Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ini.beritaAvatar border
TS
ini.berita
Wajah Radikal Peranakan Arab di Indonesia

Abu Bakar Ba'asyir dan Muhammad Rizieq Shihab --dua orang warga Indonesia keturunan Arab-- yang sepak terjangnya paling sering disorot.

Wajah radikal peranakan Arab Indonesia --yang sebetulnya minoritas-- lebih sering mendapatkan tempat ketimbang sisi moderatnya. Catatan Heyder Affan, wartawan BBC Indonesia yang kebetulan juga keturunan Arab.

Sepertinya tidak ada aktivitas yang mencurigakan malam itu. Hanya terdengar lagu-lagu Natal dan doa-doa dari jemaat gereja di berbagai sudut kota Malang.

Sebagian warga kota kecil itu juga barangkali asyik di depan layar kaca --termasuk saya dan keluargaku. Lainnya mungkin sudah terlelap tidur. Hari itu, 24 Desember 1984.

Namun demikian, di sudut lain kota Malang, ada sejumlah pria berjalan mengendap-endap. Mereka barangkali berkeringat dingin --dan sedikit gemetar. Dan membawa bahan peledak.

"Bleng!" Bom itu meledakkan gedung Seminari Alkitab Asia Tenggara dan Gereja Sasana Budaya Katolik di Malang, Jawa Timur.

Bunyi ledakan itu terdengar hingga ruang tengah rumah keluarga saya --yang berjarak sekitar 500 meter dari gereja Katolik itu. "Mungkin cuma tabrakan," begitu kata yang terlontar saat itu. Saya saat itu berumur 17 tahun.

Bom Borobudur 1985

Satu bulan kemudian, 21 Januari 1985, ledakan bom dalam skala lebih besar mengguncang dan merusakkan sembilan stupa dan dua patung Buddha di Candi Borobudur.


Pada 21 Januari 1985, ledakan bom merusak sembilan stupa dan dua patung Buddha di Candi Borobudur.

Siapa pelaku peledakan bom di Malang dan candi Borobudur? Semua masih menjadi misteri, sampai terjadi peristiwa lain, dua bulan kemudian.

Jaringan pelaku peledakan bom itu baru terungkap setelah sebuah bom meledak di dalam bus Pemudi Express.

Bom itu meledak saat melintas di Desa Sumber Kencono, Banyuwangi pada 16 Maret 1985. Penyelidikan polisi menyimpulkan bom itu hendak diledakkan di Kuta Bali.

Al-Habsyi bersaudara

Empat pelaku tewas dalam ledakan di dalam bus itu, tetapi satu orang lainnya hanya terluka. Namanya: Abdul Kadir Ali Al-Habsyi. Polisi kemudian menyeret kakaknya, Husein Ali Al-Habsyi, sebagai pelaku lainnya.

Walaupun gagal menangkap otak pelaku bernama Mohammad Jawad alias "Ibrahim" alias "Kresna", dua orang bersaudara itu belakangan dianggap sebagai pelaku peledakan bom Borobudur.


Pemakaman Amir Biki, salah-seorang korban tewas dalam kasus Tanjung Priok 1984.

Saya masih ingat, melalui cerita ayah atau ibuku, sebagian warga Indonesia keturunan Arab di Malang saat itu merasa "risau" setelah dua orang warga Indonesia keturunan Arab itu disebut sebagai pelakunya.

Selama persidangan kasus ini, jaksa menuduh pengeboman candi Borobudur terkait peristiwa Tanjung Priok, 12 September 1984. Keduanya semacam melakukan aksi balas dendam atas penembakan aparat terhap kelompok sipil dalam kasus Priok.

Abdul Kadir kemudian divonis 20 tahun penjara, sementara Husein divonis penjara seumur hidup. Setelah kekuasaan Presiden Suharto berakhir, pada 1999, keduanya masing-masing mendapat remisi dan grasi.

ISIS dan video Abu Jandal

Lebih dari 30 tahun setelah teror Bom Borobudur, warga Indonesia peranakan Arab di kota Malang, kembali dikejutkan isi pidato seorang pria yang disebut sebagai Salim Mubarok Attatimi alias Abu Jandal.

Melalui video yang diunggah di Youtube, Salim Mubarok Attamimi, pada Desember 2014 lalu, telah mengeluarkan ancaman serangan terhadap institusi TNI, kepolisian dan organisasi NU.



Attamimi diyakini telah berada di Suriah dan bergabung dengan kelompok militan Negara Islam atau ISIS. Sebelumnya dia disebutkan mendirikan perkumpulan yang bersifat tertutup di Malang.

"Pesan ini, saya tujukan (kepada ) Panglima TNI Muldoko, Polri dan Banser," ujar pria yang mengenakan penutup kepala hitam dan berkajet warna gelap. Polisi meyakini pria itu adalah Salim Mubarok Attatimi, seorang keturunan Arab.

Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyad Mbai mengatakan, keberadaan Abu Jandal terkait dengan keberangkatan belasan WNI yang berangkat ke Suriah pada Maret 2015 lalu.

"Itu Abu Jandal dan satu orang semacam LO (liaison officer)-nya ISIS dengan militan kita di sini," kata Ansyad Mbai.

Teman bermain sepak bola

Awal November 2015 lalu, saya pulang ke rumah orang tua saya di Malang, usai meliput peringatan Sumpah Pemuda keturunan Arab 1934 yang digelar di Surabaya.


Pada 25 Maret 2015, Abdul Hakim Munabari, warga kelurahan Kasin, Malang, ditangkap pasukan elit kepolisian anti-teror Densus 88. Dia diduga terlibat kelompok militan Negara Islam atau dulu disebut ISIS.

Di kota itu, saya bertemu seorang teman masa kanak-kanak ketika dulu aktif di klub sepak bola Al Badar. Perkumpulan sepak bola ini didirikan warga keturunan Arab di kota Malang, walaupun anggotanya tidak melulu etnis Arab.

"Sudah dengar teman kita di Al Badar, Abdul Hakim, yang diadili karena terkait ISIS?" Tanya temanku itu. Saya mencoba mengingat sosok Abdul Hakim, tetapi lupa sepenuhnya.


Salah-satu sudut Jalan Embong Arab, tempat sebagian warga keturunan Arab tinggal di Kota Malang, Jatim.

Pada 25 Maret 2015, Abdul Hakim Munabari, warga kelurahan Kasin, Malang, ditangkap pasukan elit kepolisian anti-teror Densus 88. Dia diduga terlibat kelompok militan Negara Islam atau dulu disebut ISIS.

Abdul Hakim Munabari diadili bersama lima terdakwa lainnya, diantaranya Ridwan Sungkar dan Helmi Alamudi, dua orang warga keturunan Arab asal Solo dan Tulungagung. Polisi menduga mereka terkait dengan jaringan yang dipimpin Abu Jandal alias Salim Attamimi.

'Problem keturunan Arab'

Seperti yang dirisaukan oleh warga peranakan Arab di Malang ketika "dua Al-Habsyi" diputus bersalah dalam kasus bom Borobudur (1985), warga keturunan Arab saat ini sepertinya juga dihadapkan persoalan yang sama.


"Itu menjadi problem di kalangan anak-anak (keturunan Arab) itu sekarang, ketika mereka dikaitkan ideologi trans-nasional, dan kemudian konteks kearaban diangkat sebagai suatu citra yang berubah sekarang ini," kata Hasan Bahanan, pengamat masalah keturunan Arab di Indonesia.

Di Surabaya, saya bertemu pria keturunan Arab yang selama ini memberikan perhatian penuh terhadap dinamika keturunan Arab di Indonesia. Namanya Hasan Bahanan, yang dikenal pula sebagai staf pengajar di Fakultas Komunikasi, Universitas 17 Agustus, Surabaya.

"Itu menjadi problem di kalangan anak-anak (keturunan Arab) itu sekarang, ketika mereka dikaitkan ideologi trans-nasional, dan kemudian konteks kearaban diangkat sebagai suatu citra yang berubah sekarang ini," kata Hasan.

Ba'asyir, Sungkar, Patek

Pertanyaannya kemudian, sejak kapan warga keturunan Arab mulai terlibat dalam gerakan radikal Islam di Indonesia?
Ismail Fajrie Alatas, mahasiswa program doktoral antropologi dan sejarah di Universitas Michigan, AS, mengatakan, awal mula radikalisasi keturunan Arab di Indonesia "tidak dapat dipisahkan dari perkembangan politik global".


Abu Bakar Ba'asyir saat mengikuti persidangan atas dirinya.

Radikalisasi pada sosok Abu Bakar Ba'asyir dan Abdullah Sungkar --pendiri pondok pesantren Al-Mukmin di Solo, Jateng, pada awal 1970-an, yang mencita-citakan penerapan Syariat Islam di Indonesia-- disebutnya tidak terlepas pada masa "akhir perang dingin antara AS dan Soviet".

Di awal 1983, Ba'asyir dan Sungkar dituduh menghasut menolak penerapan azas tunggal Pancasila dan divonis sembilan tahun penjara.
Saat memasuki proses kasasi, mereka kemudian melarikan diri ke Malaysia.

Di Malaysia, mereka berperan mengirim warga Indonesia yang bersedia berperang ke Afghanistan --diantaranya ada yang keturunan Arab.


Umar Patek alias Hisyam Bawazir, terpidana bom Bali 2002.

"Dua orang yang Anda sebut (Abu Bakar Ba'asyir dan Abdullah Sungkar) berperan besar dalam proses radikalisasi orang-orang yang akhinya berangkat ke tempat-tempat seperti Afghanistan," kata Fajrie.

"Tokoh-tokoh ini (di antaranya Umar Patek alias Hisyam Bawazir, tersangka kasus bom Bali 2002 dan Natal) yang pergi ke Afganistan dan mencoba menggunakan taktik kekerasan untuk digunakan di Indonesia," kata Fajrie.

Pengamat masalah keturunan Arab, Hasan Bahanan mengatakan, radikalisasi Islam di Indonesia --yang antara lain melibatkan keturunan Arab-- tidak terlepas dari persoalan global, seperti di Afganistan, Palestina dan kini di Irak dan Suriah.

"Ketika terjadi perang Afganistan, semua yang anti Komunis berbondong-bondong ke sana. Ketika sudah selesai, muncul lagi radikalisme baru. Katakanlah Taliban. Dan ketika ini reda, muncul ISIS," kata Hasan.

sumber
Diubah oleh ini.berita 16-01-2016 09:23
0
16.5K
136
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan