupun tanpa materi untuk kita bangga-banggakan.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Bersabda :
“bukanlah kekayaan itu dari banyaknya harta, melainkan adalah rasa cukup didalam hati”. HR. Bukhari
Wallahu A’lam Bish Showab
Saya tak membantah soal hukum agama yang mewajibkan istri untuk berbakti kepada suaminya seperti yang dipesankan dari cerita ini. Tapi lagi lagi saya tak menemukan sumber yang jelas, juga saksi atau siapapin yang mengaku sebagai pelakunya untuk meyakinkan saya bahwa cerita ini memang benar adanya.
Apalagi jika kita melihat fakta yang bisa di dapat dilapangan. Jika saya menjadi wanita taat beragama berpenghasilan 7jt, saya pasti akan mencari laki laki yang taat beragama juga tapi penghasilannya lebih tinggi dari saya atau setidaknya sepadan, kalaupun suami punya penghasilan lebih kecil tapi juga tidak akan senjomplang itu.
Dan jika saya menjadi si laki laki, saya tidak akan punya nyali untuk meminang wanita berpenghasilan 7jt jika penghasilan saya sediri hanya 700rb, sama saja menginjak harga diri sendiri.
Tapi lagi lagi banyak nitizen yang berucap “subhanallah”, memuji si wanita sebagai istri solehah yang layak ditiru perbuatannya oleh wanita lain (padahal belum tentu dia emang nyata adanya alias Cuma tokoh rekaan pengarang) , malah ada yang berharap bisa memiliki istri seperti itu (just in your dream)
Spoiler for Cerita ketiga ::
Salah seorang Sahabat pernah bercerita bahwa pada suatu hari ia masuk ke dalam salah satu masjid. Ketika itu ia melihat seorang anak laki-laki yang berumur kurang lebih sepuluh tahun sedang melakukan salat dengan khusyuknya. Setelah anak itu selesai melakukan salat, sahabat itu mendekatinya dan bertanya sesuatu kepadanya, dan terjadilah dialog antara keduanya.
"Siapa ayahmu, Nak?" tanya sahabat itu.
"Saya yatim piatu. Ayah dan ibu saya telah meninggal," jawab si anak itu.
Lalu ketika sahabat itu menawarkan diri untuk menjadi orang tua asuhnya, si anak menjawab, "Apakah tuan akan memberiku makan bila aku lapar? Memberiku minum bila aku kehausan? Memberiku pakaian bila aku memerlukannya? Dan menghidupkanku bila aku mati?"
Sahabat itu kaget atas pertanyaan terakhir. Sebab, menghidupkan seseorang setelah mati di luar kekuasaan manusia. Seakan-akan si anak itu mengemukakan argumentasi seperti yang terdapat dalam surat asy-Syu'araa' ayat 78-81 yang artinya, "Yaitu Tuhan, yang telah menciptakan aku, maka Dia menunjuki aku. Dan Tuhanku, Dia-lah yang memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dia-lah yang menyembuhkan aku, dan Dia-lah yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku kembali."
Sahabat itu menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Adapun permintaanmu yang terakhir itu, menghidupkan sesudah mati, bukanlah kewenanganku. Aku tidak sanggup melakukannya."
Mendengar jawaban sahabat yang demikian, anak itu kemudian berpaling sambil berkata, "Kalau begitu silahkan tuan tinggalkan aku. Biarkanlah aku menghadap Allah yang menciptakan aku, yang memberi rezeki kepadaku, dan yang menghidupkan aku setelah mati."
Sahabat terdiam kagum melihat kecerdasan dan keimanan anak itu. Ia hanya bisa memandangnya berlalu dari hadapannya. Sungguh anak sekecil itu telah memiliki harta yang sangat mahal harganya, yaitu tauhid yang kuat.
Nggak perlu dipikir lama, saya pastikan bahwa ini 100% hoax. Mana ada anak kecil bisa bicara hal seperti itu. Jikapun benar nyata adanya, saya kira anak ini memang masih begitu polos dan bodoh tapi lebih bodoh lagi si sahabat yang justru kagum pada ucapannya.
Apakah hanya dengan berdiam diri dan berdoa di masjid, rejeki untuk si anak yatim akan jatuh begitu saja dari langit? Tentu saja harus dijemput dengan bekerja atau rejeki itu akan datang lewat tangan orang lain, misalnya lewat si sahabat itu.
Menurut saya kita mestinya tak langsung percaya pada cerita ajaib yang diklaim kisah nyata atau yang berlabel agama, lalu dengan perasaan haru kita langsung menyebut nama Tuhan, seolah terkesima karena sebuah cerita nyata yang luar biasa kalau tak boleh disebut tak masuk akal. Hendaknya kita tetap bisa mencernanya dengan logika sebelum mengamininya karena berbahaya jika kita menelan mentah mentah “pesan moral” yang tersirat, bisa jadi malah akan menjerumuskan.
0
9K
Kutip
107
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru