TS
zephyruscaine
[Orific] Outcast
Hehe, ehm ane mau coba nulis disini mohon jangan dibully soalnya ane masih amatiran
Spoiler for Prologue:
“Huh…?”
Reed mengerjapkan matanya, berusaha mencari tahu dimana dirinya.
Awalnya, ia ingat sedang mengurung diri dalam kamarnya; memilah-milah dan merapihkan koleksi figurin dan bukunya yang berserakan karena ulah adiknya. Kini, ia duduk di tengah ruangan singgasana—dikelilingi oleh puluhan orang dengan zirah hitam, yang sedang mengacungkan tombak dan pedang ke arahnya.
“Ah!”
Reed secara refleksif mendorong badannya ke belakang, mencoba menjauhkan dirinya dari senjata-senjata itu.
“Viz kolvi? Viz!”
Salah seorang pria berzirah hitam mulai berteriak pada Reed, dalam sebuah bahasa asing yang ia sama sekali tak pernah dengar. Melihat Reed yang membisu, si pria justru semakin agresif, dan menodongkan senjatanya lebih dekat, sembari memborbardir Reed dengan teriakan demi teriakan.
“Vatur, Vatur arsh!”
Sebuah suara menggema dari belakang kerumunan itu; entah apa artinya, namun begitu mendengarnya, wajah pria itu menjadi pucat. Ia menoleh ke belakang, dan menarik senjatanya, lalu berjalan mundur menjauhi Reed. Gerakan ini diikuti setiap temannya, hingga mereka semua berdiri berbaris di samping pilar, membiarkan Reed sendirian di tengah-tengah.
“Jhai, Quil’konen dresh, arsh?”
Reed menyipitkan matannya, agak sulit melihat disini, tak ayal karena cahaya yang kurang, tapi ia yakin ia bisa melihat sosok seseorang berjalan ke arahnya; Seorang lelaki tinggi, jangkung, berbadan tegap dan memakai pakaian yang terkesan sangat mewah dan Regal.
Sebuah kerudung menghalangi bagian atas wajahnya, tapi terlihat jelas kalau dia masih muda. Dengan santai, ia mengangkat dagu Reed yang masih kebingungan, lalu bergumam:
“Voi Jhai, I’ll Konen, arsh.”
“Maaf, apa?” tanya Reed perlahan, terlalu takut untuk menaikan suaranya.
Lelaki itu tertegun, ia menatap Reed sebentar, lalu menjentikkan jarinya.
“Vi, Bellern?”
Seseorang muncul dari belakangnya, seorang pria yang lebih muda darinya. Mengenakan pakaian yang terkesan sederhana, namun tetap mewah, dengan topi yang terlalu besar untuk kepalanya. Ia membawa sebuah papan kayu yang ditempelkan kertas penuh tulisan, dan sehelai bulu yang dicelupkan tinta di ujungnya. Matanya berwarna abu-abu pekat, dan wajahnya sama sekali tak menunjukan emosi. Ia melihat Reed--hanya sebentar--sebelum membisikan sesuatu ke telinga pria yang pertama.
“Ij, Ij He.” Gumamnya.
Lelaki itu kembali memandang Reed, lalu menaruh telapak tangannya di pipi Reed—dan secara tiba-tiba menahan kepala anak itu dengan kedua tangannya.
Semua terjadi begitu cepat; Reed berusaha memberontak, mencoba melepaskan kepalannya dari cengkeraman lelaki itu. Tapi ia menghentikan semua perlawanan ketika sebuah perasaan dingin yang amat sangat menyerang badannya. Ia bisa melihat, huruf-huruf aneh yang muncul dan menari di sudut-sudut terdalam alam bawah sadar, sebuah asap biru berkilauan yang secara perlahan bergerak dari ujung pandangan, menyatu dan menutupi penglihatannya. Suara itu menjalar, mengisi setiap lorong-lorong dalam pikirannya, sebelum menghilang ke dalam kegelapan yang sunyi, meninggalkan bayangan Reed sendirian, tersesat dan kebingungan.
“Argh…”
Reed meringkuk di lantai, memegang kepalanya sambil merintih kesakitan. Apa yang baru ia rasakan memberi shock hebat, baik kepada tubuh maupun pikirannya.
“Kau masih hidup kan?”
Pria itu duduk di sisi Reed, sesekali menepuk punggungnya untuk memastikan apa dia masih hidup.
“Kau mengerti apa yang aku ucapkan?”
Reed mengangguk dengan lemah, ia mendengar jelas apa yang diucapkan pria itu. Apa yang terjadi tadi? Apa yang telah ia lakukan?
“He, hebat juga.”Ucapnya memuji.
”Memang seharusnya begitu.”
Pria dengan topi kedodoran itu ikut berkomentar, sambil menulis sesuatu di papannya.
“Orang biasa bisa mati kalau dihadapkan pada kekuatan tuan, tapi ia bisa menahannya. Memang berbeda, manusia dari dunia lain memang berbeda.”
“Dunia…Lain?” tanya Reed lemah.
“Oh maafkan sikap saya, seharusnya saya lebih sopan. Benar, kami baru saja menggunakan sihir untuk membawamu kemari. Bukan sesuatu yang mudah, tapi setidaknya berhasil.”
Reed berusaha mencerna ucapannnya, dunia lain? apa dia sedang bercanda?
“Kau serius?”
“Yang anda rasakan tadi, apa itu menurutmu tidak serius?”
Dia benar, yang tadi itu tidak biasa. Sulit menerima ucapannya, tapi lebih susah menyangkalnya. Sebaiknya Reed tidak terlalu memikirkan hal ini--Kepalanya masih agak sakit.
“Lalu yang tadi, apa itu sihir?”
Pria itu mengangguk.
Reed mengernyit, jika pria ini serius, berarti ini seperti di film dan komik yang sering ia baca; sebuah cerita dimana orang-orang kaum payah seperti dirinya dibawa ke dunia lain dan bersama teman seperjuangan melewati petualangan dan menjadi pahlawan. Apakah itu berarti dia akan mendapat nasib yang sama? melihat pakaian orang ini, tidak aneh kalau merasa ia seorang raja—itu berarti ia dipanggil karena sesuatu yang mendesak sedang mengancam kerajaan. Lebih baik ia memastikan hal ini dulu…
“Kalau begitu, kenapa anda memanggil saya?” tanya Reed.
“Itu karena kami membutuhkan bantuanmu”
Pria itu menyalami tangan Reed sambil tersenyum.
”Namaku, Darku. Aku adalah raja dari tanah tempatmu berdiri.”
Wajah Reed berubah menjadi sumringah, tebakannya benar; orang ini adalah seorang raja, dan ia membutuhkan bantuannya. Reed merasa sudah bisa membaca apa yang akan terjadi berikutnya.
“Jadi, apa yang kau butuhkan, raja?”
“Kerajaanku—aku—sedang berada dalam sebuah ancaman, temanku. Dan hanya kau yang bisa membantu kami.”
“Bantuan seperti apa?”
“Bantuan seperti, bagaimana bilangnya, yah…”
Darku menggantung kalimatnya sambil memutar jari telunjuknya.
“Seperti, katakan saja, sebuah boneka untuk kusiksa?”
Kalimat yang muncul keluar dari mulut Darku membuat Reed terparangah, karena meski Darku mengucapkannya dengan santai, ia tidak terlihat ingin bercanda. Belum sempat Reed membalas, kedua tangannya sudah dipegang oleh 2 pria berzirah hitam. Darku tertawa kecil sambil memberikan perintah pada mereka.
“Bawa dia ke penjara bawah tanah, aku ingin bicara empat mata dengannya.”
“Apa aku diperlukan?”
“Eh, aku hampir lupa. 6 mata, maksudku 6 mata! Hati-hati membawannya, kalau ada kerusakan, kalian yang bayar!”
***
Reed disekap dalam sebuah ruangan yang gelap dan lembap. Tangan dan kakinya diikat pada sebuah mata rantai di dinding. Pintu kayu dengan lubang di atasnya memberikan sedikit cahaya dari lilin yang dipasang di luar ruangan, tapi itu tak cukup untuk menyelamatkan Reed dari kegelapan yang sunyi.
“Hei, bagaimana keadaanmu?”
Darku dan pria bertopi besar itu masuk ke dalam ruangan.
“Aku harap para prajuritku tidak terlalu kasar, mereka sering begitu.”
Reed melihat ke arah Darku, pria itu tetap terlihat santai. Ia tidak percaya ini, tempat ini gelap dan lembap, kenapa ia harus ditahan disini? Apa salahnya? Dan lagi, ada apa dengan sikap Darku, dan kalimat terakhirnya?
“Kenapa kau membawaku kemari?”
Darku tersenyum, ia kembali memegang pipi Reed, menariknya beberapa kali lalu tertawa.
“Bukankah itu sudah jelas? Kita akan bersenang-senang disini. “
“Bu—bukankah kau bilang kerajaanmu dalam bahaya?”
“Ya, sebuah ancaman dengan nama “Kebosanan.” Kau tahu, kalau aku bosan, aku ini pemarah. Dan mungkin, mungkin, aku akan turun ke pedesaan dan membunuh semua orang disana. Karena aku bosan, dan membunuh orang itu menyenangkan. Tapi jelas, itu buruk untuk kantongku, dan ekonomi kerajaan. Jadi si pintar iniii…”
Darku menunjuk si Pria bertopi besar.
“Memberiku ide untuk memanggil orang dari dunia lain dan menggunakannya untuk mengganjal rasa bosan.”
Reed bergidik ngeri, ia tak bisa mempercayai apa yang baru ia dengar. Apa orang ini serius? Bagaimana dia bisa membicarakan hal seperti itu dengan santainya? Dan lagi, apa ini berarti dia akan…
“Aku sudah lama tidak kemari.”
“Anda baru kemari seminggu yang lalu, tuan.”
“Cukup lama buatku. Lagipula, yang terakhir kurang memuaskan—ia terlalu cepat mati, aku tidak suka itu.”
“Mungkin, tuan, dia tidak akan mati secepat itu kalau anda tidak mengenai wajahnya.”
“Tujuannya memang mengenai kepala, kok.” Sungut Darku.
“Tengkoraknya saja yang lembek.”
Reed sudah tak tahan, ia tak bisa mendengar ini lebih lama. Ia berontak, mencoba mencoba melepaskan diri. Tapi Darku kembali menahannya. Entah dengan cara apa, tapi pria itu berhasil membuat Reed tenang, dan takut saat bersamaan.
“Tenangkan dirimu, aku tidak mau kau rusak sebelum aku bisa memakaimu.” Ujar Darku.
“Aku keluar uang banyak untuk membeli gulungan itu, aku nggak mau pengorbanan itu jadi sia-sia.”
“Sebenarnya tuan, anda Cuma menyumbang seperempat dari biaya total, sisannya adalah gaji saya.”
“Ssst, apa yang sudah kuajarkan soal berbagi?”
“Maaf tuan, maafkan saya.”
“Pintar, sekarang tutup mulutmu, dan ambilkan aku ‘benda itu.”
Pria itu mengangguk, ia bergegas keluar ruangan, mengikuti perintah Darku.
“Kau tahu, apa yang tak kusukai dari manusia? Mereka kadaluarsa terlalu cepat. Remukan badannya, hancurkan kepalanya, tusuk jantungnya dan boom! Aku kehilangan satu lagi mainanku.”
Darku mengeluarkan sesuatu dari lengan bajunya—sebuah tengkorak manusia. Ia mengelus-nya sebentar, sebelum meremuknya dengan tangan kosong, tepat di depan wajah Reed.
“Aku tidak mengeluh, jelas tidak. Karena kalian mati dengan mudah, kalian begitu menyayangi nyawa kalian; adalah sebuah hiburan untukku melihat kalian berteriak, menangis, minta tolong dan semacamnya. Sayangnya, seperti yang sudah kukatakan tadi; manusia itu, lemah, dan payah, dan rapuh.”
“Tuan, ini ramuan yang anda inginkan.”
Pria itu kembali membawa sebuah botol berisi cairan berwarna merah. Darku mengambilnya dari tangan pria itu, dan mengucapkan beberapa kata—seketika itu, muncul gemerlap di sekitar botol, sebuah cahaya yang berkilau berwarna merah darah.
“Mungkin, aku mungkin bisa membangkitkan mereka sebagai mayat hidup. Tentu, mereka akan bertahan selamannya, tapi tetap saja rasanya tak sama. Kau tahu kenapa? Karena ada yang kurang—teriakan minta tolong, tangisan pilu, terror yang berkecamuk di hati kalian. Sungguh, tidak ada satupun yang bisa menandingi perasaan itu, lukisan akan menjadi indah jika warna yang digunakan kontras satu sama lain, dan tak ada perasaan yang bisa menyamai gelak tawaku, kecuali penderitaan orang lain di saat yang bersamaan.”
“Lalu aku berpikir, oh ya, bagaimana kalau aku membuat sesuatu? Yang hidup tapi tak bisa mati, yang bisa membuatku puas setiap hari? Boneka siksaan yang akan bertahan selamannya, itu adalah impianku. Jadi aku membuat obat ini…”
Darku menggoyangkan botol yang ia bawa.
“Sebuah obat yang bisa membantuku mencapai impianku. Sayangnya, ini tidak semudah yang terdengar. Orang-orang disini, tidak satupun bisa menahan efek samping obat ini. Mereka mati, bermutasi, dan tak satupun bisa selamat.”
“Tapi kau, kau berbeda. Kau berasal dari dunia yang berbeda. Orang-orang disini, mereka tak bisa menahan kekuatanku, tapi kau, kau bisa. Apa itu berarti, kau bisa menjinakan benda ini?”
Darku membuka botol itu, sebuah asap merah mengepul keluar dari dalamnya. Dengan cepat, ia menahan dagu Reed dan menaruh ujung botol di mulutnya.
“Ayo, kita pastikan.”
“…!”
Reed bisa merasakan tubuhnya remuk, organ-organnya ditekan, darahnya dipompa sangat cepat hingga melukai pembuluhnya. Ia bisa merasakan panas, berasal dari bawah perut, menyebar ke seluruh permukaan kulit dan membakar apapun yang dilewatinnya. Sel-selnya dihancurkan, dibuat dan dihancurkan kembali dalam sepersekian detik, tulangnya ditarik-tarik, dan bola matanya membesar dan menciut. Keringat dan asap keluar dari pori-porinya yang kini terbuka lebar, sebelum ia kehilangan rasa atas seluruh badannya.
“Menurutmu, dia akan selamat?”
“Kecil kemungkinan, apa yang akan tuan lakukan kalau ia sampai bermutasi?”
“Jika itu sampai terjadi, semua biaya ditanggung gajimu.”
Tapi Reed tidak mati. Pori-pori sudah menutup, tubuhnya sudah mendingin dan ia bisa kembali merasakan badannya. Meski begitu, ia bisa merasakan sesuatu yang berbeda dalam badannya, sesuatu yang terlahir setelah ia mengengguk obat itu.
“Ay, sepertinya berhasil.”
“Kau, monster…”
“Sekarang, kita lihat efeknya.”
Reed bisa merasakan sesuatu yang aneh; Sesuatu yang dingin menyentuh kulit lengannya, sebelum saraf-sarafnya bisa meregistrasikan bahwa kini, lengannya telah terpisah dari badannya.
“ARGH!”
Darku tertawa, Ia memotong Lengan Reed menggunakan pisau kecil. Reed berteriak, mengerang kesakitan. Tapi sesuatu yang menakjubkan terjadi; Secara perlahan, otot-otot Reed mulai menyambung, menutupi satu sama lain dan menyatu, membentuk sebuah lengan baru dalam hitungan menit.
Darku memperhatikan itu dengan seksama, sebelum melepaskan tawa dan tepuk tangan yang keras.
“Hebat, hebat sekali!”
End-
Reed mengerjapkan matanya, berusaha mencari tahu dimana dirinya.
Awalnya, ia ingat sedang mengurung diri dalam kamarnya; memilah-milah dan merapihkan koleksi figurin dan bukunya yang berserakan karena ulah adiknya. Kini, ia duduk di tengah ruangan singgasana—dikelilingi oleh puluhan orang dengan zirah hitam, yang sedang mengacungkan tombak dan pedang ke arahnya.
“Ah!”
Reed secara refleksif mendorong badannya ke belakang, mencoba menjauhkan dirinya dari senjata-senjata itu.
“Viz kolvi? Viz!”
Salah seorang pria berzirah hitam mulai berteriak pada Reed, dalam sebuah bahasa asing yang ia sama sekali tak pernah dengar. Melihat Reed yang membisu, si pria justru semakin agresif, dan menodongkan senjatanya lebih dekat, sembari memborbardir Reed dengan teriakan demi teriakan.
“Vatur, Vatur arsh!”
Sebuah suara menggema dari belakang kerumunan itu; entah apa artinya, namun begitu mendengarnya, wajah pria itu menjadi pucat. Ia menoleh ke belakang, dan menarik senjatanya, lalu berjalan mundur menjauhi Reed. Gerakan ini diikuti setiap temannya, hingga mereka semua berdiri berbaris di samping pilar, membiarkan Reed sendirian di tengah-tengah.
“Jhai, Quil’konen dresh, arsh?”
Reed menyipitkan matannya, agak sulit melihat disini, tak ayal karena cahaya yang kurang, tapi ia yakin ia bisa melihat sosok seseorang berjalan ke arahnya; Seorang lelaki tinggi, jangkung, berbadan tegap dan memakai pakaian yang terkesan sangat mewah dan Regal.
Sebuah kerudung menghalangi bagian atas wajahnya, tapi terlihat jelas kalau dia masih muda. Dengan santai, ia mengangkat dagu Reed yang masih kebingungan, lalu bergumam:
“Voi Jhai, I’ll Konen, arsh.”
“Maaf, apa?” tanya Reed perlahan, terlalu takut untuk menaikan suaranya.
Lelaki itu tertegun, ia menatap Reed sebentar, lalu menjentikkan jarinya.
“Vi, Bellern?”
Seseorang muncul dari belakangnya, seorang pria yang lebih muda darinya. Mengenakan pakaian yang terkesan sederhana, namun tetap mewah, dengan topi yang terlalu besar untuk kepalanya. Ia membawa sebuah papan kayu yang ditempelkan kertas penuh tulisan, dan sehelai bulu yang dicelupkan tinta di ujungnya. Matanya berwarna abu-abu pekat, dan wajahnya sama sekali tak menunjukan emosi. Ia melihat Reed--hanya sebentar--sebelum membisikan sesuatu ke telinga pria yang pertama.
“Ij, Ij He.” Gumamnya.
Lelaki itu kembali memandang Reed, lalu menaruh telapak tangannya di pipi Reed—dan secara tiba-tiba menahan kepala anak itu dengan kedua tangannya.
Semua terjadi begitu cepat; Reed berusaha memberontak, mencoba melepaskan kepalannya dari cengkeraman lelaki itu. Tapi ia menghentikan semua perlawanan ketika sebuah perasaan dingin yang amat sangat menyerang badannya. Ia bisa melihat, huruf-huruf aneh yang muncul dan menari di sudut-sudut terdalam alam bawah sadar, sebuah asap biru berkilauan yang secara perlahan bergerak dari ujung pandangan, menyatu dan menutupi penglihatannya. Suara itu menjalar, mengisi setiap lorong-lorong dalam pikirannya, sebelum menghilang ke dalam kegelapan yang sunyi, meninggalkan bayangan Reed sendirian, tersesat dan kebingungan.
“Argh…”
Reed meringkuk di lantai, memegang kepalanya sambil merintih kesakitan. Apa yang baru ia rasakan memberi shock hebat, baik kepada tubuh maupun pikirannya.
“Kau masih hidup kan?”
Pria itu duduk di sisi Reed, sesekali menepuk punggungnya untuk memastikan apa dia masih hidup.
“Kau mengerti apa yang aku ucapkan?”
Reed mengangguk dengan lemah, ia mendengar jelas apa yang diucapkan pria itu. Apa yang terjadi tadi? Apa yang telah ia lakukan?
“He, hebat juga.”Ucapnya memuji.
”Memang seharusnya begitu.”
Pria dengan topi kedodoran itu ikut berkomentar, sambil menulis sesuatu di papannya.
“Orang biasa bisa mati kalau dihadapkan pada kekuatan tuan, tapi ia bisa menahannya. Memang berbeda, manusia dari dunia lain memang berbeda.”
“Dunia…Lain?” tanya Reed lemah.
“Oh maafkan sikap saya, seharusnya saya lebih sopan. Benar, kami baru saja menggunakan sihir untuk membawamu kemari. Bukan sesuatu yang mudah, tapi setidaknya berhasil.”
Reed berusaha mencerna ucapannnya, dunia lain? apa dia sedang bercanda?
“Kau serius?”
“Yang anda rasakan tadi, apa itu menurutmu tidak serius?”
Dia benar, yang tadi itu tidak biasa. Sulit menerima ucapannya, tapi lebih susah menyangkalnya. Sebaiknya Reed tidak terlalu memikirkan hal ini--Kepalanya masih agak sakit.
“Lalu yang tadi, apa itu sihir?”
Pria itu mengangguk.
Reed mengernyit, jika pria ini serius, berarti ini seperti di film dan komik yang sering ia baca; sebuah cerita dimana orang-orang kaum payah seperti dirinya dibawa ke dunia lain dan bersama teman seperjuangan melewati petualangan dan menjadi pahlawan. Apakah itu berarti dia akan mendapat nasib yang sama? melihat pakaian orang ini, tidak aneh kalau merasa ia seorang raja—itu berarti ia dipanggil karena sesuatu yang mendesak sedang mengancam kerajaan. Lebih baik ia memastikan hal ini dulu…
“Kalau begitu, kenapa anda memanggil saya?” tanya Reed.
“Itu karena kami membutuhkan bantuanmu”
Pria itu menyalami tangan Reed sambil tersenyum.
”Namaku, Darku. Aku adalah raja dari tanah tempatmu berdiri.”
Wajah Reed berubah menjadi sumringah, tebakannya benar; orang ini adalah seorang raja, dan ia membutuhkan bantuannya. Reed merasa sudah bisa membaca apa yang akan terjadi berikutnya.
“Jadi, apa yang kau butuhkan, raja?”
“Kerajaanku—aku—sedang berada dalam sebuah ancaman, temanku. Dan hanya kau yang bisa membantu kami.”
“Bantuan seperti apa?”
“Bantuan seperti, bagaimana bilangnya, yah…”
Darku menggantung kalimatnya sambil memutar jari telunjuknya.
“Seperti, katakan saja, sebuah boneka untuk kusiksa?”
Kalimat yang muncul keluar dari mulut Darku membuat Reed terparangah, karena meski Darku mengucapkannya dengan santai, ia tidak terlihat ingin bercanda. Belum sempat Reed membalas, kedua tangannya sudah dipegang oleh 2 pria berzirah hitam. Darku tertawa kecil sambil memberikan perintah pada mereka.
“Bawa dia ke penjara bawah tanah, aku ingin bicara empat mata dengannya.”
“Apa aku diperlukan?”
“Eh, aku hampir lupa. 6 mata, maksudku 6 mata! Hati-hati membawannya, kalau ada kerusakan, kalian yang bayar!”
***
Reed disekap dalam sebuah ruangan yang gelap dan lembap. Tangan dan kakinya diikat pada sebuah mata rantai di dinding. Pintu kayu dengan lubang di atasnya memberikan sedikit cahaya dari lilin yang dipasang di luar ruangan, tapi itu tak cukup untuk menyelamatkan Reed dari kegelapan yang sunyi.
“Hei, bagaimana keadaanmu?”
Darku dan pria bertopi besar itu masuk ke dalam ruangan.
“Aku harap para prajuritku tidak terlalu kasar, mereka sering begitu.”
Reed melihat ke arah Darku, pria itu tetap terlihat santai. Ia tidak percaya ini, tempat ini gelap dan lembap, kenapa ia harus ditahan disini? Apa salahnya? Dan lagi, ada apa dengan sikap Darku, dan kalimat terakhirnya?
“Kenapa kau membawaku kemari?”
Darku tersenyum, ia kembali memegang pipi Reed, menariknya beberapa kali lalu tertawa.
“Bukankah itu sudah jelas? Kita akan bersenang-senang disini. “
“Bu—bukankah kau bilang kerajaanmu dalam bahaya?”
“Ya, sebuah ancaman dengan nama “Kebosanan.” Kau tahu, kalau aku bosan, aku ini pemarah. Dan mungkin, mungkin, aku akan turun ke pedesaan dan membunuh semua orang disana. Karena aku bosan, dan membunuh orang itu menyenangkan. Tapi jelas, itu buruk untuk kantongku, dan ekonomi kerajaan. Jadi si pintar iniii…”
Darku menunjuk si Pria bertopi besar.
“Memberiku ide untuk memanggil orang dari dunia lain dan menggunakannya untuk mengganjal rasa bosan.”
Reed bergidik ngeri, ia tak bisa mempercayai apa yang baru ia dengar. Apa orang ini serius? Bagaimana dia bisa membicarakan hal seperti itu dengan santainya? Dan lagi, apa ini berarti dia akan…
“Aku sudah lama tidak kemari.”
“Anda baru kemari seminggu yang lalu, tuan.”
“Cukup lama buatku. Lagipula, yang terakhir kurang memuaskan—ia terlalu cepat mati, aku tidak suka itu.”
“Mungkin, tuan, dia tidak akan mati secepat itu kalau anda tidak mengenai wajahnya.”
“Tujuannya memang mengenai kepala, kok.” Sungut Darku.
“Tengkoraknya saja yang lembek.”
Reed sudah tak tahan, ia tak bisa mendengar ini lebih lama. Ia berontak, mencoba mencoba melepaskan diri. Tapi Darku kembali menahannya. Entah dengan cara apa, tapi pria itu berhasil membuat Reed tenang, dan takut saat bersamaan.
“Tenangkan dirimu, aku tidak mau kau rusak sebelum aku bisa memakaimu.” Ujar Darku.
“Aku keluar uang banyak untuk membeli gulungan itu, aku nggak mau pengorbanan itu jadi sia-sia.”
“Sebenarnya tuan, anda Cuma menyumbang seperempat dari biaya total, sisannya adalah gaji saya.”
“Ssst, apa yang sudah kuajarkan soal berbagi?”
“Maaf tuan, maafkan saya.”
“Pintar, sekarang tutup mulutmu, dan ambilkan aku ‘benda itu.”
Pria itu mengangguk, ia bergegas keluar ruangan, mengikuti perintah Darku.
“Kau tahu, apa yang tak kusukai dari manusia? Mereka kadaluarsa terlalu cepat. Remukan badannya, hancurkan kepalanya, tusuk jantungnya dan boom! Aku kehilangan satu lagi mainanku.”
Darku mengeluarkan sesuatu dari lengan bajunya—sebuah tengkorak manusia. Ia mengelus-nya sebentar, sebelum meremuknya dengan tangan kosong, tepat di depan wajah Reed.
“Aku tidak mengeluh, jelas tidak. Karena kalian mati dengan mudah, kalian begitu menyayangi nyawa kalian; adalah sebuah hiburan untukku melihat kalian berteriak, menangis, minta tolong dan semacamnya. Sayangnya, seperti yang sudah kukatakan tadi; manusia itu, lemah, dan payah, dan rapuh.”
“Tuan, ini ramuan yang anda inginkan.”
Pria itu kembali membawa sebuah botol berisi cairan berwarna merah. Darku mengambilnya dari tangan pria itu, dan mengucapkan beberapa kata—seketika itu, muncul gemerlap di sekitar botol, sebuah cahaya yang berkilau berwarna merah darah.
“Mungkin, aku mungkin bisa membangkitkan mereka sebagai mayat hidup. Tentu, mereka akan bertahan selamannya, tapi tetap saja rasanya tak sama. Kau tahu kenapa? Karena ada yang kurang—teriakan minta tolong, tangisan pilu, terror yang berkecamuk di hati kalian. Sungguh, tidak ada satupun yang bisa menandingi perasaan itu, lukisan akan menjadi indah jika warna yang digunakan kontras satu sama lain, dan tak ada perasaan yang bisa menyamai gelak tawaku, kecuali penderitaan orang lain di saat yang bersamaan.”
“Lalu aku berpikir, oh ya, bagaimana kalau aku membuat sesuatu? Yang hidup tapi tak bisa mati, yang bisa membuatku puas setiap hari? Boneka siksaan yang akan bertahan selamannya, itu adalah impianku. Jadi aku membuat obat ini…”
Darku menggoyangkan botol yang ia bawa.
“Sebuah obat yang bisa membantuku mencapai impianku. Sayangnya, ini tidak semudah yang terdengar. Orang-orang disini, tidak satupun bisa menahan efek samping obat ini. Mereka mati, bermutasi, dan tak satupun bisa selamat.”
“Tapi kau, kau berbeda. Kau berasal dari dunia yang berbeda. Orang-orang disini, mereka tak bisa menahan kekuatanku, tapi kau, kau bisa. Apa itu berarti, kau bisa menjinakan benda ini?”
Darku membuka botol itu, sebuah asap merah mengepul keluar dari dalamnya. Dengan cepat, ia menahan dagu Reed dan menaruh ujung botol di mulutnya.
“Ayo, kita pastikan.”
“…!”
Reed bisa merasakan tubuhnya remuk, organ-organnya ditekan, darahnya dipompa sangat cepat hingga melukai pembuluhnya. Ia bisa merasakan panas, berasal dari bawah perut, menyebar ke seluruh permukaan kulit dan membakar apapun yang dilewatinnya. Sel-selnya dihancurkan, dibuat dan dihancurkan kembali dalam sepersekian detik, tulangnya ditarik-tarik, dan bola matanya membesar dan menciut. Keringat dan asap keluar dari pori-porinya yang kini terbuka lebar, sebelum ia kehilangan rasa atas seluruh badannya.
“Menurutmu, dia akan selamat?”
“Kecil kemungkinan, apa yang akan tuan lakukan kalau ia sampai bermutasi?”
“Jika itu sampai terjadi, semua biaya ditanggung gajimu.”
Tapi Reed tidak mati. Pori-pori sudah menutup, tubuhnya sudah mendingin dan ia bisa kembali merasakan badannya. Meski begitu, ia bisa merasakan sesuatu yang berbeda dalam badannya, sesuatu yang terlahir setelah ia mengengguk obat itu.
“Ay, sepertinya berhasil.”
“Kau, monster…”
“Sekarang, kita lihat efeknya.”
Reed bisa merasakan sesuatu yang aneh; Sesuatu yang dingin menyentuh kulit lengannya, sebelum saraf-sarafnya bisa meregistrasikan bahwa kini, lengannya telah terpisah dari badannya.
“ARGH!”
Darku tertawa, Ia memotong Lengan Reed menggunakan pisau kecil. Reed berteriak, mengerang kesakitan. Tapi sesuatu yang menakjubkan terjadi; Secara perlahan, otot-otot Reed mulai menyambung, menutupi satu sama lain dan menyatu, membentuk sebuah lengan baru dalam hitungan menit.
Darku memperhatikan itu dengan seksama, sebelum melepaskan tawa dan tepuk tangan yang keras.
“Hebat, hebat sekali!”
End-
0
2.9K
Kutip
16
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan