Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

atfrieAvatar border
TS
atfrie
Duit Rp 300 Ribu, Deritanya Seumur-umur




Sri Mulyaningsih sebenarnya jijik terhadap air sumur di rumahnya. Air itu keruh dan baunya tidak sedap. Bila air dituang ke dalam gelas dan didiamkan cukup lama, dasar gelas akan berwarna hitam pekat.

Sri tinggal di Desa Ciketing Udik, sekitar 1 kilometer dari Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Keluarganya menggunakan pompa air jenis semi-jet pump di sumur.

Meski jijik terhadap air sumurnya, Sri mau tidak mau menggunakannya untuk mandi dan mencuci. Tidak ada pilihan lagi. Beberapa sumur artesis di Desa Ciketing Udik tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan warga.

"Paling dipakai untuk mandi dan mencuci. Kalau diminum, rasanya beda gitu," ucap perempuan yang tinggal di RT 3 RW 3 Ciketing Udik itu.
Warga Bantargebang, Sri Mulyaningsih


Masalah air juga dialami Ngatini. Rumah warga RT 02 RW 05 itu hanya berjarak 400 meter dari TPST Bantargebang. Ia tidak bisa mengandalkan pasokan air pipa sumur artesis.

"Kami harus hemat air karena warganya banyak. Kalau kehabisan air, terpaksa pakai pompa sendiri. Tapi, ya, gitu, airnya jelek dan bau," ujarnya.

Keberadaan TPST Bantargebang merusak kualitas air di lingkungan sekitarnya. Kualitas air di wilayah dalam radius 2 kilometer dari TPST tidak lagi bagus.

Warga Bantargebang, Ngatini

Buruknya kondisi air ini dipengaruhi oleh air sampah (lindi). Penelitian Husein Agil Al Munawwar dari Institut Teknologi Bandung menyebutkan lindi meresap ke dalam tanah saat hujan.

Ia menulis penelitian berjudul "Simulasi Pengaruh Curah Hujan Perubahan Konsentrasi Leachate (Air Lindi)". Saat musim hujan, air akan membawa masuk lindi ke dalam tanah.

Tercemarnya air tanah hanya segelintir masalah sampah Bantargebang. Polusi paling mencolok adalah polusi udara. Bau busuk menguar di sekitar rumah Sri dan Ngatini. Saking busuknya bau, masker tipis yang biasa dijual di toserba tidak mampu menahan sengatan bau yang berasal dari gunungan sampah di Bantargebang.

Ngatini mengaku sudah terbiasa dengan bau ini. Ia tidak mengenakan masker ketika beranjak menyambut kedatangan detikcom di rumahnya. "Sekarang anginnya enggak bertiup, jadi enggak terlalu bau," ujarnya.

Perempuan asal Semarang ini sudah 15 tahun hidup berdampingan dengan sampah. Bahkan empat tahun pertamanya dilalui dengan mengais sampah plastik.

Namun kekebalan menghadapi bau sampah ini ada batasnya. Ia mengaku paru-parunya rentan terkena penyakit karena terus-menerus menghirup bau busuk.

"Kalau di sini, penyakitnya paru-paru. Itu gampang sekali kena. Karena kan udaranya kurang bagus," ujarnya.

Ngatini merasa masih beruntung. Walau rentan terkena penyakit pernapasan, ia belum pernah dirawat di rumah sakit. Justru tetangga dan kerabatnya yang berkali-kali harus berobat dan mendapat perawatan intensif.

Namun fasilitas perawatan khusus tidak diberikan secara gratis kepada warga sekitar TPST. Mereka hanya diberi fasilitas pengobatan gratis di puskesmas.

Risiko kesehatan ini diatasi hanya dengan uang tutup hidung Rp 300 ribu per bulan, yang diserahkan dalam tiga bulan sekali. Namun uang ini pun dipangkas Rp 100 ribu tiap tiga bulan untuk dana kemasyarakatan.

Pemberian uang ini dipukul rata untuk empat kelurahan yang terkena dampak di Kecamatan Bantargebang, yakni Ciketing Udik, Cikiwul, Sumur Batu, dan Bantargebang.

Ketua RW 5 Ciketing Udik, Solim Hamid Wijaya, mengeluhkan kontrol bencana yang masih minim di kawasan TPST. Pada September 2015, terjadi kebakaran. Dampak asap kebakaran ini tidak terkontrol sehingga membuat warga mengungsi.

"Nah, ketika kebakaran kemarin, asap itu turunnya di atas jam 12. Begitu asap masuk, anak kecil kan kasihan. Makanya kami mengungsi ke tetangga atau saudara," ujarnya.

Lurah Ciketing Udik, Nata Wirya, mengaku wilayahnya mendapat uang tutup hidung Rp 1,6 miliar untuk 6.326 keluarga pada September 2015. Namun tidak semua keluarga di kelurahannya mendapat uang ini. Uang tersebut tidak cukup untuk seluruh warga Ciketing Udik.

"Itu juga enggak semua kebagian. Masih banyak yang belum kebagian. Jadi orang yang belum kebagian kompensasi memang dari sananya belum ada," kata Nata.

Lurah Ciketing Udik Nata Wirya
Selain uang ini, terdapat 23 kompensasi lain untuk tiga kelurahan yang terkena dampak: Ciketing Udik, Cikiwul, dan Sumur Batu. Namun fasilitas ini tetap dinilai kurang karena tidak sebanding dengan arus sampah dari Jakarta.

"Ada itu yang terealisasi. Ada sumur pantau untuk mengecek air, pembangunan masjid juga sudah. Di sini masjid dan musala bagus-bagus. Perbaikan jalan sudah. Tinggal trotoarnya, nih, sekarang rusak lagi," tuturnya.

Uang dari DKI Jakarta pun tidak pernah cukup untuk menanggung dampak sampah. PT Godang Tua Jaya mengaku menerima uang dari Pemerintah Provinsi DKI sebanyak Rp 255 miliar untuk pengolahan sampah Jakarta di Bantargebang pada 2015. Sebesar Rp 50 Miliar diantaranya untuk dana CSR. Uang sebesar itu juga belum bisa menutup bau busuk sampah Bantargebang. (iy/ayo)

Sumber : https://m.detik.com/news/lapsus/3066087/duit-rp-300-ribu-deritanya-seumur-umur
tien212700
tien212700 memberi reputasi
1
4.2K
28
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan