Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

vierna.ansAvatar border
TS
vierna.ans
Rangkuman Kasus Hukum Yang “Tak Pernah Selesai”
Meski disebutkan bahwa status semua orang sama di depan hukum, praktiknya tak selalu sesuai dengan norma ideal itu. Banyak kasus yang melibatkan nama-nama orang berpengaruh menjadi polemik karena seolah memunculkan perlakuan yang berbeda atau berbagai ganjalan dalam proses penegakan hukum atas kasus tersebut.

Berikut adalah beberapa kasus yang tak pernah tuntas penyelesaiannya, atau setidaknya masih menyisakan pertanyaan besar tentang siapa sebenarnya yang bersalah dan selayaknya dihukum. Daftar rangkuman kasus-kasus ini menjadi gambaran bahwa penegakan hukum adalah proses yang rumit, dan penegakan hukum masih menjadi salah satu tantangan terbesar menuju kemajuan bangsa ini.

Kasus Pemerkosaan Sum Kuning (1970)
Kasus ini menimpa seorang gadis muda bernama Sumarijem, penjual telur dari Godean Yogyakarta yang dirudapaksa oleh segerombolan pemuda yang diduga adalah anak pejabat dan orang terpandang di kota Yogyakarta kala itu. Kasus ini merebak menjadi berita besar ketika pihak penegak hukum terkesan mengalami kesulitan untuk membongkar kasus ini.

Menurut Kapolri saat itu, Jendal Polisi Hoegeng Imam Santoso atau Hoegeng, para pelaku pemerkosaan adalah anak-anak pejabat dan salah seorang diantaranya adalah anak seorang pahlawan revolusi. Dalam bukunya disebutkan bahwa Sum Kuning ditinggalkan ditepi jalan, gadis malang ini pun melapor ke polisi. Bukannya dibantu, Sum malah dijadikan tersangka dengan tuduhan membuat laporan palsu. Dalam pengakuannya kepada wartawan, Sum mengaku disuruh mengakui cerita yang berbeda dari versi sebelumnya.

Kasus Sum disidangkan di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Sidang perdana yang ganjil ini tertutup untuk wartawan. Belakangan polisi menghadirkan penjual bakso bernama Trimo yang disebut sebagai pemerkosa Sum. Dalam persidangan Trimo menolak mentah-mentah tuduhan itu.

Dalam putusan, Hakim Ketua Lamijah Moeljarto menyatakan Sum tak terbukti memberikan keterangan palsu. Karena itu Sum harus dibebaskan. Dalam putusan hakim dibeberkan pula nestapa Sum selama ditahan polisi. Dianiaya, tak diberi obat saat sakit dan dipaksa mengakui berhubungan badan dengan Trimo, sang penjual bakso. Hakim juga membeberkan Trimo yang mengaku dianiaya saat diperiksa polisi.

Hoegeng membentuk tim khusus untuk menangani kasus ini. Namanya ‘Tim Pemeriksa Sum Kuning’, pada Januari 1971. Kasus Sum Kuning pun terus membesar seperti bola salju. Sejumlah pejabat yang anaknya disebut terlibat, membantah lewat media massa. Belakangan Presiden Soeharto sampai turun tangan menghentikan kasus Sum Kuning. Dalam pertemuan di istana, Soeharto memerintahkan kasus ini ditangani oleh Team pemeriksa Pusat Kopkamtib. Kopkamtib adalah lembaga negara yang menangani masalah politik luar biasa. Masalah keamanan yang dianggap membahayakan negara.

Polisi kemudian mengumumkan pemerkosa Sum berjumlah 10 orang. Semuanya anak orang biasa, bukan anak penggede alias pejabat negara. Namun semua terdakwa pemerkosaan membantah melakukan pemerkosaan ini. Mereka bersumpah rela mati jika benar memerkosa.

Tanggal 2 Oktober 1971, Hoegeng dipensiunkan sebagai Kapolri. Beberapa pihak menilai Hoegeng sengaja dipensiunkan untuk menutup kasus ini.

Kasus Pembunuhan Marsinah (1993)
Kasus bermula saat terbit surat edaran Gubernur Jawa Timur No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan agar pengusaha menaikkan gaji sebesar 20 persen dari gaji pokok. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. CPS Porong membahas Surat Edaran itu tanpa memberikan kenaikan gaji. Keputusan perusahaan berujung unjuk rasa pada tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.

Siang hari tanggal 5 Mei, 13 buruh yang dianggap sebagai penggerak unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari PT. CPS. Marsinah mendatangi dan menanyakan keberadaan rekan-rekannya itu ke pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Mulai tanggal 6,7,8, Mei, keberadaan Marsinah tidak diketahui sampai akhirnya ditemukan tewas pada tanggal 8 Mei 1993.

Kemudian dibentuk Tim Terpadu untuk menyelidiki kasus ini. Tim kemudian menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Diantara 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah pemilik dan staff PT. CPS dan Anggota TNI. Meski sempat terjadi pengadilan dan penjatuhan vonis kepada para tersangka, dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan ini menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah “direkayasa”. Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal sebagai “Kasus 1713”. Hingga kini kasus Marsinah tetap menjadi misteri dan menjadi sejarah kelam ranah hukum di Indonesia.

Kasus Pembunuhan Udin (1996)
Fuad Muhammad Safrudin atau dikenal dengan panggilan Udin, adalah seorang wartawan Harian Bernas Yogyakarta yang tewas terbunuh. Pada Selasa malam 13 Agustus 1996 seorang tamu misterius menganiyaya dirinya, akibat penganiayaan ini Udin meninggal 3 hari kemudian pada tanggal 16 Agustus 1996. Udin tercatat sebagai seorang wartawan yang kritis terhadap kebijakan pemerintah.

Kasus Udin menjadi gelap karena hilangnya beberapa bukti penting dalam pengungkapan kasus dan juga terdapat beberapa orang yang dikambing-hitamkan atas peristiwa kematian Udin. Diantaranya seorang wanita bernama Tri Sumaryani mengaku ditawari imbalan uang untuk mengaku bahwa ia telah melakukan hubungan gelap dengan Udin dan suaminyalah yang telah membunuh Udin. Lalu ada juga Dwi Sumaji alias Iwik, supir yang mengaku menjadi bagian rekayasa agar mengaku sebagai pembunuh Udin.

Di pengadilan Iwik mencabut seluruh “pengakuan” dirinya dan menyatakan bahwa ia adalah korban rekayasa dan berada dibawah ancaman. Komnas HAM menyimpulkan adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia namun tetap saja Iwik dijadikan sebagai tersangka utama dan diajukan ke persidangan. Akhirnya Iwik divonis bebas dan motif perselingkuhan yang selama ini dihembuskan secara otomatis gugur.

Dalam kesaksiannya di persidangan Iwik menyatakan bahwa dirinya selain menjadi korban rekayasa Serma Pol Edy Wuryanto untuk melindungi kepentingan Bupati Bantul, Sri Roso Sudarmo. Namun hingga kini tak jelas siapa pelaku pembunuhan, usai kesaksian Iwik tidak ada yang ditangkap atau diadili.

Kasus Korupsi Edy Tansil (1996)

Edy Tansil adalah seorang pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa yang memiliki nama asli Tan Tjoe Hong/Tan Tju Fuan yang menjadi narapidana dan harus mendekam selama 20 tahun di penjara Cipinang atas kasus kredit macet Bank Bapindo yang merugikan negara senilai 565 juta dollar (1.5 T rupiah dengan kurs dollar saat itu). Edy Tansil kabur dari penjara pada tanggal 4 Mei 1996 dan 20 petugas LP Cipinang dijadikan tersangka karena dianggap membantu Edy Tansil melarikan diri, dan sejak itu keberadaan dari Edy Tansil seperti raib ditelan bumi.

LSM Gempita melaporkan bahwa setelah kabur Edy Tansil menjalankan bisnis perusahaan bir dengan lisensi perusahaan bir Jerman bernama Becks Beer Company di kota Pu Tian Provinsi Fujian China. Di tahun 2007 Tempo Interactive melaporkan bahwa tim pemburu koruptor (TPK) berdasarkan temuan dari PPATK menyatakan akan segera memburu Edy Tansil dimana PPATK menemukan bukti bahwa buronan tersebut telah melakukan transfer uang ke Indonesia setahun sebelumnya. Namun hingga kini keberadaan Edy Tansil masih tetap menjadi misteri.

Kasus Hilangnya 13 Aktifis Reformasi (1998)
Menjelang Reformasi di tahun 1998, ada sekitar 13 orang aktivis yang diculik dan hingga kini keberadaan mereka masih menjadi misteri. Mereka adalah Yanni Afri, Sonny, Herman Hendrawan, Dedy Umar, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Ucok Munandar Siahaan, Petrus Bima Anugerah, Widji Tukul, Hendra Hambali, Yadin Muhidin dan Abdun Nasser.

Pasukan Kopassus dari Tim Mawar dianggap bertanggung jawab atas peristiwa menghilangnya ke-13 aktivis tersebut. Dimana ada 24 orang yang diculik namun 9 orang dibebaskan yakni Aan Rusdiyanto, Andi Arief, Desmon J Mahesa, Faisol Reza, Haryanto Taslam, Mugiyanto, Nezar Patria, Pius Lustrilanang dan Raharja Waluya Jati. Sementara satu orang lagi yakni Leonardus Nugroho (Gilang) yang sempat dinyatakan hilang, ditemukan telah meninggal dunia di Magetan 3 hari kemudian dengan luka tembak di kepalanya.

Karena kasus ini sempat membuat heboh, dan atas desakan berbagai pihak didalam maupun luar negri pada tanggal 3 Agustus 1998 Panglima ABRI saat itu, Jenderal Wiranto membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang diketuai oleh Jenderal TNI Soebagyo HS yang saat itu menjabat sebagai KSAD. Pada tanggal 24 Agustus 1998 Letnan Jendral Prabowo Subianto selaku Panglima Komando Cadangan Strategis (Pangkostrad) diberhentikan dari dinas kemiliteran. Sebelas anggota Kopassus diadili secara militer. Hasil pemeriksaan DKP yang menyatakan bahwa Letjen Prabowo bertanggung jawab atas penculikan itu, karena itulah akhirnya ia dipensiunkan.

Kasus Dugaan Korupsi Mantan Presiden Soeharto (1999)
Kasus ini menyangkut penggunaan uang negara oleh 7 buah yayasan yang diketuai mantan Presiden Soeharto. Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung sejak tahun 1999.

Kasus dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto itu antara lain mengundang kontroversi dengan temuan-temuan yang berkaitan dengan pemanfaatan uang untuk kepeluan keluarga dan kroni mantan Presiden Soeharto. Antara lain adanya uang negara 400 miliar yang mengalir ke Yayasan Dana Mandiri antara tahun 1996 dan 1998. Bambang Trihatmodjo, yang menjadi bendahara yayasan mengalirkan lagi dana Rp 400 miliar itu ke dua bank miliknya, Bank Alfa dan Bank Andromeda dalam bentuk deposito.

Dari data dalam berkas kasus, Bob Hasan merugikan keuangan negara, diduga mencapai Rp 3,3 triliun. Hutomo Mandala Putra, putra bungsu Soeharto bersama bersama Tinton Suprapto, pernah memanfaatkan nama Yayasan Supersemar untuk mendapatkan lahan 144 hektare di Citeureup, Bogor, guna pembangunan Sirkuit Sentul. Juga ada dugaan bahwa Yayasan Supersemar sudah menyelewengkan dana sebesar USD 420 Juta. Majalah Time sempat memuat bahwa Korupsi oleh mantan Presiden Soeharto nilainya mencapai USD 15 Miliar atau sekitar Rp 150 Triliun.

Meski mengundang polemic paska runtuhnya orde baru, hingga akhir hayatnya mantan Presiden Soeharto tidak pernah diadili atas semua dugaan korupsi itu. Hingga kini kasus itu masih tidak jelas penyelesaiannya.

Kasus Pembunuhan Munir (2004)
Tokoh aktivis Hak Asasi Manusia, Munir Said Thalib, sedang dalam perjalanan ke Belanda untuk melanjutkan study S2 di Univeritas Utrecht, Belanda. Dalam kronologi kasus pembunuhannya, menjelang memasuki pintu pesawat Ia bertemu dengan Polycarpus seorang pilot pesawat Garuda yang sedang tidak bertugas. Polycarpus menawarkan kepada Munir untuk berganti tempat duduk pesawat dimana Munir menempati kursi Polycarpus dikelas bisnis dan Polycarpus menempati kursi Munir di kelas ekonomi.

Dalam kronologis selanjutnya, ada dugaan Munir diracun dengan makanan atau minuman selama penerbangan dan meninggal dunia saat pesawat melintas di atas langit negara Rumania. Melalui penyelidikan oleh pihak otoritas Belanda ditemukan bahwa didalam tubuh Munir ditemukan kandungan racun Arsenik sebanyak 460 mg didalam lambungnya dan 3.1mg/l dalam darahnya.

Namun otopsi oleh pihak RS Dr Soetomo menemukan keganjilan karena seharusnya kandungan arsenik tersebut sudah hancur/melarut. Ini jadi spekulasi jika kandungan arsenik dalam tubuh Munir baru dimasukkan ketika jenazahnya sudah di Indonesia. Spekulasi ini juga diperkuat dengan permintaan mereka untuk menahan lebih lama organ tubuh Munir.

Apapun itu penyebab kematian aktivis HAM tersebut namun hingga kini tampaknya kasus tersebut belum tuntas walaupun ada beberapa orang yang telah dijatuhi vonis oleh pengadilan, namun Suciwati selaku istri Munir tetap merasa tidak puas dan meminta pemerintah menuntut secara tuntas kasus kematian suaminya.

posting juga artikelmu dan menangkan hadiah bulanan Rp 500.000,- ini caranya

sumber
0
2.5K
13
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan