gagumenAvatar border
TS
gagumen
Sepakbola Sakit, Sepakbola Juventus
Tahun 2000, jauh sebelum kasus ‘Calciopoli’ yang melibatkan Juventus muncul ke permukaan, saya sudah menulis sebuah buku setebal 52 halaman berjudul “Di Balik Sukses Juventus”. Tapi sayang, saat itu hanya segelintir orang yang mau melirik karya tulis yang saya buat tersebut.
Buku yang di dalamnya berisi kisah mendalam seputar ‘sepakbola tidak sehat’ ala tim Kuda Zebra itu pernah saya kirimkan ke redaksi Tabloid Bola dengan harapan dimuat di media tersebut. Tapi respon mereka saat itu hanya sebuah kalimat yang berbunyi: “Buku Anda sangat bagus, terima kasih atas kirimannya.” Beruntung sih, masih banyak pembaca Tabloid Bola yang tertarik dan memesan buku itu meskipun hanya mengganti biaya pengiriman dan foto kopi.

Saat itu saya memang hanya seorang penggila bola yang baru lulus kuliah. Jika saya seorang wartawan ternama mungkin ceritanya akan lain. Faktanya, enam tahun berselang guncangan hebat menerpa dunia sepakbola, khususnya Italia, setelah Bianconeri terbukti melakukan skandal pengaturan skor yang juga dikenal dengan sebutan Moggiopoli. Kasus ini tak hanya membuat Scudetti 2004/2005 dan 2005/2006 mereka dicopot FIGC (PSSI-nya Italia) tetapi juga penurunan kasta ke Serie B.

Sebenarnya, banyak bukti mengenai kolusi wasit yang dilakukan Juventus tetapi tak ada yang berani mengungkapnya. Sebab, keluarga Agnelli, pemilik Juventus memiliki kekuasaan yang sangat besar di Italia. Selain taipan kondang di bidang otomotif dengan mobil Fiat-nya, ia juga pemilik dua harian olahraga terkemuka Italia “La Gazzetta dan Corierre dello Sport” .

Ancaman ditembak mati sering digunakan untuk menakut-nakuti pihak yang ingin membongkar borok ini. Seorang reporter televisi setempat yang merekam pernyataan penyerang Inter Milan Ronaldo setelah timnya dicurangi Bianconeri di musim 1997/1998 bahkan diancam dibunuh begitu ia hendak keluar stadion dengan mikrofon di tangan.

Jangan heran bila dengan kondisi seperti ini Juventus banyak dimusuhi klub-klub Serie A lainnya. Selain klub kebanggan saya Fiorentina, Bianconeri juga tak disukai tim-tim seperti Torino, Inter Milan, AS Roma dan Napoli lantaran sering merugikan mereka. Di luar Italia, ada Manchester United dari Inggris yang juga pernah merasakan teori ‘menghalalkan segala cara’ ala Juventus. Baik di dalam maupun di luar lapangan.

Kisah ‘praktek haram’ yang diperagakan Juventus kita awali dengan perseteruan abadi mereka dengan Torino. Dianggap abadi karena selain Bianconeri satu kota dengan tim berjuluk ‘La Granata’ ini, di era 40an mereka juga bersaing ketat dalam perebutan gelar Scudetto.

Salah satu tokoh besar yang pernah dilahirkan klub yang berdiri tahun 1906, sembilan tahun setelah Juventus ini adalah Vittorio Pozzo, pelatih yang membawa Italia juara Piala Dunia 1934 dan 1938. Pozzo juga pernah melatih Torino, bahkan membawa klubnya juara Serie A 1927/1928.

Setahun sebelumnya, Torino sebetulnya juga juara. Tapi kemenangan itu digugat Juventus yang menuduh Torino menyuap salah satu pemainnya, Luigi Allemandi, dan adanya seorang wartawan yang membongkar skandal bahwa Juventus sengaja memberikan kemenangan kepada Torino pada pertandingan derby kedua yang dimenangkan Torino 2-1. Akhirnya FIGC memihak Juventus, dan membuat gelar itu melayang. Nah, sejak itulah rivalitas Juventus –Torino dimulai.

Kita beralih ke wilayah selatan Italia. Tepatnya di daerah Naples dimana sebuah klub bernama Associazione Calcio Napoli bermarkas. Saat dipimpin Achille Lauro, raja bisnis perkapalan, tim ini sangat ambisius dengan membangun stadion San Paulo pada tahun 1959 dan membeli pemain-pemain top demi bersaing dengan tim-tim wilayah utara.

Demi memuluskan keinginannya, berbisnislah Lauro dengan keluarga Agnelli, yang menguasai saham mayoritas Juventus. Ia memberi hak kepada Agnelli untuk memasok mesin bagi semua kapal laut miliknya. Imbalannya, Agnelli menyerahkan duet penyerang andalan Juventus saat itu, Omar Sivori dan Jose Altafini.

Pada musim 1961/1962, Napoli memenangi gelar pertamanya, Coppa Italia. Dan hasil lumayan bagus mereka capai pada musim 1974/1975. Hingga akhir musim, Napoli ikut bersaing dalam perebutan gelar. Tapi, seperti musim-musim sebelumnya, akhirnya juga kandas. Kali ini justru oleh Juventus.

Menjelang partai terakhir, Napoli butuh kemenangan telak untuk menghindari kejaran pesaing terdekatnya, Juventus. Ternyata, Napoli cuma menang tipis lawan Varese. Sedangkan Juventus yang dikenal suka ‘membeli’ wasit membantai Vicenza 5-0. Gelar pun terbang ke Turin, diiringi tangis Lauro yang dikhianati rekan bisnisnya.

Kasus serupa dialami Inter Milan pada musim 1997/1998. Saat itu kiper Nerazzurri Gianluca Pagliuca bergegas mendekati wasit Piero Ceccarini dan memrotes keras keputusan yang baru ditetapkannya. Tapi Ceccarini tak bergeming. Hadiah penalti tetap diberikan kepada Juventus menyusul pelanggaran yang dilakukan bek Taribo West terhadap penyerang Juventus Alessandro Del Piero.

Protes Pagliuca sebenarnya lebih kepada insiden yang terjadi beberapa detik sebelumnya. Saat penyerang Brasil Ronaldo dijahili bek Juventus Mark Iuliano di dalam kotak penalti. Namun Ceccarini menilai itu bukan pelanggaran. Del Piero, memang gagal mengeksekusi penalti itu, tetapi Juventus tetap keluar sebagai pemenang lewat gol tunggal Del Piero juga lantaran mental para pemain Inter sudah ambruk.

Bagi Inter, memenangi laga itu sangat penting. Karena saat itu selisih poin antara Inter dan Juventus terpaut sangat tipis, satu poin untuk keunggulan Juventus. Sementara tiga pertandingan lagi kompetisi akan usai. Tak hanya kekalahan yang dialamai Inter. Tetapi juga sanksi yang diterima Ronaldo. Dia dilarang tampil dalam satu pertandingan lantaran meluncurkan protes keras terhadap wasit. Benar saja, tanpa Ronaldo mereka tidak dapat memperoleh hasil optimal dan gelar pun melayang ke Turin.
“Kami pantas kalah dari Juventus, sebab kami harus berhadapan dengan 12 orang. 11 orang pemain ditambah wasit. Ya, Juventus selalu dibantu wasit,” ujar Ronaldo kecewa.

Desas desus pun muncul, Ceccarini mendapat hadiah dari bos mobil Fiat, perusahaan raksasa yang mengusai saham mayoritas Bianconeri. Sebulan setelah insiden itu terjadi, Ceccarini mengecam media massa yang terus-menerus mencerca dirinya, “Perlakuan mereka sudah berada di luar kontrol dan harus dihentikan. Setiap orang di sepakbola bisa melakukan kesalahan,” ujarnya ngeles.

Daftar wasit yang pernah menerima imbalan ‘haram’ dari Juventus cukup banyak. Yang mengherankan, Pierluigi Collina, wasit berkepala plontos yang kelihatan cukup berwibawa di atas lapangan dikenal sebagai orang yang paling sering menerima imbalan dari Bianconeri. Bentuk imbalan jasa yang diterima bisa bermacam-macam, biasanya satu mobil Fiat itu tadi.

Pada musim itu bukan hanya Inter yang jadi korban kecurangan Juventus. Lazio, Roma dan Empoli juga merasakan hal sama. Lazio bahkan kembali dicurangi Bianconeri dua musim berselang. Bersaing ketat dengan Juventus sejak awal musim 1999/2000, mereka harus menyerah setelah Juventus dinyatakan sebagai juara musim dingin atau paruh musim.

Sejak pekan kedua musim itu, Juventus yang diasuh Carlo Ancelotti sudah terjebak dalam stigma sebuah tim yang diistimewakan para wasit. Di Cagliari, sebuah gol yang secara sah dicetak penyerang Belgia Luis Oliveira ke gawang Juventus dianulir wasit. Coba bayangkan, selama 17 pekan pertama, Juventus merupakan satu-satunya tim yang tidak mendapat hukuman. Bagaimana mungkin!

Selanjutnya coba ingat lagi peristiwa yang terjadi pada waktu bertanding melawan Inter Milan di pekan ke-13 tatkala kiper Juventus saat itu, Edwin Van der Sar yang telah menjatuhkan Ivan Zamorano pada menit ke-8 tidak dikeluarkan. Memang menjelang laga usai kiper Belanda itu dikeluarkan juga oleh wasit lantaran dianggap memegang bola di luar kotak terlarang. Tapi hal itu hanya untuk menutupi kesalahan pertama wasit. Toh, Juve sudah unggul 1-0.

Coba lihat kejadian berikutnya. Pada laga terakhir putaran pertama di musim yang sama dalam pertandingan tandang di Perugia. Penyerang Filippo Inzaghi didorong oleh pemain lawan yang sebenarnya di luar bukan di dalam kotak penalti. Sementara pada saat berbarengan Simone Inzaghi, saudara kandung Pippo yang berkostum Lazio, dijatuhkan di areal penalti dalam laga tandang di Reggina tapi wasit tidak setuju sama sekali untuk memberi hukuman penalti kepada lawan yang nyata-nyata menjegal Simone. Malah sebaliknya, menghukum Lazio, tim yang sebenarnya harus diuntungkan. Sungguh menghebohkan!

Dalam situasi seperti ini Juventus dikenal bukan karena prestasinya tetapi lebih karena tidak tahu malu. Beruntung di akhir kompetisi Lazio yang menyabet Scudetto, bukan Juventus.

Cerita lain yang tak kalah menyakitkan menimpa saudara sekota Lazio, AS Roma, di awal musim 1999/2000. Kali ini bukan soal ‘permainan kotor’ di atas lapangan melainkan di luar lapangan. Tepatnya, pencurian pemain yang dilakukan kubu Bianconeri.

Sebelum resmi berkostum ‘putih hitam’ gelandang Nigeria Sunday Oliseh awalnya akan bermain untuk AS Roma. Giallorossi bahkan sudah sepakat dengan nilai kontrak yang disodorkan Ajak Amsterdam, klub Oliseh saat itu. Tapi Juventus entah dari mana sudah memperoleh tanda tangan dan persetujuan Oliseh. Presiden AS Roma saat itu, Franco Sensi, sangat gusar dan menyatakan: “Oliseh milik Roma, kami telah sepakat dengan Ajax.”

Tapi Juventus yang dikenal licik dan suka menghalalkan segala cara tetap yakin Oliseh sudah jadi milik mereka. Dan untuk kali ketiga dalam sejarah, Bianconeri mencuri pemain yang sudah diincar Roma. Pertama, ketika Juventus merebut Paulo Sousa di awal musim 1994/1995, kemudian mantan bintang Napoli Ciro Ferarra di tahun yang sama.

0
33.3K
343
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan