Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Koalisi gendut dan kursi kosong
Koalisi gendut dan kursi kosong
Koalisi tujuh partai di Pilkada DKI Jakarta 2017 baru wacana, belum konkret sampai mengusung calon.
Tujuh parpol bersekutu membentuk koalisi untuk menyambut pilkada DKI 2017. Namun persekutuan ini, bisa disebut masih mentah. Tidak ada parpol sebagai pemimpin koalisi misalnya, belum ada pula calon pasangan kepala daerah yang bakal diusung.

Persekutuan ini, bisa dibilang koalisi gendut. Sebab ketujuh parpol yang berkoalisi adalah pemilik suara mayoritas di DPRD DKI saat ini. Mereka adalah: PDIP (28 kursi), Gerindra (15 kursi), PKS (11 kursi), PPP (10 kursi), Demokrat (10 kursi), PKB (6 kursi), dan PAN (2 kursi).

Bila ketujuh partai ini dibagi dalam tiga kelompok, tiap kelompok masih bisa mengusung calon kepala daerah.

Dalam deklarasi persekutuan (8/8/2016), mereka menyebut kelompok ini "Koalisi Kekeluargaan", tanpa menyebutkan maknanya. Yang pasti kesepakatan bareng ini baru disetujui para pimpinan di daerah, belum ada izin maupun restu dari Dewan Pimpinan Pusat masing-masing partai. Meminjam istilah Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PAN DKI, Eko Hendro Purnomo, koalisi ini belum final.

Meski belum punya nama calon yang bakal diusung, koalisi ini sudah menyepakati 7 butir kriteria calon. Setiap butirnya diusulkan masing-masing partai: arif, bijaksana, beradab, santun, beretika, bersih, dan cerdas.

Bila dicermati, kriteria tersebut merupakan kontra personifikasi Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok, Gubernur DKI saat ini. Ahok selama ini mendapat cap sebagai figur yang tidak santun dan tidak beretika. Gaya Ahok yang keras cenderung kasar dan blak-blakan, membuat relasinya dengan DPRD selama ini kurang harmonis.

Apakah koalisi ini muncul untuk menandingi Ahok yang siap berlaga lagi dalam pilkada 2017, dengan dukungan Golkar, Hanura, dan NasDem?

Wakil Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) DPD PDIP DKI Jakarta, Gembong Warsono, membantahnya. Koalisi ini, menurut Gembong, adalah koalisi kebersamaan dalam rangka mencari sosok pemimpin Jakarta yang lebih baik.

Yang paling diuntungkan dengan koalisi parpol tersebut--setidaknya sementara ini--adalah Gerindra. Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subiyanto, secara definitif telah menunjuk Sandiaga Uno sebagai calon yang bakal diusung dalam pilkada DKI.

Dengan jumlah suara hanya 15 kursi Gerindra tidak bisa mengusung Sandiaga sendirian. Partai ini butuh dukungan partai lain, sampai memenuhi syarat minimal dukungan: 22 kursi di DPRD DKI Jakarta.

Itulah sebabnya, Ketua DPD Gerindra DKI, M. Taufik, menilai koalisi kekeluargaan ini sangat strategis buat Gerindra. Dia yakin koalisi ini tidak akan mementahkan pencalonan Sandiaga Uno, tapi malah mematangkan. Setidaknya, Gerindra siap kalau pun posisi Sandiaga turun kelas, jadi calon wakil gubernur, bila PDIP menyodorkan calon gubernur dalam koalisi ini.

Taufik bahkan cukup optimistis koalisi ini bakal bisa mengusung calon pemenang dalam pilkada nanti. Itu terjadi bila PDIP menyodorkan Tri Rismaharini (Walikota Surabaya) sebagai calon gubernur, sedang Sandiaga sebagai wakilnya.

Tapi sesungguhnya terlalu dini bila berandai-andai menjodohkan Risma dengan Sandiaga sebagai calon pasangan kepala daerah di Ibu Kota. PDIP, belum menyebut satu nama pun yang bakal diusung dalam pikada DKI nanti. PDIP adalah magnet pilkada DKI, ia partai dengan jumlah kursi terbanyak, 28 kursi di DPRD.

Tanpa berkoalisi pun PDIP bisa mengusung sendiri pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. PDIP pun punya mekanisme sendiri dalam pemilihan calon yang bakal diusung dalam pilkada. Menurut Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, keputusan akhir siapa yang dicalonkan menjadi hak prerogatif Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.

Artinya kesepakatan yang dilakukan PLT Ketua DPD PDIP DKI, Bambang DH, dalam Koalisi Kekeluargaan bisa tidak berarti sama sekali, bila Megawati tak menghendaki PDIP berkoalisi. Persekutuan tujuh parpol tersebut, memang masih prematur untuk membicarakan figur calon.

Tidak bisa dimungkiri, hadirnya koalisi tujuh partai tersebut, bukan sebuah keputusan matang. Ia ibarat hadir sebagai reaksi atas kepastian Ahok, yang memutuskan maju dalam pilkada DKI melalui jalur parpol, yaitu melalui koalisi Golkar, Hanura dan NasDem.

Reaksi tersebut sebenarnya juga tidak membawa perspektif baru dalam bursa calon kepala daerah DKI Jakarta. Sampai sekarang secara resmi belum ada satu pasangan calon pun yang terdaftar di KPUD DKI.

Sampai penutupan pendaftaran untuk jalur perseorangan (7/8/2016), tak satu pasangan calon pun yang dinyatakan memenuhi syarat administrasi. Artinya, pilkada DKI Jakarta nihil dari calon independen.

Ramai dan tidaknya persaingan di DKI Jakarta saat ini sangat tergantung pada parpol. Hanya parpol yang bisa menyodorkan calon kepala daerah. Sejuta KTP yang berhasil dikumpulkan relawan Teman Ahok, tak lagi punya makna. Pintu untuk Ahok untuk maju dari jalur independen sudah tertutup.

Sementara kepastian dari jalur parpol, baru bisa diketahui 19 sampai 21 September mendatang. Hari itulah calon dengan dukungan parpol atau gabungan parpol dijadwalkan mendaftar ke KPUD DKI, sesuai tahapan.

Masyarakat Jakarta tentu akan menunggu, apakah koalisi Golkar, Hanura dan NasDem, jadi mendaftarkan Ahok sebagai calon gubernur. Begitu pun Koalisi Kekeluargaan, siapa calon yang bakal diusung?

Harapan masyarakat agar pilkada DKI 2017 lebih menarik dari pilkada 2012, sebenarnya telah gugur. Pilkada 2012 di DKI muncul 6 pasangan calon, 2 di antaranya melalui jalur independen. Sekarang, jalur independen tidak ada calonnya.

Pilkada pun saat itu berlangsung dua putaran, menunjukkan ketatnya persaingan. Pasangan Jokowi-Ahok, selisih kemenangannya juga tidak terlalu mencolok, 7,6 persen, terhadap pasangan Foke-Nara.

Sekarang menjadi tugas parpol agar pilkada DKI memiliki kualitas demokrasi yang baik. Artinya ketujuh parpol yang tidak mendukung Ahok, semestinya bisa lebih dewasa. Jangan sekadar bersekutu untuk menggagalkan pencalonan Ahok.

Pasalnya, tidak terlalu susah menggagalkan pencalonan Ahok. Membujuk Hanura (10 kursi), atau Golkar (9 kursi), atau NasDem (5 kursi) membatalkan dukungannya terhadap Ahok, misalnya. Tanpa dukungan salah satu partai tersebut, bisa tamat kesempatan Ahok untuk maju dalam pilkada 2017. Dengan catatan, tak ada partai lain yang mengusungnya.

Bila itu yang terjadi, bisa disimpulkan parpol bukan saja tidak menghendaki Ahok maju lagi, tapi tidak peduli terhadap aspirasi warga DKI. Apa pun, Ahok adalah bakal calon gubernur DKI yang memiliki elektabilitas tinggi dalam berbagai sigi lembaga survei.

Yang lebih elok dilakukan parpol adalah menghadirkan setidaknya dua pesaing Ahok yang setara. PDIP secara mandiri bisa memunculkan kader terbaiknya. Sedang enam parpol yang lain bisa mengusung calon yang berbeda.

Dengan begitu, persaingan dalam pilkada DKI menjadi menarik. Warga DKI pun mendapat alternatif selain Ahok dalam mendapatkan gubernur terbaik.
Koalisi gendut dan kursi kosong


Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...n-kursi-kosong

---

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
5.3K
10
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan