Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

politicusAvatar border
TS
politicus
Tingkat Kemiskinan dan Pengangguran Meningkat
Lesunya perekonomian nasional dinilai sudah berdampak langsung ke tingkat kesejahteraan masyarakat. Perlambatan ekonomi dan sejumlah indikator perekonomian yang memburuk pun diyakini bakal mengerek tingkat kemiskinan dan pengangguran.

Sayangnya, pemerintah dianggap menyembunyikan fakta tersebut dengan tidak kunjung dirilisnya data soal kemiskinan dan pengangguran terbaru oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Dalam pidato kenegaraannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun tak menyinggung hal tersebut.

Namun, berdasarkan kajian Institute for Development of Economics and Finance (Indef), diperkirakan tingkat kemiskinan meningkat dari 10,96 persen menjadi 11,5 persen pada periode Maret 2014-Maret 2015. Hasil ini diklaim Indef berdasarkan perhitungan yang dilakukan dengan metode hampir sama dengan BPS.

"Kami melakukan perhitungan sendiri apakah betul angka kemiskinan meningkat atau tidak. Berdasarkan perkiraan kami dengan menggunakan metode yang hampir mirip dengan BPS, ternyata (kemiskinan-red) meningkat," kata ekonom senior Indef, Fadil Hasan, Jakarta, Senin (24/8).

Menurutnya, meningkatnya kemiskinan dalam setahun terakhir ini disebabkan beberapa faktor. Pertama adalah secara umum terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi. Pada semester I pertumbuhan ekonomi 5,17 persen, sekarang menjadi 4,7 persen. Tingkat kemiskinan juga berkorelasi dengan inflasi. Indef melihat memburuknya kesejahteraan rakyat ini disebabkan gagalnya program dan kebijakan pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat.

Pada periode yang sama, pengangguran juga meningkat dari 7 persen menjadi 7,5 persen. Tingkat kesenjangan antara golongan kaya dengan golongan miskin (gini rasio) pun semakin melebar pada 2015. Ketimpangan tersebut meningkat dari 0,41 persen menjadi 0,42 persen. “Beberapa indikator tingkat kesejahteraan yang kita estimasi dan dikatakan memburuk dalam satu tahun," serunya.

Tekanan Inflasi
Direktur Indef, Enny Sri Hartati, mengutarakan pihaknya menyimpulkan turunnya kesejahteraan dari sejumlah indikator. "Pertama, tingkat inflasi volatile food melambung. Selama Januari-Juli 2015, akumulasi month to month (mtm) memang baru mencapai 1,90 persen. Namun, inflasi bahan makanan menjadi sumber tekanan yang sangat tinggi," kata Enny.

Inflasi harga barang yang bergejolak sejak Mei, Juni, dan Juli masing-masing sebesar 1,52 persen, 1,74 persen, dan 2,13 persen. “Pada Juli inflasi bahan makanan telah mencapai 8,28 persen," tuturnya.

Berikutnya, penurunan terjadi pada upah riil buruh. "Sekalipun upah nominal buruh meningkat akibat penyesuaian upah minimum provinsi, upah riil menurun," ucapnya.

Pada Juli 2015, upah riil buruh tani mencapai Rp 37.887 per hari, sedangkan pada Januari 2014 mencapai Rp 39.383 per hari. Upah buruh industri juga menurun secara riil sebesar 3,5 persen secara triwulanan.

"Penurunan upah riil terutama terjadi pada industri yang padat karya, seperti industri makanan, tekstil, percetakan, karet, dan plastik," tutur Enny.

Ironisnya, program bantuan sosial yang diberlakukan pemerintah tidak efektif, misalnya saja program Raskin dan dana kompensasi kenaikan harga BBM. Tak heran, Enny menyebutkan, daya beli masyarakat anjlok. "Pada triwulan I/2015 konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 5,1 persen dan triwulan II/2015 menurun lagi menjadi 4,9 persen," ucapnya.

Selanjutnya adalah turunnya pembiayaan terhadap sektor riil (usaha mikro, kecil, dan menengah/UMKM). Indef meneliti pertumbuhan kinerja sektor manufaktur anjlok, hanya tumbuh 3,81 persen pada triwulan I/2015. Akibatnya, tidak hanya penyaluran kredit yang menurun, tetapi tingkat kredit macet juga meningkat.

Ditambah lagi, soal jumlah pengangguran yang meledak. Menurutnya, pada 2015 angka elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja hanya mencapai 180.000 orang.

Dua Rekomendasi
Indef memiliki dua rekomendasi kebijakan yang bisa menjadi solusi jangka pendek dan fundamental. Pertama adalah memperluas dan memperlancar akses pasar. Selama ini pemerintah selalu mengeluh kekurangan pembiayaan, keterbatasan anggaran, dan ruang fiskal yang sempit. Kedua, membangkitkan kembali potensi terbesar Indonesia yakni UMKM. “Kalau pemerintah fokus mengurus UMKM, ini bisa menjadi solusi jangka pendek dan jangka panjang. Ini yang ditunggu langkah konkretnya. Karena sampai saat ini jangan kan mendapatkan subsidi suku bunga, mendapatkan akses pembiayaan juga sangat sulit,” tuturnya.

Pemerintahan Jokowi mematok tingkat kemiskinan menjadi 9-10 persen pada 2016. Gini ratio dipatok 0,39 dan tingkat pengangguran terbuka menurun jadi 5,2 persen. Tingkat kemiskinan pada APBN-P 2015 disepakati di level 10,3 persen dengan tingkat pengangguran 5,6 persen dan gini ratio turun 0,40.

Deputi Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan UKM Bappenas, Rahma Iryanti, beberapa waktu lalu mengatakan pemerintah telah memasukkan target pembangunan atau indikator kesejahteraan dalam RAPBN 2016. Hal tersebut meliputi tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, dan rasio ketimpangan pendapatan (gini ratio).

Pemerintah sudah mempunyai program prioritas untuk mencapai sasaran target pembangunan tersebut. Program ini meliputi program mengurangi beban penduduk miskin, bantuan tunai bersyarat atau Program Keluarga Harapan (PKH), dan penyediaan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).


http://www.sinarharapan.co/news/read...uran-meningkat

Taktik pemuja salah kaprah,serang lawan politik agar masyarakat lupa akan pelambatan ekonomi.Padahal kalau Politik kacau,ekonomi jg kacau,yang tanggung jawab Presiden. Hanya orang2 naif yg mau menukar perut lapar dgn Harapan lagi Harapan lagi
0
2K
25
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan