fadli0zAvatar border
TS
fadli0z
Menemukan Bahagia di Bulakan (Taman Nasional Ujung Kulon)

Bulakan


“Etaa (itu)” Tenda kami disenteri lagi. Mereka perlahan berjalan mendekat. Sementara itu di dalam tenda kami sudah bersiap, pisau belati besar sudah di genggam erat oleh salah satu diantara kami. Berjaga-jaga kalau saja kami dirampok di hutan belantara ini.

“Sttt siap-siap saja, kita di dalam saja. “ bisik saya kepada teman-teman. Kami semua berpura-pura masih tertidur sambil menunggu perkembangan situasi diluar. Suara ranting dan daun kering terinjak cukup terdengar, mereka mulai berjalan mendekat ke arah kami. Kami mencoba untuk tidak panik. Semoga kami tidak dirampok, kalau dirampok habis sudah.

**
Ada satu tempat wisata alam yang wajib kalian kunjungi apabila kalian memiliki rencana mengunjungi Taman Nasional Ujung Kulon dalam waktu dekat, tempat tersebut adalah Bulakan. Sebuah kolam yang terbentuk secara alami di Sungai Tamanjaya, airnya super bening berwarna biru kehijauan dengan lebar sekitar 15-17 M dan titik terdalam sekitar 3-4 M yang berlokasi di hutan hujan tropis Gunung Honje. Kondisi airnya begitu murni terjaga, bisa langsung diminum tanpa menyebabkan sakit perut! Bagaimana saya bisa tahu tempat ini? Simak cerita berikut.

Ajakan dari Kawan

21 Juli lalu seorang teman lama, Tian, yang sekarang berprofesi menjadi seorang guide di salah satu agen wisata menghubungi saya untuk melakukan sebuah perjalanan menjelajah alam untuk menemukan sebuah air terjun yang masih alami di hutan Gunung Honje, Tamanjaya. Nama air terjunnya adalah Curug Cikacang. Dia mengetahui lokasi dan nama tersebut dari salah satu pemilik penginapan di Tamanjaya, Pak Komar. Pak Komar juga lah orang pertama kali yang memperkenalkan Bulakan kepada Tian beberapa bulan silam. Saat mengunjungi Bulakan itu Pak Komar sempat mengatakan bahwa ada air terjun yang masih alami yang bisa ditemui apabila masuk lebih jauh kedalam hutan. Berbekal informasi yang tidak lengkap itu Tian menghasut saya dan rekan untuk menemukan air terjun tersebut.

Perjalanan yang Melelahkan


Spoiler for Rute Perjalanan. Jangan percaya googlemaps!:


5 orang akhirnya sepakat untuk mencari lokasi air terjun tersebut (Penulis, Tian, Ali, Nana, dan Hadi) Semuanya adalah teman SMP penulis. Kita berangkat menggunakan sepeda motor. Check point perjalanan pertama adalah Perkampungan di Tamanjaya, sebuah kampung yang masuk dalam kawasan TN. Ujung Kulon. Kampung ini adalah pintu masuk menuju Bulakan. Rencananya di kampung itu kita akan tanyakan ke warga sekitar tentang lokasi air terjun. Untuk menuju Tamanjaya sendiri bisa menggunakan 2 rute favorit, yaitu:

(1) Serang-Pandeglang-Labuhan-Cibaliung-Sumur-Tamanjaya
(2) Serang-Cilegon-Anyer-Labuhan-Cibaliung-Sumur-Tamanjaya

Waktu yang ditempuh sekitar 5 jam perjalanan (kecepatan normal) dengan medan bervariasi mulai dari dataran rendah perkotaan – perbukitan – pantai. Sepanjang perjalanan kalian akan disuguhkan pemandangan indah yang menyegarkan mata dan mengusir bosan.

Kondisi aspal bisa tergolong cukup baik hingga Cibaliung namun mulai memasuki wilayah Sumur kondisinya berbalik 180 derajat. Jalannya rusak parah, aspalnya mengelupas yang tersisa hanya bebatuan-tanah-debu. Sebaiknya gunakan motor besar dengan shockbreaker yang bagus agar bisa lebih nyaman mengarungi jalan tersebut karena butuh 45 menit lamanya melahap medan jalan tersebut hingga sampai di checkpoint pertama.

Pukul 2.00 kami sampai di Tamanjaya dan segera bergegas menuju kampung yang dituju. Lokasi perkampungan sekitar 100 M dari SD Tamanjaya 3. Pintu masuk menuju perkampungan adalah sebuah jalan kampung sebelah kiri jalan utama dengan sebuah penanda rumah tingkat yang memiliki parabola di depannya.

Spoiler for Ali di jalan pintu masuk kampung:


Setelah menempuh 200 M di kami tiba di ujung perkampungan. Tian mengatakan bahwa motor sudah tidak bisa jalan lagi karena medan yang harus dilewati adalah persawahan dan hutan. Kita berhenti sejenak di area rerumputan yang di penuhi pohon kelapa. Tian-Hadi-Nana kemudian bertugas mencari informasi terkait air terjun ke warga sekitar sedangkan saya dan Ali beristirahat sejenak.

Selang beberapa menit kemudian mereka bertiga datang bersama seorang laki-laki yang saya taksir berumur 40an akhir, Pak Alik namanya. Sesuatu yang tak terduga keluar dari mulut Pak Alik, beliau mengatakan bahwa kita salah jalan! Perkampungan ini adalah hanya pintu masuk menuju Bulakan dan sumber mata air panas Cibiuk, sedangkan untuk mencapai Curug Cikacang diperlukan waktu tempuh sekitar kurang lebih 1-1,5 jam lagi menuju tempat lain.

Kami awalnya masih ngotot ingin ke Cikacang namun setelah penuturan Pak Alik yang mengatakan tinggi air terjun Cikacang hanya 2 M dengan lebar kolam kecil membuat kami berubah pikiran. Rasa-rasanya kok tidak sepadan dengan pengorbanan yang dikeluarkan, kami akhirnya memutuskan ingin ke Bulakan dan kolam air panas Cibiuk saja. Motor kami parkirkan di rumah Pak Alik, beliau ini agak sedikit ngotot ingin menemani kami menuju Bulakan dan Cibiuk, namun dengan sopan kami katakan bahwa kami sudah ada Tian, orang yang tahu menuju lokasi tersebut. Alasan lain kami menolak jasa guide beliau adalah karena jujur kami tidak menyiapkan budget khusus untuk seorang guide.

Pertualangan Dimulai


Spoiler for Tian di area pesawahan:


Kami meninggalkan Pak Alik yang masih dirundung rasa kecewa dibelakang, berjalan menuju titik pemberhentian semula di rerumputan yang dipenuhi pohon kelapa. Tian berdiri di depan memimpin jalan, memandu kami. Setelah 100 meter perjalanan medan yang kita lewati adalah pesawahan yang cukup luas. Padi berwarna hijau-kuning menghampar di kiri-kanan kami, suara gemericik sungai terdengar lembut di sela-sela pematang, air nya jernih, ikan-ikan kecil hidup tenang tak diburu anak-anak desa, berenang-renang kesana-kemari. Sementara itu bukit-bukit hijau dan hutan lebat siap menyambut kami di depan sana dengan segudang aneka hewan dan misteri di dalamnya.

Baru menempuh beberapa meter di area persawahan, kita dikagetkan dengan terbangnya seekor burung pelikan hitam besar yang terbang ke langit biru luas dengan begitu anggunnya. Sebuah pemandangan yang jarak disaksikan bagi mereka yang hidup di perkotaan. Kita berdecak kagum melihatnya dan tak terasa pintu masuk hutan telah menyambut kami berlima, aroma pertualangan semakin tercium kuat. Kami mulai mengerti akan perkataan Pak Alik yang mengatakan bahwa jangan memakai sepatu apabila ke Bulakan. Di depan kami adalah sungai kecil selebar setengah meter dan sedalam betis. Mereka yang memakai sepatu akhirnya berganti dengan sandal. Air sungainya sangat menyegarkan kaki, sejenak kita berfoto dahulu untuk mengabadikan momen ini, biasalah anak muda jaman sekarang, nggak foto nggak afdol katanya.

Kami mulai masuk semakin dalam ke hutan, pohon-pohon besar berdiri kokoh menjulang membentuk kanopi, akar-akar besar terlihat bergelantungan pada beberapa jenis pohon. Cahaya matahari tidak kuat menembus-menjelajah-menerangi tiap sudut hutan, meninggalkan kesan suram dan muram. Kupu-kupu berwarna hijau-biru terbang saat kami menginjak dedaunan kering di jalan setapak. Kondisi hutan yang lebat ini mengingatkan saya akan hutan gunung slamet yang sama-sama lebatnya.

Hanya sedikit obrolan yang terjadi diantara kami. Kami ingin melebur dalam suasan hutan yang meski terlihat muram namun meneduhkan. Tidak perlu memutar musik untuk mengiringi langkah perjalanan karena kicauan aneka burung sudah cukup memanjakan telinga dan menghilangkan sepi. Obrolan yang terjadi hanya terkait kekhawatiran akan didekati binatang hutan lantaran Nana membawa satu plastik udang laut untuk umpan memancing yang bau amisnya terasa kuat sekali.

Jalan setapak berakhir yang kami lewati berakhir berganti sungai. “Sekarang kita mulai susur sungai” Kata Tian. Kami beristirahat sejenak di sebuah batu kali besar sambil menikmati suasana sekitar yang asri. 10 menit kemudian kami melakukan treking kembali kali ini medannya bukan lagi hutan belantara melainkan sungai, yah kami akan melakukan susur sungai hinggai sampai di Bulakan. Sungainya dipenuhi dengan bebatuan beragam ukuran, air mengalir di antara bebatuan itu sementara dikiri-kanan sungai pepohonan lebat dan rapat menjulang tinggi layaknya tembok.

Dalam perjalanan menuju Bulakan kami berpapasan dengan dua anak laki-laki kampung sekitar, namanya Anton dan Burhan. Bersama mereka kami melanjutkan menjelajah sungai yang bisa dibilang masih perawan ini. Air sungai jernih sejernih-jernihnya dan ada banyak ikan hidup di sungai tersebut. Hewan lain yang banyak kita lihat adalah beraneka warna capung yang terbang kesana kemari. Capung merupakan hewan yang bisa digunakan menjadi indikator kualitas air di suatu tempat, semakin banyak capung kualitas air dapat dikatakan semakin bagus. Di sepanjang perjalanan juga kami sering menemukan jejak kaki dan kotoran hewan liar yang menandakan bahwa sungai ini merupakan urat nadi kehidupan hewan hutan.

Iseng saya bertanya kepada Anton (yg ternyata anak Pak Alik) .”Disini ada hewan apa saja yah? Macan ada?” Reaksi Anton cukup membuat saya kaget. Dia membalikan badan menghadap saya dengan memasang muka serius-datar, tidak ada suara yang keluar dari mulut kecilnya, jari manisnya diangkat didepan bibir. Oh saya mengerti maksudnya, disini ada macan atau macan klenik setidaknya.

Dan akhirnya setelah total 45 menit kita habiskan untuk melakukan treking lintas medan: sawah-hutan-sungai. Saat lelah dan letih mulai menggelayuti badan, di sana, di depan mata akhirnya terlihat sebuah kolam alami yang begitu menggoda dan menyegarkan mata. Lebarnya saya taksir hanya sekitar 12-15 M, airnya jernih memiliki gradasi biru tua- muda. Kolamnya berbentuk lingkaran dengan pepohonan tinggi menjulang disekitarnya. Ada satu tali yang sengaja diikat di pohon besar terdekat oleh warga untuk bermain ayunan bak Tarzan.

Tanpa ba bi bu be bo dua bocah tadi langsung melepaskan pakaian dan menceburkan diri di kolam, berenang kesana kemari dengan penuh bahagia. Saya dan Tian tak mau ketinggalan, langsung menanggalkan pakaian hingga yang tersisa hanyalah celana dalam. Brrr airnya cukup dingin rupanya dan cukup dalam juga. Segar sekali mandi disini rasa-rasanya segala lelah selama menempuh perjalanan lenyap seketika.


Tak berapa lama kemudian Ali dan Nana yang tertinggal dibelakang datang menyusul dengan membawa satu orang tamu yang tak terduga, Pak Alik. Rupanya dia semangat sekali ingin menemani kami namun kami tegaskan kalau nanti dia meminta bayaran lebih (yang akhirnya tidak) kami tidak mau terima karena kami tidak meminta jasa guide dia. Masalah Pak Alik tidak mau kita pusingkan, kami berlima larut dalam keriaan bermain air bak anak kecil umur lima tahun.


Spoiler for Bulakan dari citra satelit:


Spoiler for Ada Tarzan lewaatt!:


Malam Mencekam!

Spoiler for Tenda kami:


Waktu menunjukan hampir pukul 6. Sisa cahaya senja terakhir akan segera lenyap, suasana menjadi terasa lebih gelap karena pepohonan tinggi besar yang mengelilingi Bulakan membentuk kanopi. Yang tersisa dari kami tinggal 4 orang, Pak Alik beserta dua bocah tadi sudah berpamitan sejak pukul 5 dan Tian juga pergi karena urusan pekerjaan guide. Tian yang menghasut kita untuk datang kemari sekarang dia malah pergi tak kembali, teman macam apa ini? Nggak asik!.

Memasuki malam suasana berubah drastis 180 derajat. Suara-suara hewan pun berubah dari burung berkicau merdu menjadi suara burung hantu. Serangga-serangga dan kodok bagong malam mulai mengambil alih panggung alam. Dan perlahan namun pasti suara anjing dan babi hutan mulai terasa merdu sekali. Kami bertahan kalau hanya mendengar suara-suara itu kecuali suara cicitan ayam atau bebek yang terdengar pelan menjauhi kami karena kami haqul yakin itu pasti mbah kunti dan malam ini adalah malam jumat jadi suasana mistis akan terasa kental sekali.

Kami membakar ranting-ranting kering untuk membuat api unggu kecil di depan tenda yang sudah kami berdirikan sejak pukul 5.30 sore tadi. Membiarkan asap berhamburan terbang agar tak ada hewan liar yang datang. Ada satu pemandangan yang cukup mebelalakan mata, kunang-kunang banyak sekali berterbangan di langit malam. Indah! Sebuah pemandangan yang sudah sangat jaraang sekali saya lihat.

Bisa dibilang kami dipaksa untuk memasuki tenda setelah cahaya terakhir lenyap. Tidak ada yang membawa senter atau headlamp karena minim persiapan, buru-buru. Langsung saja masuk ke tenda umplek-umplekan ambil lapak. Dan sialnya adalah lapak yang tersisa bagi saya hanya di ujung tenda. Sebetulnya sangat khawatir dengan lokasi pendirian tenda ini. Menurut ilmu pendakian yang saya miliki, lokasi berdirinya tenda sebetulnya sangatlah tidak cocok dan membahayakan karena kami membelakangi jalan setapak dekat kolam tempat manusia dan pastinya hewan lalu lalang menuju sungai untuk minum dsb. Kalau ada gerombolan babi – anjing atau bahkan badak maka sangat haqul yakin tenda akan diseruduk mereka dan saya adalah korban pertamanya akibat tidur di posisi pojok kiri dan pas di belakang jalan setapak. Akibat hal ini semua keimanan dan ketakwaan saya diprediksikan naik sekitar 20 % malam itu, selepas memasuki tenda dalam hati saya terus berdzikir dan berdoa semoga tidak ada hewan liar – manusia – atau bahkan hantu yang lewat.

Sangat berat untuk mencoba tidur malam itu karena campuran komposisi suara yang ada bukannya meninabobokan tapi menakutkan. Suara Jangkrik-kodok-serangga malam-burung hantu-babi-anjing hutan-dan suara aneh hewan lainnya saling bergantian sahut-sahutan tak mau kalah. Untungnya kami camp dekat aliran air setidaknya suara aliran dan gemerisik air lumayan melawan suara-suara tadi. Dan tak lupa kami juga berdoa semoga tidak ada suara orang berenang atau bermainan air malam-malam, karena kalau itu kejadian bergadang lah kita semalaman sambil berpelukan (ini lebay). Jujur ini pengalaman pertama saya camp dengan kondisi “ramai” seperti ini, lebih dari 10 kali camp di gunung di ketinggian lebih dari 2.000 mdpl tidak pernah mengalami seperti ini, ketinggian dan dingin rupanya ampuh mengeliminasi hewan-hewan.

Satu persatu kita ketiduran meski waktu masih menunjukan pukul 7 malam. Dan sesuatu yang tak terduga terjadi. Kami dikagetkan oleh suara langkah kaki orang asing pada dini hari pukul 1.30 pagi. Tenda kami di senter-senteri oleh orang tak di kenal.

“Ayaaa Nu Ngendong (Ada yang menginap)” Teriak salah satu dari mereka.

“Mana-mana”

“Etaa (itu)” Tenda kami disenteri lagi. Mereka perlahan berjalan mendekat. Sementara itu di dalam tenda kami sudah bersiap, pisau belati besar sudah di genggam erat oleh salah satu diantara kami. Berjaga-jaga kalau saja kami dirampok di hutan belantara ini.


“Sttt siap-siap saja, kita di dalam saja. “ bisik saya kepada teman-teman. Kami semua berpura-pura masih tertidur sambil menunggu perkembangan situasi diluar. Suara ranting dan daun kering terinjak cukup terdengar, mereka mulai berjalan mendekat ke arah kami. Kami mencoba untuk tidak panik. Semoga kami tidak dirampok, kalau dirampok habis sudah.

(bersambung ke part 2)

Diubah oleh fadli0z 13-08-2015 09:38
0
3.4K
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan