Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Garuda Pancasila dan sejumlah kisah yang melingkunginya

Peserta membentuk kolaborasi bergambar Garuda Pancasila dalam perayaan 100 Tahun Kebangkitan Nasional di Istora Senayan, Jakarta, Selasa, 20 Mei 2008.
Tiap tiba 1 Juni, mereka yang punya ingatan baik akan turut mengenang kelahiran Pancasila. Pun demikian, 71 tahun setelah Soekarno menyampaikan rumusan dasar negara untuk kali pertama dalam pidatonya pada sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), pemerintah yang telah bersilih belum kunjung meresmikannya.

Kondisi itu bakal berubah lewat rencana pemerintahan Joko Widodo untuk menabalkan tanggal ini secara formal sebagai Hari Lahir Pancasila. Dilansir Kompas, Keputusan Presiden mengenai ihwal pengesahan itu akan diumumkan pada Rabu (1/6) dalam sebuah peringatan di Bandung, Jawa Barat.

Di luar perkara pembakuannya sebagai hari resmi nasional, salah satu soal yang masih patut diperbincangkan berkenaan dengan hari kelahiran ini adalah ihwal lambang negara Garuda Pancasila. Pasalnya, sosok yang diyakini menjadi perancang emblem itu lama dilupakan karena dianggap terlibat upaya kudeta Westerling 1950.

Sultan Hamid II, sang juru sketsa Garuda Pancasila, menurut laman ensiklopedia daring Wikipedia, terlahir sebagai Syarif Abdul Hamid Alkadrie pada 12 Juli 1913. Ia sultan kedelapan Pontianak dan menjadi Menteri Negara Kabinet Republik Indonesia Serikat pada Desember 1949 hingga April 1950.

Namanya sebagai perancang lambang ini mencuat setelah Panitia Lembaga Negara yang berada di bawah koordinasi Sultan Hamid II dibentuk pada 10 Januari 1950.

Dalam prosesnya, parlemen dan pemerintah lebih memilih sketsa Abdul Hamid ketimbang rancangan Muhammad Yamin. Desain awal itu diajukan kepada Presiden Soekarno pada 8 Februari 1950.

Tersebab masih terdapat sejumlah anggota tubuh yang masih menyerupai bagian badan manusia, rancangan Garuda pun dikritik oleh Partai Masyumi. Sang Sultan pun menyunting sketsanya. Kali ini, rancangannya lebih banyak mengadopsi bentuk burung elang dan diberi nama Rajawali Garuda Pancasila.

Kala itu, kepala sang Garuda masih belum memiliki jambul. Soekarno kemudian meminta Dullah, pelukis istana, untuk merevisinya. Setelah melewati tahapan itu, Sultan Hamid II pun memberikan sentuhan akhir, yang salah satunya berurusan dengan pewarnaan.

Gambar final pun dapat dideskripsikan seperti termaktub dalam Undang-undang No.24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan: "Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia berbentuk Garuda Pancasila yang kepalanya menoleh lurus ke sebelah kanan, perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda.'

Kenapa garuda dipilih?

[URL="file:///C:/Users/Bona/Downloads/PP_NO_66_1951.PDF"]Penjelasan atas[/URL] Peraturan Pemerintah No.66/1951 mengenai Lambang Negara menjelaskan pada Pasal 1 bahwa "Lukisan garuda diambil dari benda peradaban Indonesia...seperti...tergambar pada beberapa candi sejak abad ke-6 sampai abad ke-16.' Sandaran adopsi itu adalah "mengambil gambaran hewan untuk lambang negara bukanlah barang yang ganjil" seperti misalnya "lambang Republik India.'

Lantas, [URL="file:///C:/Users/Bona/Downloads/PP_NO_66_1951.PDF"]pada Pasal 3[/URL], dijelaskan, "burung garuda...ialah lambang tenaga pembangun...seperti dikenal pada peradaban Indonesia...yang dilukiskan di Candi Dieng, Prambanan, dan Panataran." Pun, "lencana garuda pernah dipakai Prabu Airlangga pada abad kesebelas dengan bernama Garudamukha." Selain itu, "Pergerakan Indonesia Muda (1928) pernah memakai panji-panji sayap garuda yang di tengah-tengahnya berdiri sebilah keris di atas tiga gurisan garis."

[URL="file:///C:/Users/Bona/Downloads/PP_NO_66_1951.PDF"]Di Pasal 4[/URL], terdedahkan bahwa "perisai atau tameng dikenal oleh kebudayaan dan peradaban Indonesia sebagai senjata dalam perjuangan mencapai tujuan dengan melindungi diri Perkakas perjuangan yang sedemikian dijadikan lambang." Dan "dengan mengambil bentuk perisai itu, maka Republik Indonesia berhubungan langsung dengan peradaban Indonesia asli."

[URL="file:///C:/Users/Bona/Downloads/PP_NO_66_1951.PDF"]Pada bagian terakhir[/URL] penjelasan, yakni Pasal 5, "perkataan Bhinneka itu ialah gabungan dua perkataan: bhinna dan ika. Kalimat seluruhnya itu dapat disalin: berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Pepatah ini dalam sekarang artinya, karena menggambarkan persatuan atau kesatuan Nusa dan Bangsa Indonesia, walaupun ke luar memperlihatkan perbedaan atau perlainan. Kalimat itu telah tua dan pernah dipakai oleh pujangga ternama Empu Tantular dalam arti : di antara pusparagam adalah kesatuan."

Garuda sendiri oleh ensiklopedia Britannica menjadi bagian dari mitologi Hindu berupa burung (dalam bentuk layang-layang atau elang) serta tunggangan Dewa Wisnu. Dalam Mahabharata, Garuda identik dengan adik kandung Aruna, sang kusir kereta Dewa Surya. Ibunda sang Garuda, Dewi Winata, diperbudak oleh Dewi Kadru, ibu para naga.

Para naga setuju untuk melepas Dewi Winata jika Garuda sanggup mendapatkan minuman keabadian. Garuda menjalankan aksi itu. Dalam perjalanan kembali, ia bertemu Dewa Wisnu dan sepakat menjadi kusir sekaligus lencananya.

Lalu, apakah nama Sultan Hamid II berhasil diperbaiki?

Laman BBC Indonesia pernah memuat kisah mengenainya. Dan dalam satu bagian laporan, terpacak fakta bahwa setelah reformasi bergulir pada 1998, sejumlah intelektual muda Kota Pontianak, Kalimantan Barat -tempat kelahiran Sultan Hamid II- menggugat yang mereka sebut sebagai kebohongan sejarah.

Anshari Dimyati, yang juga Ketua Yayasan Sultan Hamid II, menyimpulkan Ketua Majelis permusyawaratan negara-negara Federal (BFO) ini tidak bersalah dalam peristiwa Westerling awal 1950.

"Sultan Hamid II memang mempunyai niat untuk melakukan penyerangan dan membunuh tiga dewan Menteri RIS, tapi tidak jadi dilakukan dan penyerangan pun tidak terjadi. Itu yang harus diluruskan," kata Anshari Dimyati kepada BBC Indonesia pada 2015.

Hasil temuan Anshari juga menyimpulkan, bahwa perwira lulusan Akademi militer Belanda itu bukan "dalang" peristiwa APRA di Bandung awal 1950. Menurutnya, peradilan tidak dapat membuktikan dugaan keterlibatan Sultan Hamid dalam kasus itu.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...melingkunginya

---

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
5.7K
4
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan