rockandtrollAvatar border
TS
rockandtroll
Cerita horror: "Bunker"
Intro:
Ane lagi belajar nulis gan, dan bingung mau minta komentar, kritik dan saran kemana. Jadi monggo dibaca emoticon-Big Grin
P.S kalo salah kamar maap, ane delete nanti tritnya emoticon-Stick Out Tongueeace:

Bunker
By: RS

“Jadi,” Elsa bertanya, “Masih jauh nih sampe ‘spot keren’ yang lu bilang?” Ia berjalan sambil mengawasi langkahnya yang kerap terpeleset karena permukaan tanah yang licin. Matanya sesekali melihat lurus ke depan, bersiaga untuk menghalau ranting pohon ataupun jaring laba-laba yang ada di hadapannya. “Dikit lagi kok,” jawab Barry, “Ngomel mulu sih? Percaya deh, keren ini tempatnya.” Masih terengah-engah, Elsa menjawab, “Lo pelan-pelan dong jalannya. Serius capek nih gue.”
“Ya elah, baru juga jalan sejam-an. Tuh villa gue aja masih keliatan,” ujar Barry sambil menunjuk ke arah villa-nya di kejauhan.
“Lagian yakin nih kita ga nyasar? Gue masih pengen beresin skripsi gue woy.”
Barry tertawa, “Hahaha santai kali. Gue sering banget jalan kesini kalo lagi di villa. Enak suasananya.” Jawaban tipikal anak Pecinta Alam, pikir Elsa.
Sambil terus berjalan sesekali Elsa menggaruk leher dan lengannya yang terasa gatal karena gigitan serangga. Ia merasa sangat tidak nyaman berjalan di hutan seperti ini. Bukan ia tidak suka melihat dan merasakan alam terbuka, ia hanya tak terbiasa. “Gue ngomel karena gue capek; Karena badan gue keringetan dan gatel; Karena digigitin apa nih gatau daritadi; karena lo bawa gue jalan, telusurin hutan ke satu tempat yang lo bilang bakal gue suka, tanpa ngasih penjelasan apa-apa tentang tempatnya.” Ia mendesah, “Kalo ternyata tempatnya biasa aja, awas lo ya.” Mendengar ini, Barry tersenyum kecil penuh percaya diri.
Tiba-tiba gemuruh petir menyambar. Sangat kencang, membuat pepohonan bergoyang dan suara gemerisik dedaunan terdengar kencang. Elsa menatap ke atas, awan hitam keunguan mulai berkumpul. Sesekali cahaya kilat muncul di baliknya. Angin pun mulai berhembus kencang. “Mantap. Mantap!” ujarnya. “Makanya yuk jalannya dipercepat, kalo ngoceh mulu mah kapan nyampenya?” kata Barry.
“Bukan ngomel. Kalo keburu ujan, terus gue kebasahan gimana? Gamau sakit nih gue,” timpal Elsa sambil menggerutu. “Udah,” Barry berhenti berjalan, “Lo ga akan kehujanan; lo ga akan sakit.” “Tau darimana? Lo paranormal?” ujar Elsa sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah.
“Soalnya kita udah sampe.”
Elsa melihat ke sekeliling. Tangannya memberi gestur bertanya-tanya. “Apaan? Ga ada apa apa,” tanyanya dengan nada menyindir. “Bener-bener setimpal deh gue jalan daritadi. Liat ga nih? Ini muka excited gue.”
“Lo gitu banget sih El sama gue. Udah berapa lama sih kita temenan?”
“Dari taun pertama kuliah.”
“So, empat taun. Gue pernah bikin lo kecewa selama itu?”
Elsa menghela nafas, “Engga.”
“Nah,” Barry mengamini, “Terus apa yang bikin lo mikir gue bakal bikin lo kecewa sekarang?”
Elsa pun duduk pada sebuah batu sambil menundukkan kepalanya, “Iya, tapi gue ga ngerasa perjalanan dari tadi setimpal hasilnya. Buang-buang waktu ini mah namanya.”
Barry terdiam. Ia membalikkan badan dan lanjut berjalan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Melihat ini, ada perasaan sedikit bersalah di hati Elsa. Ia tahu betul kondisi mental Barry sangat rapuh. Alasan utamanya adalah karena adik Barry, Inka hilang tanpa jejak beberapa tahun lalu. Pihak kepolisian menduga Inka menjadi korban penculikan, hal ini yang membuat Barry merasa gagal sebagai seorang kakak. Ia pun sempat dilanda depresi berat karena hal ini. Kondisinya memburuk setelah tahun lalu kedua orangtuanya meninggal dunia. Elsa tahu benar salah satu alasan mengapa Barry selalu ingin berada di dekatnya adalah karena ia rindu sosok keluarga.
Elsa pun beranjak menyusul langkah Barry. Dengan nafas yang masih terengah, ia mendekati Barry. “Gue keterlaluan ya? Sorry, ga maksud ko gue ngomong gitu. Karena kecapean doang.” Sambil menunduk, Barry menjawab, “Ga apa apa kok El, gue ngerti.” Elsa pun tersenyum mendengar hal ini.
TIba-tiba langkah Barry terhenti di depan sebuah tumpukan ranting dan dedaunan. Ia menjulurkan tangannya ke arah tumpukan tersebut, “Nih.”
Elsa tertawa kecil, “Ini? Tumpukan ranting sama daun?” Nada suaranya terdengar agak sinis.
“Bukaaan. Tapi…” Barry menurunkan ransel bawaannya dan berjongkok. Sedikit demi sedikit ia menyingkirkan ranting dan dedaunan dari tumpukan tersebut, hingga akhirnya… “Ini.” Terdapat sebuah pintu bundar dengan handle besi yang cukup besar di permukaan tanah.
“Anjir, apaan nih?” Tanya Elsa keheranan. “Jadi gini,” Barry menjelaskan, “Di daerah sini tuh emang ada mitos yang bilang kalo di hutan ini ada bunker yang dulu dipake waktu jaman Belanda. Gue juga dulu kira itu cuma boong doang, soalnya ga ada yang tau lokasi pastinya dimana. Sampe akhirnya gue nemu lah pintu ini.” Elsa terdiam sejenak, “Terus, lo pernah masuk ke dalem?”
“Engga, keburu takut duluan hahaha,” ia tertawa, “Pernah gue coba buka pintunya, dan ternyata bisa. Gue penasaran isinya gimana, makanya gue ajak lo, anggota klub Paranormal Photography, buat explore tempat ini.”
Elsa pun mulai tersenyum lebar. “Gila lo Baaaaaar! Ngerti banget selera gue kaya gimana!” Ia mulai mengeluarkan kamera yang daritadi tergantung di lehernya. “Gue bakal jadi hot topic nih nanti di kampus kalo gue dapet foto bagus dari sini. Ingetin gue buat traktir lo Starbucks ya nanti kalo udah balik!” Ia tampak sangat antusias. Barry pun tersenyum mendengar kata-kata tersebut.
Elsa mulai mondar-mandir, mencari angle yang bagus untuk mengambil foto pintu tersebut. Dari lensa kameranya, ia berusaha untuk membuat pintu penuh karat dan lumut itu tampak lebih hidup. Memanfaatkan pemandangan hutan dan pepohonan di sampingnya, dengan jeli ia mengabadikan momen tersebut dalam potret.
“Jadiiiii, masuk ga nih?” tanya Barry.
“Lo gila? Kapan lagi gue dapet spot baru kaya gini buat dijepret sendiri? Masuk lah!” jawab Elsa dengan penuh semangat.
Barry pun tersenyum kecil. Perlahan ia membuka pintu tersebut. Suara besi berdecit terdengar tiap kali ia memutar gagang pintu itu. Rasa antusias Elsa semakin membesar.
Ketika pintu akhirnya terbuka, udara dingin langsung terhembus dari dalam. Elsa mengintip ke bawah. Terlihat sebuah tangga yang ujungnya tak nampak karena terlalu gelap. Ia pun merogoh ke dalam ranselnya dan mengambil sebuah senter. Ia soroti dasar lubang tersebut dengan cahaya senter. Ternyata tidak terlalu dalam. “Yuk Bar,” ajak Elsa, “Cek dulu senter lo.”
Dengan berhati-hati, Elsa menginjakkan kakinya pada anak tangga. Tangga tersebut sudah sangat berkarat, kalau tidak hati-hati bisa ambruk, pikirnya. Ia terus menginjak turun sambil menggigit senter di mulutnya. Barry baru selesai mengecek senternya, ia pun mulai turun.
Sesampainya di dasar tangga, Elsa menyoroti keadaan sekitar dengan senter. Lantai dan dinding terbuat dari semen, sangat lembab karena suhu udara bawah tanah. Beberapa kubangan air terlihat di lantai, mungkin merembes dari tanah di sekeliling bunker. Di kejauhan terdengar suara tetes air. Pipa di langit-langit lorong berbentuk bundar tersebut sudah terlihat sangat rusak. Setiap suara yang dihasilkan oleh gerakan Elsa terpantul kembali, membuat efek gema dan keheningan sangat terasa. Udara di sana sangat dingin, namun atmosfirnya terasa hangat. Seakan-akan ada yang hidup di bawah sini.
Tiba-tiba, suara sesuatu terjatuh membuat Elsa terkaget. Barry melompat turun dari tangga, menciptakan suara yang membuatnya terkejut. “Gila lo. Mau bikin gue serangan jantung apa?” Barry tersenyum menahan tawa, “Hehe sorry..”
“Ini tempat pernah ada yang nelusurin ga sih Bar?”, tanya Elsa sambil kembali mengamati sekitar dengan senter di tangannya.
“Gatau deh. Tapi setau gue warga sini nganggep bunker ini tuh angker. Cuma bisa ketemu sama orang yang sial.”
Ia menambahkan, “Jadi mitosnya tempat ini tuh dulu jadi shelter-nya kompeni waktu jaman perang. Banyak prajurit mereka yang mati disini terus gentayangan deh setan-setannya.”
Elsa menyinyir, ”Tiap tempat pasti aja ceritanya sama. Prajurit mati, pasien mati, korban perang, orang gila. Ga ada apa satu tempat yang digentayangin sama setan sopir angkot?” ujarnya sinis.
Ia pun menyalakan kamera dan mulai mengabadikan foto dengan bantuan lampu blitz. Barry menyoroti sudut-sudut lorong untuk mengamati. Tiba-tiba, terdengar suara dentuman besi dari atas kepala mereka. Tersontak kaget, keduanya melihat ke atas. Tak ada cahaya terlihat. Pintu masuk tertutup.
Sontak rasa panik menyambar. “Kok ketutup Bar?”
“Mana gue tau..”
“Bisa dibuka dari dalem ga itu?” nada suara Elsa mulai bergetar.
Barry terdiam.
“Bar!” bentak Elsa sambil menepuk pundaknya, “Periksa lah!”
Dengan ekspresi wajah yang kebingungan, Barry menggangguk pelan. Ia memanjat tangga perlahan dengan tangannya yang sedikit gemetar. Dari bawah Elsa menyorot tujuan Barry. Beberapa saat kemudian, Barry telah sampai di puncak tangga.
“Gimana?”
“Bentar. bentar,” terlihat tangannya berusaha mendorong pintu tersebut ke arah atas.
Rasa panik mulai dirasakan oleh Elsa. Barry masih berusaha membuka pintu tersebut.
Beberapa saat kemudian, suara decit pun terdengar. Pintu masuk terbuka.
Keduanya menghela nafas lega. Dari atas, Barry berseru, “Kaget ya lo? Hahahaha.”
“Alah sendirinya juga pucet gitu tadi.” Balas Elsa, masih merasa sedikit kaget. Mereka mulai tertawa. Barry menuruni tangga kembali.
“Yuk lah explore. Pengen balik gue, laper.” ujar Barry.
Mereka mulai berjalan ke arah dalam bunker sambil berusaha melihat sekelilingnya. Sesekali Elsa berhenti mengambil gambar untuk diabadikan. Tak terasa waktu berlalu, semakin jauh mereka melangkah ke dalam. Beberapa kali mereka menemukan persimpangan di lorong tersebut. Tak mau ambil pusing, mereka selalu berjalan tanpa pertimbangan akan arah.
Beberapa saat kemudian, Barry menyoroti ke arah jauh ketika ia melihat sesuatu.
“Apaan tuh El?” tanyanya.
“Apa?”
“Tuh di pojokan.”
Mereka pun bergegas mendekati objek tersebut. Sebuah buku dengan sampul berwarna coklat, kertasnya sudah menguning.
Elsa mengambil buku tersebut dan membuka tiap halamannya. Hanya coretan tidak beraturan di setiap halaman. “Buku siapa ini?” Elsa keheranan. “Lah mana gue tau..” ujar Barry.
Elsa masih merasa penasaran. Satu persatu halaman ia buka, namun tak ada tulisan. Hanya coretan dimana mana. “Ada pulpen ga?” tanya Elsa. Barry merogoh ke dalam ransel dan memberikan pulpen kepada Elsa. Di halaman pertama, Elsa menuliskan: Elsa was Here. “Biar nanti kalo ada yang nemu, mereka berasa nemu prasasti gitu. Hahahaha,” jelasnya sambil tertawa.
Barry melihat jam tangannya, “Jir udah setengah jam nih. Ayo lah balik.”
“Yuk,” Elsa meletakkan buku tersebut di lantai dan mulai berjalan di samping Barry.
Beberapa saat mereka berjalan, melewati berbagai persimpangan di lorong. “Ini kita ga nyasar nih Bar? Daritadi gue ga merhatiin kita belok kemana.”
“Gue inget kok. Santai aja.”
“Lagian kok banyak banget persimpangan ya?”
“Namanya juga bunker El. Jadi kalo ada orang yang ga diinginkan masuk kan bisa dibikin nyasar gitu.”
“Lah, kita kan orang yang ga diinginkan juga Bar.”
Barry meliat ke arah Elsa, “Kok jadi penakut gitu sih? Hahaha santai, gue inget kok jalannya.”
Mulai ada rasa ragu di hati Elsa. Mungkin Barry cuma tidak ingin membuat panik. Mungkin sebenarnya ia pun kebingungan.
Saat itulah Elsa mendengar sesuatu. Suara tangis di kejauhan. Ia pun menghentikan langkahnya, “Lo denger ga Bar?” ujarnya sambil melihat ke arah belakang. “Apaan?” Barry berhenti berjalan.
“Kaya ada suara nangis.”
“Hah? Ga ada ah.”
“Ada Bar barusan. Masa ga kedenger sih?”
“Jangan bikin parno dong El. Perasaan lo doang kali.”
Barry benar, pikir Elsa. Tak ada manfaatnya menciptakan rasa panik sekarang. Mungkin yang terdengar tadi memang hanya imajinasinya. “Yaudah yuk lanjut.” Dalam hatinya, ia tahu. Suara tadi nyata.
Mereka lanjut berjalan beberapa saat. Semakin lama udara dingin semakin terasa. Suara langkah kaki yang dipantulkan gema ruangan lama-lama membuat perasaan menjadi tak nyaman.
Langkah Elsa terhenti. Sebuah benda tersorot oleh sinar senternya di kejauhan. Ia berjalan mendekati benda tersebut yang tergeletak di lantai.
Buku. Buku dengan sampul coklat, dengan kertasnya yang sudah menguning. Seketika bulu kuduk Elsa berdiri. Dengan tangan gemetar ia membuka buku tersebut.
Elsa was Here.


Continued to post #3
Diubah oleh rockandtroll 29-05-2016 07:21
0
3.3K
27
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan