Spoiler for Gusdurian Dukung Hasil IPT Peristiwa 1965:
TEMPO.CO, Jombang - Komunitas pencinta dan pelestari ajaran Gus Dur, Gusdurian, mendukung putusan pengadilan internasional atau International People’s Tribunal (IPT) dalam tragedi 1965 di Indonesia.
“Kami mengapresiasi positif putusan panel hakim IPT. Para hakim tidak menemukan keraguan sedikit pun bahwa telah terjadi kejahatan kemanusiaan terhadap ratusan ribu warga Indonesia yang dituduh terlibat PKI (Partai Komunis Indonesia),” kata Koordinator Gusdurian Jawa Timur Aan Anshori, Sabtu, 23 Juli 2016.
Ia juga mendukung penuh tiga rekomendasi putusan IPT tersebut, antara lain permintaan maaf negara kepada semua korban, penyelidikan dan penuntutan kepada semua pelaku kejahatan, serta memastikan adanya kompensasi yang setimpal dan upaya ganti rugi bagi semua korban.
“Kami memandang rekomendasi-rekomendasi tersebut sejalan dengan mekanisme perdamaian (sulh) sebagaimana diatur dalam hukum Islam, yakni penyelesaian yang berbasis pada korban dan tidak menoleransi adanya impunitas (pengabaian atas kejahatan),” tutur kader muda Nahdlatul Ulama (NU) Jombang yang juga Koordinator Jaringan Islam Anti-Diskriminasi (JIAD) Jawa Timur ini.
Apa yang telah diputuskan panel hakim IPT, menurut dia, secara garis besar sama dengan temuan dan rekomendasi dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komnas Perempuan. Ia berharap Presiden RI Joko Widodo bisa mengendalikan para pembantunya agar tidak emosional di hadapan publik. “Resistensi atas putusan IPT bisa memperburuk citra RI di mata internasional dalam penegakan HAM,” ujarnya.
Spoiler for Putusan IPT kasus 1965: "Negara bersalah atas 10 kejahatan HAM berat":
Hasil keputusan final sidang Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) di Den Haag menyatakan Indonesia bertanggung jawab atas 10 tindakan kejahatan HAM berat yang terjadi pada 1965-1966.
“Tindakan pembunuhan massal, dan semua tindak pidana tidak bermoral pada peristiwa 1965 dan sesudahnya, dan kegagalan untuk mencegahnya atau menindak pelakunya, berlangsung sepenuhnya di bawah tanggung jawab Negara Indonesia,” ujar Ketua Hakim IPT 1965, Zak Yacoob, melalui rekaman video yang diputar di YLBHI, Jakarta, Rabu (20/07).
Sepuluh kejahatan HAM berat itu adalah pembunuhan massal, pemusnahan, pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda palsu, keterlibatan negara lain, hingga genosida.
Yacoob mengungkapkan 'kejahatan terhadap kemanusiaan,' dilakukan negara kepada masyarakat Indonesia dengan 'sistematis, diam-diam tapi meluas.'
Genosida
Sidang Pengadilan Rakyat Internasional, IPT 1965, berlangsung pada 10 hingga 13 November 2015 lalu.
Di hadapan dua hakim internasional, sebanyak 10 orang telah menjadi saksi untuk 'mengungkap kebenaran' terhadap apa yang terjadi pasca tragedi 1965.
Sejumlah penelitian menyebutkan ratusan ribu orang menjadi korban pada 1965-1969.
Dalam keputusan IPT 1965, Yacoob menyatakan kejahatan kemanusiaan itu dilakukan terhadap "para pemimpin PKI, anggota atau simpatisannya, loyalis Sukarno, dan anggota Partai Nasional Indonesia (PNI), serikat buruh, serikat guru, dan khususnya kalangan Tionghoa atau yang berdarah campuran. Ini dapat digolongkan dalam genosida."
"Karena tindakan ini diarahkan pada kelompok-kelompok tertentu, dengan tujuan khusus untuk menghancurkan sekelompok, sebagian atau seluruhnya. Tindakan tersebut menyangkut sejumlah tindakan yang tertera dalam Konvensi Genosida 1948."
Pemerintah harus minta maaf
Sebagai rekomendasi Yacoob meminta pemerintah Indonesia "meminta maaf kepada semua korban, penyintas, dan keluarga mereka untuk peran negara dalam semua kejahatan terhadap kemanusiaan, atau kejahatan lain yang terjadi di Indonesia terkait dengan peristiwa 1965 dan sesudahnya."
IPT 1965 juga meminta pemerintah melakukan "penyidikan dan mengadili semua pelanggaran terhadap kemanusiaan."
Pemerintah pun diminta untuk "memberikan kompensasi dan santunan yang memadai kepada korban dan penyintas."
IPT juga meminta "pemerintah agar melakukan rehabilitasi untuk korban dan penyintas serta menghentikan pengejaran (persekusi) yang masih dilakukan oleh pihak berwajib, atau menghilangkan pembatasan-pembatasan bagi para korban dan penyintas, sehingga mereka dapat menikmati sepenuhnya hak asasi manusia seperti yang dijamin oleh hukum Indonesia dan internasional."
Sementara itu :
Spoiler for Ketua Lesbumi PBNU: Peristiwa 1965 Melibatkan Eks KNIL:
SABTU, 23 JULI 2016 | 16:05 WIB Ketua Lesbumi PBNU: Peristiwa 1965 Melibatkan Eks KNIL
Raymond Westerling.
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Agus Sunyoto menilai putusan International People's Tribunal (IPT) mengenai peristiwa pembantaian kader dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) 1965-1966 keliru. IPT menilai peristiwa kekerasan 1965 adalah genosida dan pemerintah Indonesia harus meminta maaf pada para korban.
Menanggapi putusan IPT itu, Agus Sunyoto menegaskan bahwa pemerintah Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak bisa dituntut bertanggungjawab atas tragedi 1965 itu. Pasalnya, kata Agus, pemicu sebenarnya tragedi 1965 adalah tindakan oknum-oknum yang terkait dengan het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL) atau tentara Kerajaan Hindia Belanda, di tubuh militer Indonesia.
Berikut ini penjelasan lengkap Agus Sunyoto, seperti disampaikannya pada wawancara dengan Tempo, Kamis 21 Juli 2016. Pemuatan transkrip lengkap wawancara ini juga merupakan koreksi dan hak jawab.
Bagaimana tanggapan Anda soal putusan International People's Tribunal mengenai tragedi 1965?
Putusan itu kan enggak punya kekuatan hukum. Itu juga jauh dari fakta sejarah yg ada di lapangan. Dari sudut pandang sejarah, yang punya peran penting dalam kekerasan 1965 itu Belanda melalui tokoh-tokoh ex-KNIL.
Kenyataan sejarah menunjukkan, sepanjang kemerdekaan lndonesia, unsur ex-KNIL masih dikendalikan Belanda. Sampai saat pembantaian para jenderal-jenderal, yg dibunuh adalah jenderal didikan Jepang dari PETA, Seinendan.
Jadi rekomendasi IPT 1965 itu nggak bisa dijalankan?
Nggak bisa dijalankan karena kekuatan hukumnya tidak ada. Itu harus disikapi seperti reaksi pemeritah Jepang saat menanggapi vonis peradilan internasional yg menghukum Perdana Menteri Tojo sebagai penjahat kemanusiaan (setelah Perang Dunia II). Jepang mengabaikan vonis itu dengan menyatakan bagi bangsa Jepang Tojo adalah pahlawan.
Jadi bagaimana solusi untuk tragedi 1965?
Harus ada pelurusan sejarah yg obyektif. Siapa sejatinya yang bermain di balik peristiwa kekerasan itu? Menurut saya, Belanda yg bermain lewat TNl ex-KNIL. Orde baru yg didominasi ex-KNIL yg bermain. Karena itu, saya tidak sepakat TNI disalahkan karena yg bermain oknum-oknum ex-KNIL.
Artinya, pemerintah nggak perlu minta maaf ya pak?
Enggak perlu. Kalau pemerintah minta maaf, maka pemerintah dituntut untuk memberikan kompensasi ganti rugi. Yang akan membagi dana ganti rugi siapa? Itu bisa dimanfaatkan oleh calo-calo.
Maksudnya, orang-orang yg terlibat dalam IPT 1965 adalah calo?
Bisa saja. Orang-orang yg terlibat dalam IPT bisa dikatakan calo. Dalam kasus tragedi pembantaian Rawagede dan Westerling, dapat jadi contohnya. Berapa kompensasi ganti rugi yg sudah diberikan pemerintah Belanda? Siapa yg mengawasi dan mengaudit penyaluran dana ganti rugi? Apakah dana untuk keluarga korban itu sudah sesuai dengan yg diberikan pemerintah Belanda?
IPT 1965 memutuskan pemerintah Indonesia harus minta maaf dan memberi kompensasi ganti rugi terhadap keluarga korban kekerasan 1965, tapi berapa jumlah kompensasi yg harus diberikan? Dana ganti rugi itu disalurkan lewat mana? Siapa yg menyalurkan? Ada auditing tidak?