- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Siapa boneka nya?? Mau aja dipermainkan media...
TS
01010
Siapa boneka nya?? Mau aja dipermainkan media...
Baca neh buat agan2 biar pada melek....
SIAPA BONEKANYA?
Setidaknya dimulai sejak pilpres. Kabar berganti-ganti. Perhatian publik dipindah. Dari pilpres ke Palestina, beranjak ke quick count, pindah ke pelantikan. Pindah lagi ke soal calon menteri. Lalu dualisme parlemen. Diombang lagi ke subsidi BBM, kapal ikan, natal, kurikulum pendidikan, lalu diambing lagi ke AirAsia. Lalu ke soal calon Kapolri, pengungsi Bangladesh dan Rohingya. Dan kini Papua.
Pada semua topik, kebanyakan publik tampak serius membahasnya. Bahkan seringkali marah. Seolah sangat peduli pada tiap persoalan. Walau tentu tetap ada yang rileks dan logis. Dalam tiap kepedulian yang ditampak (tampakkan) sangat peduli itu, kemudian dicari siapa yang salah. Bila perlu dicari celah ungkit untuk menyalahkan seseorang atau kelompok.
Bila dalam sekian bulan Anda dengan mudah—dan tanpa sadar--berpindah-pindah perhatian dan melupakan persoalan sebelumnya. Atau dengan mudah dipindah-pindahkan perhatiannya ke 10 persoalan baru, barangkali kini jelas siapa sesungguhnya yang tak punya perhatian. Sekaligus--pada hakekatnya--tak menganggap penting tiap persoalan.
Bila kita renungkan, persoalan yang muncul nyaris tak pernah berasal dari publik. Namun justru diumpan kepada publik. Melalui representasi media. Sebagaimana umpan, ia disebar ke kanan dan ke kiri. Belum habis diperebutkan dan ditelan, ada taburan umpan baru lagi di tempat lain. Dikejar lagi. Begitu serterusnya. Masyarakat pun jadi tampak begitu mudah menjadi Red Ocean--kolam pancing persoalan--bagi para oportunis.
"Betrachtung in der stille ist golden" kata Pemikir Jerman di abad 18, yang dikutip keliru oleh pujangga Inggris menjadi "silence is golden". Dan makin keliru ketika diindonesiakan menjadi "diam itu emas". Padahal, substansi awalanya bermakna "merenung (dalam diam) itu sangat baik (golden)". Karena dalam merenung kita berdialog dengan diri sendiri, mempelajari sambil berupaya menemukan hakekat. Singkatnya "hati-hati, tidak terburu-buru, korektif dan cari tahu (pelajari)". Atau 'Iqra' dalam bahasa Arab.
Walaupun postulat sebuah konspirasi mengatakan bahwa dalang sebuah permainan adalah mereka yang mendapatkan keuntungan dari permainan (baca: konflik) yang diciptakan. Namun mencari dalangnya sungguh buang waktu. Hanya akan menghasilkan teori konspirasi baru. Kalau masyarakat sadar dirinya dipermainkan untuk sebuah kepentingin, harusnya masyarakat bermain diluar skenario. Dengan keluar dari kolam.
Skenarionya dibuat atas dasar anggapan bahwa masyarakat Indonesia umumnya sensitif SARA, tak teliti, ambivalen, miskin hero, dan hal-hal lain yang sudah jadi label "Indonesia banget". Maka yang diperlukan adalah melakukan yang diluar atau kebalikan dari anggapan tersebut.
Mencari dalangnya? Sekali lagi, sungguh tak perlu. Putuskan saja tali kendalinya. Dengan menjadi literat, teliti, double check, rileks (tak tergopoh-gopoh dan mudah bereaksi) dan sedikit toleran. Terutama pada perbedaan sudut pandang. Memaki dan mengumpat hanya menunjukkan buruknya kualitas dan tipisnya kulit Anda, yang menyebabkannya mudah sobek dan berdarah.
Dalam dunia televisi, teori yang sedikit usang namun juga cukup relevan dengan pemberitaan di media online, dikatakan oleh Neil Postman (Amusing Ourselves to Death - 1985): "The problem does not reside in what people watch. The problem is in that we watch. The solution must be found in how we watch. "; persoalan bukan pada apa yang ditonton. Tapi karena kita menontonnya. Maka solusinya adalah tentang bagaimana kita menyimaknya".
Mematikan televisi bukan solusi. Apalagi sekadar memberangus situs online. Yang diperlukan adalah memperkaya bekal pengetahuan untuk menonton, dan literasi untuk mendekonstruksi apa yang dibaca di media online. Nggak main telen aja.
Kadang kita pikir kita tengah membaca banyak hal, yang kemudian jadi peduli banyak hal. Tapi boleh jadi kitalah yang tengah dibaca dan dikendalikan oleh sesuatu yang sangat kuat. Dirancang dengan sangat cerdik. Yang mampu mengarahkan perhatian ke persoalan. Bukan ke arah peluang bersatu, untuk Indonesia yang lebih baik.
Dari sini tampaknya mulai jelas; siapa boneka yang sedang dipermainkan.
(ilustrasi: Pupet, jenniferlshelton)
Sumur:
https://m.facebook.com/photo.php?fbid=10206296262939387&id=1050672944&set=a.1069682176207.2011938.1050672944
SIAPA BONEKANYA?
Setidaknya dimulai sejak pilpres. Kabar berganti-ganti. Perhatian publik dipindah. Dari pilpres ke Palestina, beranjak ke quick count, pindah ke pelantikan. Pindah lagi ke soal calon menteri. Lalu dualisme parlemen. Diombang lagi ke subsidi BBM, kapal ikan, natal, kurikulum pendidikan, lalu diambing lagi ke AirAsia. Lalu ke soal calon Kapolri, pengungsi Bangladesh dan Rohingya. Dan kini Papua.
Pada semua topik, kebanyakan publik tampak serius membahasnya. Bahkan seringkali marah. Seolah sangat peduli pada tiap persoalan. Walau tentu tetap ada yang rileks dan logis. Dalam tiap kepedulian yang ditampak (tampakkan) sangat peduli itu, kemudian dicari siapa yang salah. Bila perlu dicari celah ungkit untuk menyalahkan seseorang atau kelompok.
Bila dalam sekian bulan Anda dengan mudah—dan tanpa sadar--berpindah-pindah perhatian dan melupakan persoalan sebelumnya. Atau dengan mudah dipindah-pindahkan perhatiannya ke 10 persoalan baru, barangkali kini jelas siapa sesungguhnya yang tak punya perhatian. Sekaligus--pada hakekatnya--tak menganggap penting tiap persoalan.
Bila kita renungkan, persoalan yang muncul nyaris tak pernah berasal dari publik. Namun justru diumpan kepada publik. Melalui representasi media. Sebagaimana umpan, ia disebar ke kanan dan ke kiri. Belum habis diperebutkan dan ditelan, ada taburan umpan baru lagi di tempat lain. Dikejar lagi. Begitu serterusnya. Masyarakat pun jadi tampak begitu mudah menjadi Red Ocean--kolam pancing persoalan--bagi para oportunis.
"Betrachtung in der stille ist golden" kata Pemikir Jerman di abad 18, yang dikutip keliru oleh pujangga Inggris menjadi "silence is golden". Dan makin keliru ketika diindonesiakan menjadi "diam itu emas". Padahal, substansi awalanya bermakna "merenung (dalam diam) itu sangat baik (golden)". Karena dalam merenung kita berdialog dengan diri sendiri, mempelajari sambil berupaya menemukan hakekat. Singkatnya "hati-hati, tidak terburu-buru, korektif dan cari tahu (pelajari)". Atau 'Iqra' dalam bahasa Arab.
Walaupun postulat sebuah konspirasi mengatakan bahwa dalang sebuah permainan adalah mereka yang mendapatkan keuntungan dari permainan (baca: konflik) yang diciptakan. Namun mencari dalangnya sungguh buang waktu. Hanya akan menghasilkan teori konspirasi baru. Kalau masyarakat sadar dirinya dipermainkan untuk sebuah kepentingin, harusnya masyarakat bermain diluar skenario. Dengan keluar dari kolam.
Skenarionya dibuat atas dasar anggapan bahwa masyarakat Indonesia umumnya sensitif SARA, tak teliti, ambivalen, miskin hero, dan hal-hal lain yang sudah jadi label "Indonesia banget". Maka yang diperlukan adalah melakukan yang diluar atau kebalikan dari anggapan tersebut.
Mencari dalangnya? Sekali lagi, sungguh tak perlu. Putuskan saja tali kendalinya. Dengan menjadi literat, teliti, double check, rileks (tak tergopoh-gopoh dan mudah bereaksi) dan sedikit toleran. Terutama pada perbedaan sudut pandang. Memaki dan mengumpat hanya menunjukkan buruknya kualitas dan tipisnya kulit Anda, yang menyebabkannya mudah sobek dan berdarah.
Dalam dunia televisi, teori yang sedikit usang namun juga cukup relevan dengan pemberitaan di media online, dikatakan oleh Neil Postman (Amusing Ourselves to Death - 1985): "The problem does not reside in what people watch. The problem is in that we watch. The solution must be found in how we watch. "; persoalan bukan pada apa yang ditonton. Tapi karena kita menontonnya. Maka solusinya adalah tentang bagaimana kita menyimaknya".
Mematikan televisi bukan solusi. Apalagi sekadar memberangus situs online. Yang diperlukan adalah memperkaya bekal pengetahuan untuk menonton, dan literasi untuk mendekonstruksi apa yang dibaca di media online. Nggak main telen aja.
Kadang kita pikir kita tengah membaca banyak hal, yang kemudian jadi peduli banyak hal. Tapi boleh jadi kitalah yang tengah dibaca dan dikendalikan oleh sesuatu yang sangat kuat. Dirancang dengan sangat cerdik. Yang mampu mengarahkan perhatian ke persoalan. Bukan ke arah peluang bersatu, untuk Indonesia yang lebih baik.
Dari sini tampaknya mulai jelas; siapa boneka yang sedang dipermainkan.
(ilustrasi: Pupet, jenniferlshelton)
Sumur:
https://m.facebook.com/photo.php?fbid=10206296262939387&id=1050672944&set=a.1069682176207.2011938.1050672944
0
2.7K
23
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan