- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Menelusuri Desa Kanekes, Budaya Unik suku Baduy di Banten
TS
ajikomara
Menelusuri Desa Kanekes, Budaya Unik suku Baduy di Banten
WELCOME TO MY THREAD
Quote:
Semoga ga repost gan & thread ane bisa ngehibur agan semua
Quote:
Suara angin, kicauan burung dan deburan aliran sungai berbisik dan menyapa dalam kemurnian suatu tempat yang damai dan hijau. Banyak kearifan lokal yang dapat kalian peroleh di Desa Kanekes, sebuah pelajaran yang sangat berarti mengingatkan kita pada jati diri leluhur salah satu suku tua di Nusantara yang masih hidup dengan cara tradisional. Menelusuri Desa Kanekes, Budaya Unik suku Baduy di Banten
Coba deh lupakan ponsel dan alat elektronik lainnya saat kalian berkunjung ke Desa Kanekes atau lebih populer dengan sebutan Desa Baduy di Banten. Tidak adanya listrik, bahkan sinyal pun sulit didapat. Sebaiknya lupakan itu semua, coba kalian tatap alam sekitar dan dengerin suara-suara alam. Disinilah kalian bisa rasakan kehidupan masalalu sebelum memasuki sebuah zaman dari akibat revolusi industri yang menguasai dunia.
Desa Baduy, terletak di perbukitan Gunung Kendeng, sekitar 75 kilometer arah selatan Rangkasbitung, Banten. Ini merupakan tempat yang tepat untuk Kalian yang ingin merasakan ketenangan yang jarang ditemukan di kota besar. Bagi Kalian yang memiliki naluri berpetualang mungkin akan merasakan trekking di desa Baduy sangat memukau. Kehidupan keseharian masyarakat Baduy yang memegang teguh adat istiadat merupakan daya tarik tersendiri untuk kalian yang berminat menelusuri budaya unik kearifan lokal yang luar biasa ini.
Diperkirakan akhir abad ke-18 wilayah Baduy ini terbentang mulai dari kecamatan Leuwidamar sekarang sampai ke Pantai Selatan. Sekarang luas wilayah Baduy ini sekitar 5102 hektar. Batas wilayah sekarang ini dibuat pada permulaan abad ke-20 bersamaan dengan pembukaan perkebunan karet di desa Leuwidamar dan sekitarnya.
Suku Baduy sering disebut urang Kanekes. Baduy sebetulnya bukanlah nama dari komunitas yang ada di desa ini. Nama tersebut menjadi melekat karena diberikan oleh peneliti Belanda yang menyamakan mereka dengan Badawi atau Bedoin Arab yang merupakan masyarakat nomaden atau berpindah-pindah. Dari Badawi atau Bedoin, kemudian nama itu pun bergeser menjadi Baduy. Orang Baduy, karena bermukim di Desa Kanekes, sebenarnya lebih tepat disebut sebagai Orang Kanekes. Namun karena istilah “Baduy” terlanjur lebih dulu dikenal, maka nama “Baduy” lebih populer ketimbang “Orang Kanekes”.
Desa ini berada sekitar 38 km dari ibu kota Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, atau sekitar 120 km dari Jakarta. Desa Kanekes memiliki 56 kampung Baduy. Orang Baduy Dalam tinggal di Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo. Sedangkan orang Baduy Luar tinggal di 53 kampung lainnya. Kampung Baduy Luar sering disebut kampung panamping atau pendamping, yang berfungsi menjaga Baduy Dalam.
Pakaian Keseharian Suku Baduy
Coba deh lupakan ponsel dan alat elektronik lainnya saat kalian berkunjung ke Desa Kanekes atau lebih populer dengan sebutan Desa Baduy di Banten. Tidak adanya listrik, bahkan sinyal pun sulit didapat. Sebaiknya lupakan itu semua, coba kalian tatap alam sekitar dan dengerin suara-suara alam. Disinilah kalian bisa rasakan kehidupan masalalu sebelum memasuki sebuah zaman dari akibat revolusi industri yang menguasai dunia.
Desa Baduy, terletak di perbukitan Gunung Kendeng, sekitar 75 kilometer arah selatan Rangkasbitung, Banten. Ini merupakan tempat yang tepat untuk Kalian yang ingin merasakan ketenangan yang jarang ditemukan di kota besar. Bagi Kalian yang memiliki naluri berpetualang mungkin akan merasakan trekking di desa Baduy sangat memukau. Kehidupan keseharian masyarakat Baduy yang memegang teguh adat istiadat merupakan daya tarik tersendiri untuk kalian yang berminat menelusuri budaya unik kearifan lokal yang luar biasa ini.
Diperkirakan akhir abad ke-18 wilayah Baduy ini terbentang mulai dari kecamatan Leuwidamar sekarang sampai ke Pantai Selatan. Sekarang luas wilayah Baduy ini sekitar 5102 hektar. Batas wilayah sekarang ini dibuat pada permulaan abad ke-20 bersamaan dengan pembukaan perkebunan karet di desa Leuwidamar dan sekitarnya.
Suku Baduy sering disebut urang Kanekes. Baduy sebetulnya bukanlah nama dari komunitas yang ada di desa ini. Nama tersebut menjadi melekat karena diberikan oleh peneliti Belanda yang menyamakan mereka dengan Badawi atau Bedoin Arab yang merupakan masyarakat nomaden atau berpindah-pindah. Dari Badawi atau Bedoin, kemudian nama itu pun bergeser menjadi Baduy. Orang Baduy, karena bermukim di Desa Kanekes, sebenarnya lebih tepat disebut sebagai Orang Kanekes. Namun karena istilah “Baduy” terlanjur lebih dulu dikenal, maka nama “Baduy” lebih populer ketimbang “Orang Kanekes”.
Desa ini berada sekitar 38 km dari ibu kota Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, atau sekitar 120 km dari Jakarta. Desa Kanekes memiliki 56 kampung Baduy. Orang Baduy Dalam tinggal di Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo. Sedangkan orang Baduy Luar tinggal di 53 kampung lainnya. Kampung Baduy Luar sering disebut kampung panamping atau pendamping, yang berfungsi menjaga Baduy Dalam.
Pakaian Keseharian Suku Baduy
Quote:
Keseharian kaum lelaki Baduy menggunakan ikat kepala putih. Kecuali puun atau pemimpin adat, para lelaki menggunakan baju hitam dan sarung selutut berwarna biru tua bercorak kotak-kotak. Kaum perempuan menggunakan sarung batik biru, kemben biru, baju luar putih berlengan panjang. Gadis-gadis menggunakan gelang dan kalung dari manik.
Suku Baduy Dalam, mereka setia berjalan kaki dalam melakukan perjalanan, mengedepankan kejujuran, menolak mencemari lingkungan (tanah dan air), dan tidak merokok. Baduy Dalam menerapkan adat lebih ketat dibandingkan dengan Baduy Luar. Salah satu perbedaannya, warga Baduy Luar diperbolehkan berkendaraan. Baduy Dalam hidup dengan aturan adat yang ketat.
Di Baduy Dalam, pikukuh atau aturan adat adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. Hal ini berbeda dengan Baduy Luar. Dalam hal makanan, orang Baduy tergolong sangat fanatik. Mereka tidak akan menyantap jenis makanan yang tidak dimakan nenek moyang mereka juga tidak akan melakukan kebiasaan yang dulunya tidak pernah dilakukan nenek moyang mereka. Kebiasaan mandi tidak menggunakan sabun masih berlangsung hingga saat ini. Tidak memakai sabun mandi bukan berarti mereka tidak punya uang, tetapi benar-benar demi mengikuti kebiasaan orang tua mereka. Kalau ada warga Baduy yang coba-coba memakai sabun saat mandi dan sampai ketahuan, pasti mendapat teguran keras. Teguran ini bisa berujung pada pemecatan sebagai warga Baduy Dalam.
Menurut kepercayaan orang Kanekes mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Kepercayaan orang Baduy adalah penghormatan pada roh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa yang dinamakan Nu Kawasa. Keyakinan mereka sering disebut dengan Sunda Wiwitan. Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh (aturan adat) agar orang hidup menurut alur itu dan menyejahterakan kehidupan Baduy dan dunia. Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari. Isi terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apa pun”, atau perubahan sesedikit mungkin.
Di kawasan Baduy Dalam, ada tiga kampung yang masing-masing dikepalai oleh seorang kepala suku atau yang disebut Puun dan wakilnya yang disebut Jaro. Ketiganya adalah kampung Cibeo, Cikesik, dan Cikertawana. Masing-masing Puun ini memiliki peran yang berbeda. Puun Cibeo mengurusi pertanian, Puun Cikesik mengurusi keagamaan, dan Puun Cikertawana bertanggung jawab dalam hal kesehatan atau obat-obatan. Tanggung jawab ini berlaku secara kolektif untuk ketiga kampung tersebut.
Pemda Lebak sejak tahun 1990 menyatakan bahwa kawasan masyarakat Baduy merupakan cagar budaya. Mereka tetap mempertahankan warisan leluhurnya yang merupakan aset nasional yang harus harus dijaga. Hal itu dikukuhkan dengan Peraturan Daerah nomor 13/1990. Dengan demikian hutan dan sungai tetap terjaga kelestariannya. Menurut Kepala Desa Kanekes Jaro Daerah, suku Baduy menempati areal tanah seluas 5.101 ha, yang terbagi dalam 53 kampung. Tiga kampung ditempati oleh Baduy Dalam masing-masing kampung bernama Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo, sedangkan sisanya ditempati oleh Baduy Luar. Suku-suku Baduy tersebut bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.
Suku Baduy Dalam, mereka setia berjalan kaki dalam melakukan perjalanan, mengedepankan kejujuran, menolak mencemari lingkungan (tanah dan air), dan tidak merokok. Baduy Dalam menerapkan adat lebih ketat dibandingkan dengan Baduy Luar. Salah satu perbedaannya, warga Baduy Luar diperbolehkan berkendaraan. Baduy Dalam hidup dengan aturan adat yang ketat.
Di Baduy Dalam, pikukuh atau aturan adat adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. Hal ini berbeda dengan Baduy Luar. Dalam hal makanan, orang Baduy tergolong sangat fanatik. Mereka tidak akan menyantap jenis makanan yang tidak dimakan nenek moyang mereka juga tidak akan melakukan kebiasaan yang dulunya tidak pernah dilakukan nenek moyang mereka. Kebiasaan mandi tidak menggunakan sabun masih berlangsung hingga saat ini. Tidak memakai sabun mandi bukan berarti mereka tidak punya uang, tetapi benar-benar demi mengikuti kebiasaan orang tua mereka. Kalau ada warga Baduy yang coba-coba memakai sabun saat mandi dan sampai ketahuan, pasti mendapat teguran keras. Teguran ini bisa berujung pada pemecatan sebagai warga Baduy Dalam.
Menurut kepercayaan orang Kanekes mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Kepercayaan orang Baduy adalah penghormatan pada roh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa yang dinamakan Nu Kawasa. Keyakinan mereka sering disebut dengan Sunda Wiwitan. Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh (aturan adat) agar orang hidup menurut alur itu dan menyejahterakan kehidupan Baduy dan dunia. Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari. Isi terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apa pun”, atau perubahan sesedikit mungkin.
Di kawasan Baduy Dalam, ada tiga kampung yang masing-masing dikepalai oleh seorang kepala suku atau yang disebut Puun dan wakilnya yang disebut Jaro. Ketiganya adalah kampung Cibeo, Cikesik, dan Cikertawana. Masing-masing Puun ini memiliki peran yang berbeda. Puun Cibeo mengurusi pertanian, Puun Cikesik mengurusi keagamaan, dan Puun Cikertawana bertanggung jawab dalam hal kesehatan atau obat-obatan. Tanggung jawab ini berlaku secara kolektif untuk ketiga kampung tersebut.
Pemda Lebak sejak tahun 1990 menyatakan bahwa kawasan masyarakat Baduy merupakan cagar budaya. Mereka tetap mempertahankan warisan leluhurnya yang merupakan aset nasional yang harus harus dijaga. Hal itu dikukuhkan dengan Peraturan Daerah nomor 13/1990. Dengan demikian hutan dan sungai tetap terjaga kelestariannya. Menurut Kepala Desa Kanekes Jaro Daerah, suku Baduy menempati areal tanah seluas 5.101 ha, yang terbagi dalam 53 kampung. Tiga kampung ditempati oleh Baduy Dalam masing-masing kampung bernama Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo, sedangkan sisanya ditempati oleh Baduy Luar. Suku-suku Baduy tersebut bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.
Quote:
Makasih gan udah mampir di Thread ane
Spoiler for Info & Saran Dari Agan di Bawah:
Quote:
Original Posted By madishop.com► pernah ane gan kesini
desanya bener" msh asri (dibaduy dalam)
ada sungai jernih bener gan (krn orang sono mandi ga pake sabun, kita pengunjung jg dilarang mandi pake sabun )
trs klo malam udaranya sejuk
klo pagi kisaran jam 3-5 pagi udaranya dingin bener
dan anehnya klo mlm itu ga ada nyamuk gan (padahal belakangnya hutan")
setiap rumah ga ada toiletnya klo mau buang air musti ke sungai
orang baduy paling demen/suka sama ikan asin (makanya klo kesana agan bawa deh ikan asin ), trs saran dari ane klo mau kesana jgn pas musim hujan ya licin jalan menuju ke desanya
trs barang" bawaannya jg jgn banyak" bisa cape soalnya naik turun gt jalanannya
desanya bener" msh asri (dibaduy dalam)
ada sungai jernih bener gan (krn orang sono mandi ga pake sabun, kita pengunjung jg dilarang mandi pake sabun )
trs klo malam udaranya sejuk
klo pagi kisaran jam 3-5 pagi udaranya dingin bener
dan anehnya klo mlm itu ga ada nyamuk gan (padahal belakangnya hutan")
setiap rumah ga ada toiletnya klo mau buang air musti ke sungai
orang baduy paling demen/suka sama ikan asin (makanya klo kesana agan bawa deh ikan asin ), trs saran dari ane klo mau kesana jgn pas musim hujan ya licin jalan menuju ke desanya
trs barang" bawaannya jg jgn banyak" bisa cape soalnya naik turun gt jalanannya
Diubah oleh ajikomara 12-05-2016 07:02
0
5.3K
Kutip
27
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan