kebroAvatar border
TS
kebro
derita pelaut lokal
Bagi yang mempunyai ayah,ibu,kakak,abang,adik,paman,atau kerabat yang bekerja sebagai pelaut tolong bantu di up agar petisi nya supaya cepat sampai ke RI 1

https://www.change.org/p/presiden-jo...t_created=true


Oleh: Rev. Yordan EP Sihombing SH


suarahukum.com - International Transportworker Federation (ITF) yang bermarkas di London menyatakan bahwa profesi sebagai pelaut adalah suatu profesi yang spesial dan tidak sama dengan profesi lainnya di bidang transportasi, termasuk civil aviation. Paling tidak 90% arus barang di dunia menggunakan moda angkutan laut di mana pelaut berperan besar di dalamnya.

Demikian pula di Indonesia, sekitar 80% arus barang di seluruh nusantara menggunakan angkutan laut. Tetapi lihat, bagaimana nasib pelaut kita di dalam negeri sendiri !? Bukan cuma kita yang memiliki pelaut lokal dalam negeri! Singapore, Malaysia, Brunei, Pilipina dan Thailand pun memiliki pelaut lokal seperti kita. Namun, cara menghargai pelaut di sana sangat berbeda dengan di sini, di mana pelaut lokal kita sungguh tidak dihargai sebagaimana mestinya!.

Berbicara gaji, standar gaji pelaut dengan pangkat terendah menurut International Labour Organization (ILO) adalah sekitar 900 USD dan menurut International Transportworker Federation (ITF) adalah 1.200 USD. Berdasarkan ketentuan tersebut, dibuatlah standar gaji untuk pelaut di Asia Tenggara (ITFSEA), sekitar 500 s/d 800 USD untuk pelaut bawahan.

Itulah sebabnya standar gaji di negeri tetangga untuk pelayaran lokalnya berkisar di antara angka-angka tersebut. Tetapi sekarang bandingkan dengan pelaut lokal kita, sungguh-sungguh memprihatinkan. Ada yang bergaji hanya 90 USD (setara dengan 1 juta rupiah), ada yang 150 USD (setara dengan Rp 1.750.000) dan ada yang 200 USD (setara dengan Rp 2 lebih). Bukankah itu merupakan penghinaan bagi pelaut bangsa sendiri ?!.

Bukankah pekerjaan pelaut dengan pangkat terendah sekalipun tidak sama dengan supir? Seorang supir atau pegawai pabrik atau pegawai kantor , tidak dituntut untuk memiliki sertifikat bertaraf Internasional sesuai standar International Maritime Organization (IMO).

Setiap pelaut dengan pangkat apapun dituntut untuk memiliki sertifikat kompetensi sesuai standar IMO. Makin tinggi pangkatnya, makin banyak persyaratan kompetensinya. Dan itu bukan gratis. Melainkan harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Menghina betul kalau ternyata pelaut dibayar sekenanya saja, bahkan sering kali lebih rendah dari buruh pabrik!.

Di satu pihak pemerintah mengharuskan pelaut kita memenuhi standar IMO, tetapi di pihak lain, pemerintah sama-sekali tidak perduli mengenai gaji pelaut. Standar gaji menurut ILO atau menurut ITF atau menurut ITFSEA sama-sekali tidak diberlakukan. Di mana letak strategisnya profesi pelaut sebagai pemutar roda ekonomi di negeri bahari ini?.

Lalu siapa yang harus bertanggung jawab terhadap semua itu? Tentu saja para implementor yang bertugas dalam fungsi pengawasan!. Tanggung jawab bukan terletak pada pelaut dan bukan juga pada pengusaha. Sebab dalam teori kebijakan publik, para pengusaha hanya merupakan kelompok-sasaran (target group) sementara pelaut adalah kelompok penerima manfaat (beneficiaries).

Kebijakan publik mana yang dimaksud ? Sekalipun kita tidak menggunakan standar ILO atau ITF atau ITFSEA, kita mempunyai Mapel (Maklumat Pelayaran) yang dikeluarkan oleh Dirjen Perhubungan Laut yang isinya mengharuskan bahwa untuk pelaut domestik dengan pangkat terendah, penggajiannya tidak boleh lebih rendah dari UMR atau UMK setempat yang sedang diberlakukan.

Sebagai contoh, UMR Surabaya 2016, sekarang Rp.3.021.650. Tetapi lihat, di atas kapal, dengan pekerjaan yang penuh bahaya dan beban moral yang tinggi, banyak pelaut kita yang gajinya Rp. 700 ribu atau Rp. 900 ribu, bahkan sampai Rp 1,5 juta. Bukankah itu menyalahi Mapel?. Bukankah jika pelaut terendah memperoleh minimal Rp.3.021.650/bulan, maka dapat mengatrol gaji bagi mereka yang diatasnya sesuai pangkat dan jabatannya?.

Bukti di lapangan memperlihatkan bahwa seringkali gaji seorang Nakhoda kapal di kapal-kapal lokal Kalimas Surabaya, sama dengan gaji pelaut bawahan di pelayaran local. Memperihatinkan bukan? Menurut saya, itu menghina profesi pelaut!.

Lalu apa jalan keluarnya?, sejak Agustus 2013 di seluruh dunia sudah diberlakukan hasil konvensi MLC 2006 (Maritime Labour Convention 2006) yang menyangkut kenaikan upah dan kesejahteraan pelaut sedunia. Negara tetangga seperti Singapura dan Filipina sudah meratifikasi konvensi tersebut, namun sampai sekarang pemerintah Indonesia belum meratifikasinya.

Presiden KPI (Kesatuan Pelaut Indonesia) Hanafi Rustandi telah mendesak agar pemerintah RI segera meratifikasi konvensi tersebut untuk kepentingan para pelaut Indonesia, baik yang di luar negeri maupun pelaut domestik. Sekiranya pemerintah meratifikasi dan menjalankan ketentuan konvensi tersebut, tentulah pelaut Indonesia terangkat, baik di mata internasional maupun nasional. Paling tidak, sebelum MLC tersebut diberlakukan di Indonesia, sesusungguhnya ketentuan Mapel Dirjenperla dapat diberlakukan.

Bagaimana caranya ? Pertama para birokrat harus melakukan fungsi pengawasan terhadap keharusan pembuatan Perjanjian Kerja Laut (PKL), bagi setiap orang yang akan menjadi awak kapal, sesuai dengan amanh undang-undang . Kedua, dalam pembuatan PKL tersebut harus diperhatikan bahwa upah pelaut dengan pangkat terendah di kapal domestik, tidak boleh lebih rendah dari UMR atau UMK setempat. Itu tidak termasuk makan dan tempat tinggal, sebab KUHD dan KUHPerdata mengatur bahwa makanan dan tempat tinggal pelaut di atas kapal, merupakan kewajiban pengusaha kapal, di luar pengupahannya.

Jika cara inipun tidak dilaksanakan oleh pihak pelaksana di lapangan, apakah masih pantas kita mengaku sebagai Negara bahari? Apakah masih pantas kita menyanyikan lagu “nenek moyangku orang pelaut“?. Sementara para pelaut Indonesia di negeri orang dihargai, di negeri sendiri tidak dihargai bahkan terkesan diekploitasi.

Alangkah menyedihkan suatu profesi yang sertifikasinya berstandar internasional, pengupahannya tidak berstandar internasional, bahkan lebih rendah dari skala upah nasional. Sudah waktunya pemerintah memperhatikan hal ini, karena pelaut kita bukan budak. Mereka adalah pehlawan pemutar roda ekonomi di Negeri kepulauan ini. (*)



Sumber Berita: www.suarahukum.com


Pelaut Indonesia diperbudak bangsa sendiri
Nasib pelaut lokal Indonesia terlalu amat mengharukan ! Pertama , banyak yang bergaji di bawah standar . Terpaksa harus hidup dengan gaji seadanya , ada yang 600 ribu rupiah, 700 ribu rupiah , satu juta rupiah , dan .satu setengah juta rupiah . Kedua, terdapat banyak pelaut Indonesia di kapal lokal yang tidak dilindungi Perjanjian Kerja Laut (PKL) . Ketiga, banyak yang terpaksa berlayar dalam kondisi kapal overdraft mengikuti kemauan pengusaha kapal yang berorentiasi pada keuntungan besar semata

Lalu dimana perhatian pemerintah ? Mungkinkah justru pemerintah bersekongkol dengan pengusaha kapal untuk menyudutkan pelaut demi suatu kepentingan ? Betul-betul mereka mempertaruhkan nyawa buat menghidupi keluarganya . Perhatikan Bab IV bagian Kesembilan paragraph 2 dari UU No.17/2008 Tentang Pelayaran mengenai Tanggung Jawab Pengangkut ( pengusaha kapal ).
Bukankah pasal 40 dan 41 Undang undang tersebut mengatur tanggung-jawab pengusaha kapal terhadap keselamatan muatan dan penumpang , namun sama-sekali tidak menyinggung soal tanggung jawab terhadap keselamatan awak-kapalnya ? Bagi yang memahami kebijakan publik , nyata bahwa UU.No.17/2008 Tentang Pelayaran tersebut dibuat secara top-down , dengan tidak melibatkan awak kapal selaku pelaku kebijakan .

Pertanyaan yang timbul adalah apakah gunanya segala Konvensi Internasional yang mengatur keselamatan pelayaran jika tidak ditaati ? Apa pula gunanya dibentuk Undang Undang jikalau hanya untuk perpustakaan saja ? Sungguh pelaut Indonesia dalam pelayaran lokal telah diperlakukan tidak adil ! Nakhoda diancam hukuman penjara maximal 10 tahun atau denda paling banyak 1,5 milyar rupiah jika memberangkatkan kapal yang tidak layak-laut, salah satunya overdraft dan terjadi kecelakaan , vide pasal 302 UU terkait . Apakah ini tidak melukai perasaan keadilan , jika ia berangkat karena terpaksa dengan mendapat SPB dari Syahbandar ? Awak kapal lainpun terancam bahaya di laut jika kapalnya overdraft ! Hanya orang gila yang berani mengatakan bahwa kapal overdraft tidak mempunyai resiko apa-apa .

Bukankah di dalam pendidikan kepelautan diajar juga tentang keselamatan pelayaran ? Perhatikan ! Selain kapal overdraft, juga terbukti kapal dimuati muatan geladak (on deck cargo) yang melebihi batas , sampai-sampai syarat-syarat muatan geladak dilanggar ! Hanya orang gila yang berani mengatakan bahwa muatan geladak yang menghalangi pandangan dari anjungan terhalang , tidak mempunyai akibat yang signifikan .
Harus diingat bahwa pelaut berada pada pihak yang very very powerless , sangat lemah , sehingga tidak mampu menolak suatu kondisi yang bertentangan dengan hukum , karena mereka butuh makan dan anak-anak mereka butuh sekolah ! Kondisi mereka yang seperti itu seyogjanya tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan apapun , apalagi jika hanya bertujuan untuk kepentingan kelompok tertentu semata .

Pelaut sudah diperlakukan dengan tidak adil , jika Konvensi Internasional tentang STCW 1978 dan amandemennya yang mengharuskan pelaut disertifikasi menurut standar internasional diberlakukan ketat pada pelaut , namun konvensi internasional yang menyangkut gaji, perlindungan hukum dan keselamatannya diabaikan ! Seyogjanya pemerintah turun tangan, supaya aturan ditegakkan dan pelaut tidak diperbudak bangsa sendiri di negeri sendiri .

sumber : http://intelijenpost.com/halkomentar...-bangsa-4.html



Diubah oleh kebro 19-07-2016 04:24
0
14.8K
80
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan