Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

hoiheiAvatar border
TS
hoihei
Studi Kasus Homoseksual di Dua Pondok Pesatren di Madura


Implikasi Globalisasi Seksualitas Terhadap Kebudayaan Lokal Madura: Studi Tentang Perilaku Homoseksual di Pondok Pesantren
Iskandar Dzulkarnain
Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya, Universitas Trunojoyo Madura


..... [bagian pendahuluan silahkan baca di sumbernya agar thread tidak kepanjangan]

Homoseksualitas di Ponpes Tradisional An-Naqiyah
Pondok pesantren dengan tradisi keislamannya telah mampu untuk menjadikan lembaga ini sebagai sebuah lembaga yang mempunyai ciri Islami dalam setiap nadi kehidupannya. Hal ini semakin diperkuat dengan terjadinya hijab atau pemisahan antara pondokan laki-laki dengan perempuan, karena bukan muhrim. Seperti yang terjadi di pondok pesantren An-Naqiyah, mereka telah memisahkan setiap santri laki-laki dengan santri perempuan di dalam pondokannya, meskipun masih dalam satu lingkungan yang sangat berdekatan. Bahkan para santri laki-laki juga tidak diperbolehkan secara sembarangan untuk memasuki wilayah nyai-nyai atau putri para kiai karena hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang sifatnya tabu. Larangan ini semakin kuat dengan terjadinya kejadian putri kiai (salah satu pengasuh) berpacaran dengan santri laki-laki.

Di pondok pesantren An-Naqiyah penempatan pembatasan ruang secara gender antara laki-laki dengan perempuan tidak mengenal batas standarisasi usia, penempatan kamar bagi para santri lebih ditetapkan sesuai dengan keinginan santri masing-masing. Hal ini merupakan kebiasaan yang ada di dalam tradisi pondok pesantren tersebut. Meskipun demikian pada umumnya santri paling seniorlah yang menjadi ketua kamar tersebut. Dalam setiap kamar yang ada di daerah-daerah pondok pesantren An-Naqiyah di sekat-sekat menjadi beberapa puluh kamar yang dihuni oleh sekitar 20-30 santri, dengan ukuran sekitar 5 x 5 meter.

Dengan membludaknya penghuni yang ada di setiap kamar, membuatnya tidak lagi muat atau tidak nyaman untuk dijadikan tempat tidur. Sehingga kamar tersebut lebih berfungsi sebagai tempat istirahat dan tempat untuk menyimpan barang-barang serta tempat untuk mengganti pakaian, sedangkan segala kegiatan yang lain seperti belajar dan tidur biasa dilakukan di depan kamar masing-masing atau di beranda masjid.

Di pondok pesantren An-Naqiyah suasana keakraban, kebersamaan, dan kesetaraan serta kebebasan, telah menjadi ciri khas dalam kehidupan mereka, sehingga seringkali perilaku dan kebiasaan perbuatan di antara mereka di luar batas canda moralitas dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini menjadi semakin kuat dengan kebiasaan mereka untuk mandi bertelanjang bersama-sama, karena kamar mandi yang disediakan oleh pondok pesantren tidak sesuai dengan standar jumlah santri yang mondok.

Hal ini semakin kuat dengan tiga pola perilaku seksual alaq dalaq yang ada di pondok pesantren an-Naqiyah, yang di dalamnya termasuk ke dalam dua kategori pola perilaku seksual para kaum homo, yakni fellatio dan koitus interfemoral (frottage) , serta semakin nyata dengan perilaku seksual for pleasure nya para santri.

Meskipun sangat sulit untuk mengetahui pola relasi antarpelaku alaq dalaq, namun lewat observasi, wawancara, atau obrolan dengan informan, dan bahkan lewat pengakuan para santri dan alumni santri, dapat disimpulkan bahwa pola relasi alaq dalaq terdapat tiga pola. Pola relasi perilaku alaq dalaq yang ada di pondok pesantren An-Naqiyah tersebut tergambar menjadi tiga pola relasi; pertama, relasi alaq dalaq tanpa ikatan, kedua, relasi alaq dalaq dengan ikatan, dan terakhir, relasi seksual yang mengedepankan kesenangan atau Foucault menyebutnya dengan sex for pleasure.

Pertama, relasi alaq dalaq tanpa ikatan, yakni sebuah relasi homoseksual antarsantri di pondok pesantren yang melakukan hubungan seksualnya tanpa harus mempunyai ikatan yang jelas dengan pasangan seksualnya. Hal ini bisa terjadi ketika para santri senior sudah tidak mendapatkan pasangan seksualnya di saat pendaftaran santri baru. Atau ketika para santri baru tidak mau untuk dijadikan pasangan seksual kesehariannya para santri senior. Model seksual tanpa ikatan ini biasanya para santri senior setiap malamnya mencari santri yunior yang akan dijadikannya sasaran seksualnya dan kebanyakan sasaran korbannya adalah mereka para santri yunior yang dalam keadaan tertidur. Hal ini bisa terjadi karena para santri baik senior maupun yunior tidur di depan kamar masing-masing, namun mayoritas tidur di beranda masjid, sehingga sangat memudahkan para santri senior untuk mencari korban atau pasangan dengan orientasi seksualnya homoseksual. Selain itu, kebiasaan para santri untuk tidak menggunakan celana dalam di dalam setiap aktivitas kesehariannya juga merupakan salah satu faktor yang mempermudah terjadinya hubungan alaq dalaq ini dan juga tidak bisa dilepaskan adalah kebiasaan mereka menggunakan sarung.

Pada pola relasi alaq dalaq ini santri senior akan mencari korbannya sejak mulai habis sholat isya', sehingga dia akan mengikuti korbannya di mana ia tidur, maka santri senior tersebut akan tidur di samping korbannya tersebut. Sementara santri yunior (korban) tersebut tidur maka santri senior mulai lebih mendekat, hal ini biasanya terjadi sekitar pukul 00.00 – 02.00 wib, dengan berpura-pura memeluk korbannya pada awal reaksinya dan jika korban tersebut tidak bergerak berarti dia telah tidur dengan pulas sehingga mempermudah pelaku untuk segera melakukannya. Setelah itu pelaku akan membuka sebagian sarungnya dan lebih mendekatkan penisnya ke bagian paha korbannya yang terutama bagian di antara dua paha yang menyempit, maka penis tersebut akan digosok-gosokkannya ke paha korbannya sampai santri senior tersebut mencapai klimaks, atau keluar air mani. Kenapa santri yunior yang menjadi korban, karena bagi santri senior hal itu akan memudahkan untuk terjadinya perilaku alaq dalaq tersebut, dan juga sebagai sebuah kepuasan tersendiri mendapatkan korban yunior yang menurut mereka cakep, serta bisa diredamnya para santri yunior untuk marah atau ngamuk ketika mereka mengetahui telah menjadi korban alaq dalaq
para santri senior. Bahkan kejadian ini bisa terjadi sampai lima pasangan perilaku alaq dalaq.

Dari hal tersebutlah maka penulis di sini menganggap bahwa pola perilaku alaq dalaq tanpa ikatan ini sebagai perilaku homoseksual dengan pola koitus interfemoral (frottage), yakni pola seksual dengan menggunakan pola menggesek-gesekkan alat kelamin ke arah di mana tujuan seksualnya, yang dalam hal ini adalah di antara dua paha.

Kedua, pola relasi alaq dalaq dengan ikatan. Pada pola ini biasanya setiap santri senior akan mendapatkan pasangan seksualnya yakni santri yunior, di sa'at mulai pendaftaran santri baru atau ketika sudah terjalin kesepakatan di antara kedua santri tersebut. Biasanya dengan pola ini kedua santri tersebut akan menempati kamar yang sama, karena kesepakatan di antara mereka untuk terus bersama, saling membantu, saling menjaga, dan saling memberi, serta saling kasih mengasihi. Santri senior dalam hal ini adalah ketua kamar yang disegani oleh penghuni kamar yang lain, sehingga tidak ada yang berani santri-santri penghuni kamar tersebut untuk melawannya. Dalam kesehariannya kedua santri tersebut akan bersama, saling bergandengan ke manapun mereka pergi. Pada pola ini bisa diasumsikan tentang pola konsepsi keluarga dalam ajaran Islam, bahwa santri senior tersebut adalah suami yang harus menjaga, harus membimbing, harus memberi petuah, dan tidak jarang harus memberi nafkah seadanya, seperti uang untuk makan mereka berdua. Sedangkan santri yunior tersebut adalah perempuan dengan sosok sebagai istri yang harus nurut terhadap perintah suami, bersedia menemani suami, melayani suami kapanpun dan di manapun, serta masak untuk suami.

Berbeda dengan pola alaq dalaq yang pertama, pada pola ini pasangan seksual alaq dalaq tersebut akan dengan bebasnya melakukan hubungan alaq dalaq nya di manapun dan kapanpun, namun biasanya dilakukan di kamar yang mereka tempati. Karena di kamar tersebut santri seniornya menjadi ketua kamar. Dalam pola ini biasanya kedua pasangan tersebut hanya saling memeluk, saling mencium, meskipun tidak menutup kemungkinan terjadinya gesek-gesek alat kelamin ke paha pasangannya atau bahkan ke ketiak pasangannya. Bahkan pada pola ini tidak menutup kemungkinan juga terjadinya hubungan alaq dalaq dengan penetrasi anus, karena tertutupnya hubungan alaq dalaq dengan ikatan ini ketimbang perilaku alaq dalaq tanpa ikatan yang banyak dilihat oleh santri-santri lainnya. Sehingga penulis menganggapnya sebagai pola fellatio di dalam hubungan homoseksual, yang hanya memeluk dan mencium sebagai pola relasi seksual dominannya. Selain itu, para santri di pondok pesantren An-Naqiyah, akan mengejek para santri yang tidak mempunyai pasangan atau para santri yang tidak melakukan hubungan alaq dalaq dengan santri lainnya dengan sebutan bendu. Pola relasi alaq dalaq yang terakhir adalah sex for pleasure. Berbeda dengan pola relasi alaq dalaq yang lainnya, pada pola relasi ini tidak dikenal istilah santri senior dengan santri yunior. Karena dalam pola relasi
alaq dalaq ini kebanyakan adalah para santri yang seangkatan atau bahkan sekelas, meskipun tidak menutup kemungkinan sekamar. Persamaan usia yang masih muda, yang penuh dengan imajinasi-imajinasi nafsu liarnya akan berahi serta kebiasaan mereka untuk menonton film-film yang berbau porno sebagai yang diperlihatkan oleh Baudrillard, bahwa adegan merupakan ruang yang memesonakan dengan serbuan kecabulannya (obscenity). Meskipun adegan tersebut nyata (visible), yang cabul adalah hipervisible, namun secara umum pornografi adalah alat untuk menayangkan secara dekat orgasme perempuan, sehingga nafsu yang merupakan sifat sebuah adegan akhirnya lenyap ke dalam kecabulan (Ritzer, 2004: 185), telah menyebabkan semakin kuatnya nafsu libido mereka untuk melakukan perilaku seksual.

Namun, keterbatasan kesempatan dan sulitnya mencari relasi seksual bagi mereka (terutama santri yunior), telah menyebabkan semangat kesenangan seksual dengan melakukan sex for pleasure sesama santri yunior atau santri angkatannya. Hal ini dikarenakan pada pola relasi alaq dalaq ini kebanyakan adalah mereka santri yunior. Pada pola relasi alaq dalaq ini, biasanya terjadi di sa'at para santri berkumpul atau berkelompok, dengan jumlah kurang lebih empat sampai lima santri. Karena kebiasaan mereka untuk membicarakan hal-hal yang berbau porno, pada akibatnya semakin menambah semangat kesenangan seksual untuk melakukan perilaku yang berbau seksual ke sesama santri lainnya. Mereka dengan kelompoknya biasanya mencari sasaran, yakni santri yang lebih kalem, penurut, dan penakut, untuk dijadikan korban dalam pola relasi seksual alaq dalaq for pleasure ini. Korban tersebut akan dipegang beramai-ramai dengan memegang tangannya, kakinya, dan membuka sarungnya, dan kemudian ada salah satu dari kelompok santri tersebut yang melakukan pemaksaan onani terhadap korban tersebut sampai korban tersebut mengeluarkan air mani atau mencapai klimaks. Selain itu, pada pola relasi alaq dalaq for pleasure ini terdapat juga kebiasaan para santri yang berkelompok tersebut untuk berlomba melakukan onani bersama, dengan kategori siapa yang paling lama keluar air maninya akan menjadi pemenang, dan pemenang tersebut akan mendapatkan makanan, minuman, atau rokok dari para santri lainnya yang mengikuti. Kebiasaan ini biasanya dilakukan di kamar salah satu santri tersebut atau di kebun di kawasan pondok pesantren, dan bahkan ada pengakuan dari seorang santri yang melakukannya di masjid ketika akan tidur malam, dengan peserta sekitar sepuluh orang.

Homoseksual Di Ponpes Modern Al-Amanah
Di dalam bukunya The History of Sexuality, Foucault mencoba untuk melakukan perombakan terhadap apa yang disebutnya sebagai "hipotesis represif". Menurut pandangannya, institusi-institusi modern telah melakukan pemaksaan terhadap manusia atas manfaat-manfaat yang ditawarkannya, yakni semakin meningkatnya represi terhadap seksualitas.

Peradaban modern adalah peradaban yang melakukan kedisiplinan, yang pada akhirnya akan menciptakan kontrol terhadap perilaku manusia. Foucault dalam pandangannya melihat bahwa kehidupan sosial modern merupakan kehidupan yang penuh dengan fenomena intrinsik yang terkait erat dengan munculnya "kuasa disiplin" (disciplinary power), yakni sebuah kuasa yang lengket dalam institusi-institusi modern, seperti penjara, rumah sakit jiwa, perusahaan-perusahaan, dan sekolah. Sebagaimana yang terdapat di institusi modern pondok pesantren Al-Amanah, kedisiplinan merupakan hal yang sangat dikedepankan ketimbang yang lainnya. Sehingga kontrol terhadap setiap perilaku santrinya sangat kuat, yang pada akhirnya akan melahirkan kuasa disiplin pada diri pemimpin institusi pondok pesantren tersebut. Seperti, kuasa pemimpin pondok pesantren Al-Amanah untuk mengusir para santrinya yang berperilaku tidak disiplin atau melanggar peraturan. Sehingga akan menciptakan tubuh-tubuh yang jinak yang bisa dikontrol, dikuasai, dan diarahkan sebagaimana keinginan yang mempunyai kekuasaan (kiai).

Selain itu, dalam ruang pembatasan gender di Al-Amanah dikenal istilah santri baru dan santri lama, serta pemisahan antarsantri setiap tahunnya agar lebih mengenal dan lebih terbiasa dalam berhubungan dengan santri-santri yang lain termasuk pemisahan dalam hal asal daerah santri tersebut dan juga klasifikasi kelas. sebagai ketua kamar atau pembimbing yang dianggap sebagai pembantu para guru dan kiai di pondok yang kemudian disebut dengan istilah muallim, serta sebagai pengurus di struktur Organtri yang ditempatkan di tempat khusus dan berpisah dengan santri lainnya, termasuk bagi santri kelas enam yang difokuskan pada satu rayon dengan maksud untuk melancarkan nilai nihaiyah pada diri santri. Setiap kamar yang ada di pondok pesantren Al-Amanah dengan ukuran sekitar 4 x 5 meter dihuni oleh santri sebanyak enam sampai sepuluh orang, dengan fasilitas lemari, dan setiap santri diwajibkan untuk tidur di kamar masing-masing dengan membawa kasur, bantal, dan guling sendiri, serta memakai celana dengan kaos yang dimasukkan serta memakai sabuk. Setiap rayon diberi fasilitas tempat mandi, sehingga setiap santri dilarang untuk mandi di kamar mandi rayon lainnya, kecuali WC yang hanya diberi satu tempat untuk semua santri yang ada di Al-Amanah.

Secara seksualitas, para santri di Al-Amanah hampir sama dengan santri di An-Naqiyah, yakni mereka hidup dengan keterpisahan dengan lawan jenisnya pada usia masa-masa pubertas, sehingga dorongan seksual atau libido mereka sedang kuat-kuatnya. Namun dengan kuatnya peraturan yang ada di Al-Amanah menjadikannya sulit bagi para santri untuk mengekspresikan gairah seksualitas mereka. Ketakutan-ketakutan para santri ketika akan dihukum atau dikeluarkan dari pondok pesantren karena melakukan tindakan indisipliner telah menimbulkan tubuh-tubuh yang penuh impian kebebasan terkontrol dan dijinakkan. Meskipun demikian di pondok pesantren Al-Amanah ternyata ada perilaku seksual alaq dalaq antarsantri.

Hal ini tercermin dari pengakuan kiai atau pemimpin pondok pesantren Al-Amanah yang secara tersirat mengakui bahwa ada satu santri yang pernah melakukan perilaku tersebut dan sekarang sudah diusir dari pondok pesantren secara tidak terhormat. Pengakuan tersirat ini lahir ketika penulis melakukan penelitian kedua kalinya, dan adanya bukti dari pengakuan alumni santri yang mengatakan bahwa perilaku seksual alaq dalaq ada di kalangan santri, namun sangat tertutup karena dilakukan oleh para santri kibar atau muallim (santri kelas lima dan kelas enam) yang dilakukan ditempat-tempat atau ruang Organtri. Perilaku ini berkembang sebatas perilaku seksual sebagai dorongan kuatnya libido mereka serta bebasnya mereka dari pantauan-pantauan para pengadil untuk melahirkan kedisiplinan. Namun perilaku ini akan ditentang ketika sudah diketahui oleh santri lainnya atau mewabah sehingga santri tersebut akan dikeluarkan dari pondok pesantren dan jika perilaku seksualnya tertutup dengan rapi maka akan dibiarkan, meskipun diketahui oleh sebagian santri seangkatannya. Pada pola relasi eksual alaq dalaq yang nampak hanyalah pola relasi seksual alaq dalaq dengan ikatan, yakni antara santri senior yang seangkatan dan sama-sama sebagai pengurus di Organisasi Santri.

Dengan demikian, pondok pesantren Al-Amanah adalah cerminan dari institusi modern yang telah melahirkan homophobia-homophobia dalam kehidupan kesehariannya. Meskipun ada sebagian kecil dari santrinya yang berperilaku seksual sesama jenis, namun itu hanya sebagian dari bentuk pemberontakan terhadap kedisiplinan, dan kekuasaan pengetahuan.

..... [bagian selanjutnya silahkan baca di sumbernya agar thread tidak kepanjangan]


Sumber : https://www.academia.edu/13855963/Im...ndok_Pesantren
Miror sumber (kalau malas daftar di akademic.edu) :
http://www.filedropper.com/implikasi...sualitasterhad
http://s000.tinyupload.com/index.php...98223832625457

Thread terkait
Kasus Hubungan Sesama Jenis Banyak Terjadi di Pesantren :
http://www.kaskus.co.id/post/563b11e...75d44f358b4568

Mulus ?
Studi Kasus Homoseksual di Dua Pondok Pesatren di Madura
Diubah oleh hoihei 05-11-2015 11:38
0
20.9K
29
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan