BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Hantu peradilan sesat di balik hukuman mati

Peradilang sesat menghantui eksekusi hukuman mati.
"Dari waktu ke waktu, kita diminta untuk mengevaluasi kembali sejarah dan mengoreksi ketidakadilan jika kita mampu melakukan itu". Itulah ucapan Carmen Mullins, hakim pengadilan Carolina Selatan, Amerika Serikat ( 17/12/2014).

Hari itu ia memutuskan George Stinney Jr, tidak bersalah atas tuduhan pembunuhan terhadap dua gadis berusia 7 dan 11 tahun. Sayang Stinney Jr tak bisa mendengarkan putusan itu. Dia sudah divonis mati oleh pengadilan yang sama dan dieksekusi di kursi listrik 70 tahun lalu, saat ia berusia 14 tahun.

Vonis hakim Carmen itu disambut suka cita keluarga Stinney. Namun kegembiraan itu tentu tidak paripurna. Betapa pun, vonis Carmen tak bisa mengembalikan kehidupan Stinney Jr.

Kesalahan dalam proses peradilan, alias peradilan sesat, bisa terjadi di mana-mana. Tak satu pun sistem hukum yang menjamin bisa kalis dari peradilan sesat. Kesalahan bisa terjadi sejak proses penyidikan, pelaksanaan hukum acara, sampai pembuktian dan putusan.

Amerika Serikat (AS) yang dinilai peradilannya cukup pruden pun tak lepas dari kesalahan. Setidaknya 4,1 persen terpidana mati adalah orang yang tak bersalah. Itulah hasil penelitian tim ahli hukum dari Michigan dan Pennsyvania, yang meneliti 8.000 terpidana dihukum mati sejak 1970.

Bagaimana di Indonesia? Tidak ada penelitian serupa, sehingga susah untuk menggambarkan kondisi yang sesungguhnya. Yang pasti, setiap kali dilakukan pelaksanaan hukuman mati, polemik pro-kontra hukuman mati selalu kembali mengemuka.

Jumat (29/7/2016) dini hari, di Lapangan Tembak Tunggal Panaluan, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, telah dilaksanakan eksekusi terhadap empat orang terpidana mati. Mereka: Freddy Budiman (Indonesia), Michael Titus Igweh (Nigeria), Humphrey Ejike alias Doctor (Nigeria), dan Seck Osmane (Senegal).

Keempatnya dihukum mati lantaran tindak pidana narkoba. Kasusnya, dari kepemilikan heroin dengan jumlah besar, bandar, sampai pengedar. Eksekusi kali ini adalah pelaksanaan hukuman mati gelombang ketiga, terhadap terpidana mati dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pada gelombang ini rencananya ada 14 orang yang dieksekusi.

Eksekusi hukuman mati gelombang pertama dilaksanakan 18 Januari 2015. Sebanyak enam terpidana dieksekusi. Pada gelombang kedua sebanyak delapan terpidana, dihadapkan pada regu tembak, 29 April 2015.

Berbagai kalangan, baik dari dalam maupun luar negeri, selalu menyampaikan keberatan atas pelaksanaan hukuman mati di Indonesia. Alasan utamanya adalah persoalan HAM.

Indonesia semestinya sudah meninggalkan hukuman mati. Komnas HAM selalu mengingatkan hal tersebut, karena Indonesia melalui UU No. 12/2005 sudah meratifikasi Konvensi International Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ ICCPR).

Dengan meratifikasi ICCPR, menjadi keharusan bagi Indonesia untuk menaatinya. Caranya, dengan memasukkan isi konvensi tersebut dalam hukum nasional. Esensi konvensi itu antara lain negara atau individu tidak berhak menentukan hidup dan mati seseorang, melainkan hanya Tuhan.

Dilemanya, saat ini hukum positif di Indonesia masih melegalkan hukuman mati. Upaya meniadakan hukuman mati di Indonesia bukan persoalan gampang. Dalam revisi KUHP yang saat ini mulai digarap DPR, hanya Fraksi Partai Demokrat yang secara tegas menginginkan pidana mati ditiadakan. Sementara itu, Fraksi PDI Perjuangan setuju hukum mati dengan catatan. Yang lain tetap menginginkan hukuman mati.

Memang selama ini hampir semua yang dieksekusi adalah bandar dan pengedar narkoba. Ini mengesankan hukuman mati hanya berlaku untuk penjahat narkoba. Hal serupa ternyata terjadi tak cuma di Indonesia.

Di dunia, menurut catatan Amnesty International, masih ada 30 negara memiliki undang-undang yang menghukum mati pelanggaran terkait narkoba. Setidaknya pada 2015, ada 685 orang dieksekusi karena kasus pidana yang berhubungan dengan narkoba.

Padahal, PBB tegas menyatakan bandar narkoba sekalipun, hanyalah kejahatan biasa. Sanksinya bisa hukuman maksimal, tapi bukan hukuman mati.

Sebenarnya persoalan yang lebih mendasar di Indonesia bukan sekadar menyelaraskan hukum positif dengan ratifikasi ICCPR. Tapi juga melakukan eksaminasi terhadap vonis mati. Benarkah proses hukum terhadap terpidana mati benar-benar dilaksanakan secara baik dan benar?

Karut marut peradilan di Indonesia, yang terungkap belakangan, seperti suap terhadap hakim dan panitera, di beberapa pengadilan, menunjukkan ada ketidakberesan dalam peradilan di Indonesia. Kasus tersebut, tentu mempertebal ketidakpercayaan publik bahwa proses peradilan telah benar-benar berlaku adil. Termasuk di dalamnya kasus narkoba dengan vonis mati.

Isu peradilan yang sesat juga menyertai kehadiran vonis mati. Menurut ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), potensi peradilan sesat di Indonesia masih tinggi. Lembaga ini antara lain merekomendasikan pembenahan peraturan dalam upaya hukum peninjauan kembali (PK).

Kasus terpidana mati Zainal Abidin yang masuk dalam rombongan eksekusi mati gelombang dua, misalnya. Ia bisa dikatakan tidak mendapatkan proses peradilan PK yang sempurna. Berkas PK Zainal didaftarkan di Kepaniteraan PN Palembang pada 2005. Namun berkas tersebut baru masuk ke MA pada 8 April 2015. Artinya berkas itu terselip di birokrasi dan karut marut peradilan negeri ini selama 10 tahun.

Majelis hakim PK menjatuhkan vonis yang menguatkan hukuman mati, pada 27 April 2015. Dua hari berikutnya, eksekusi hukuman mati dilakukan. Dia menerima vonis mati yang berkekuatan hukum tetap justru setelah menginap 3 hari di ruang isolasi bagi terpidana yang hendak dieksekusi.

Sidang PK dan waktu tunggu eksekusi Zainal, adalah rekor tercepat dalam proses peradilan di Indonesia. Ini tentu memunculkan kesan bahwa vonis mati Zainal, hanya untuk meluluskan proses eksekusi yang sudah telanjur disiapkan oleh kejaksaan.

Lalu di mana letak kredo kekuasaan kehakiman yang berbunyi Demi Keadilan Yang Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa?

Peradilan seharusnya tegak dan berwibawa, tanpa suap, tanpa konflik kepentingan dan menjaga gengsi lembaga penegak hukum lain. Dengan begitu proses hukum yang benar serta keputusan yang adil akan tercapai.

Moratorium hukuman mati layak dilakukan di Indonesia, bukan karena untuk membela bandar narkoba. Bukan pula untuk mengikuti tren dunia. Saat ini ada sekitar 140 negara di dunia sudah menerapkan kebijakan moratorium hukuman mati. Moratorium hukum mati dilakukan untuk memastikan proses peradilan di Indonesia berlangsung secara benar.

Kita tentu tidak ingin, kasus peradilan seperti yang terjadi pada Zainal Abidin terulang. Apalagi kasus George Stinney Jr terjadi di sini. Kita juga tidak ingin peradilan sesat terus menghantui peradilan di Indonesia.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...k-hukuman-mati

---

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
6.6K
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan