Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

shopishieldsAvatar border
TS
shopishields
Rencana Jokowi Minta Maaf ke PKI Sesuai Janji Kampanye Pilpres. What's wrong?
Rencana Jokowi Minta Maaf ke PKI Sesuai Janji Kampanye Pilpres
Sabtu, 11 Juli 2015 , 14:04:00 WIB
Laporan: Bunaiya Fauzi Arubone



RMOL. Dengan meminta maaf ke eks Partai Komunis Indonesias (PKI) dan keluarganya, Presiden Joko Widodo artinya merealisasikan janji kampanye pada Pilpres 2014 lalu.

Begitu pandangan peneliti Perludem, Heroik Muttaqien Pratama yang ditemui usai diskusi di bilangan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (11/7).

Heroik menyebutkan, permintaan maaf ini merupakan tahapan awal bagi Jokowi membuka kembali ruang untuk memproses kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. Apalagi selama ini masyarakat, terutama yang hidup di zaman Orde Lama dan Orde Baru masih memandang negatif PKI.

"Tapi kita tidak tahu ada transformasi politik dan transformasi sosial yang selama ini berkembang," imbuhnya.

Terkait pengembalian hak-hak politik para eks PKI dan keluarganya, Heroik meminta Jokowi untuk mengkaji lebih dalam dan harus melibatkan masyarakat dalam prosesnya.

"Karena saat ini kita belum tahu persepsi masyarakat terhadap PKI," tegasnya.

Lebih lanjut ia mengharapkan apa yang direncanakan Jokowi dalam menyelesaikan kejahatan manusia masa lal itu tidak semata untuk PKI. Sebab masih banyak pelanggaran HAM berat lainnya yang menuntut penyelesaian.
http://politik.rmol.co/read/2015/07/...panye-Pilpres-




Amnesty International: Jokowi Mesti Wujudkan Janji-janji HAM
Rabu, 23 Juli 2014 01:54 WIB

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Amnesty International mengatakan presiden terpilih Indonesia, Joko Widodo, harus mewujudkan janji-janji kampanyenya untuk memperbaiki situasi hak asasi manusia Indonesia yang mencemaskan.

Demikian disampaikan Direktur Asia Pasifik Amnesty International, Richard Bennett, dalam siaran pers yang diterima Tribunnews, Rabu (23/7/2014).

Menurut Richard Bennet, Jokowi telah menjanjikan untuk mengutamakan urusan HAM selama masa pemerintahannya-–termasuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran serius HAM di masa lalu, melindungi kebebasan beragama, mereformasi kepolisian dan membuka akses ke Papua bagi para pemantau internasional.

“Merupakan sesuatu yang membesarkan hati bahwa Presiden Joko Widodo telah berbicara tentang komitmennya untuk hak asasi manusia selama masa kampanye presiden; sekarang saatnya dia harus mewujudkannya,” kata Richard Bennett.

Bennet mengatakan pemerintahan yang baru memiliki kesempatan untuk membuka halaman baru menuju era di mana HAM secara sejati dihormati di Indonesia.

Kemenangan Jokowi, imbuh Bennet, akan meningkatkan harapan banyak aktivis HAM dan korban yang telah berjuang melawan impunitas selama bertahun-tahun. "Harapan-harapan tersebut tidak bisa dihabisi,” terangnya.

Sebagai langkah paling awal, Amnesty International mendesak pemerintahan yang baru untuk mengambil evaluasi mendalam rekam jejak HAM Indonesia selama dekade terakhir dan memformulasikan sebuah rencana aksi yang jelas.

"Yang juga penting, hal ini harus dilakukan bersama-sama dengan masyarakat sipil dan aktor-aktor penting lainnya,” ujarnya.
http://www.tribunnews.com/pemilu-201...anji-janji-ham


Jokowi Dituntut Minta Maaf Soal Pembantaian PKI
Senin, 10/11/2014 20:25 WIB
Rizky Sekar Afrisia, CNN Indonesia

Jokowi Dituntut Minta Maaf Soal Pembantaian PKIPresiden Joko Widodo (Getty Images/Oscar Siagian)
Jakarta, CNN Indonesia -- "Kita harus mendukung presiden baru karena dia ingin menyelesaikan masalah HAM."

Ucapan itu bukan terlontar dari mulut masyarakat Indonesia. Joshua Oppenheimer, sutradara film dokumenter asal Amerika yang mengucapkannya. Itu merupakan sebagian harapan Joshua saat menggarap dua film tentang pembantaian Indonesia, The Act of Killing (Jagal) dan The Look of Silence (Senyap).

Film pertamanya mendapat banyak penghargaan. The Act of Killing bahkan masuk nominasi Oscar, meski tak sampai membawa pulang piala. Kini, film keduanya membuat Venice International Film Festival terperangah. Saat pemutaran perdana di Jakarta, Senin (10/11) Joshua mengatakan ia ingin mengubah sesuatu di Indonesia.

Ia ingin luka hati karena pelanggaran HAM di Indonesia sembuh. Caranya, kata Joshua, melalui pengungkapan sejarah hitam dan permintaan maaf dari pemerintah. Sebab menurutnya, sejarah bukan untuk ditutupi. Ia tahu pembantaian jutaan orang tak bersalah di tahun 1965 harus dibuka kembali, bukan dibiarkan terlupakan.

"Tahun 1965 adalah titik awal pelanggaran HAM di Indonesia. Dari situlah rezim ketakutan dan senyap mulai terbentuk. Rakyat trauma, diam, dan terpaksa menerima pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi belakangan," ujar Joshua melalui Skype. Ia memang tak hadir dalam pemutaran perdana The Look of Silence di Indonesia. Namun Joshua berharap pesan filmnya tersampaikan.

"Kalau mau serius memberantas pelanggaran HAM, kita harus menganggap tahun 1965 adalah kuncinya," ia menuturkan. Melalui filmnya, ia berharap mata masyarakat dan pemerintah lebih terbuka. Lalu, ada yang berinisiatif mengakui dan memaafkan, tak hanya diam berpangku tangan.

"Presiden baru pernah berkata dalam kampanyenya, ingin menyelesaikan masalah HAM. Ingin mengakui apa yang terjadi. Kita harus mendukung segala upaya agar pemerintah Indonesia secara resmi mengakui yang terjadi dan meminta maaf sebagai bentuk rekonsiliasi," ucapnya dalam bahasa Indonesia yang fasih.

Joshua menambahkan, "Kalau tidak begitu, luka Indonesia tidak akan pernah sembuh," ucapnya tegas.

Ucapan Joshua itu didukung penuh oleh Komnas HAM. Komisioner Komnas HAM, M. Nur Khoiron menargetkan, tahun 2015 Joko Widodo sebagai presiden baru Indonesia harus menegaskan soal pelanggaran HAM. Mengakui, katanya, adalah bagian dari langkah mengungkap kebenaran. Setelah itu Jokowi perlu meminta maaf pada keluarga korban yang menderita karena dituding PKI, dan memastikan pelanggaran HAM tak terjadi lagi.

"Tanggal 10 Desember mendatang akan ada lokakarya nasional. Kami berharap ada pidato dari presiden baru. Kami harap beliau hadir, dan menyampaikan apa agenda pemerintah soal penyelesaian pelanggaraan HAM di masa lalu," ujarnya membeberkan. Ia menegaskan, ini saatnya persepsi sejarah diubah, terutama menyangkut komunisme.

Joshua sendiri merupakan sutradara asal Amerika Serikat. Ia membuat dua film dokumenter tentang pembantaian PKI di Indonesia, berdasarkan riset sejak awal 2000-an. Film pertamanya bercerita dari sudut pandang pelaku, Anwar Kongo, yang dengan bangga melakukan pembantaian atas nama pembelaan negara.

Sedang The Look of Silence yang hari ini diputar, memandang lewat mata Adi Rukun, seorang anggota keluarga korban. Alih-alih diam, Adi memilih menentang kesenyapan dan mendatangi pembunuh kakaknya, Ramli, satu per satu. The Look of Silence menggambarkan betapa Adi dan keluarganya terluka, sementara pembunuhnya berbangga. "Saya enggak suka pembunuh mengaku pahlawan ideologi dan negara. Saya harap diakui bahwa itu salah," kata Adi mengungkapkan.
http://www.cnnindonesia.com/hiburan/...mbantaian-pki/


Jokowi Didesak Terbitkan Inpres untuk Usut Tujuh Kasus HAM
Jumat, 5 Juni 2015 | 12:38 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera menerbitkan Instruksi Presiden guna memproses hukum kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu.

"Kontras meminta Presiden untuk segera mengeluarkan Instruksi Presiden kepada Jaksa Agung untuk penyidikan dan penuntutan tujuh kasus yang telah selesai tahap penyelidikan oleh Komnas HAM," kata Koordinator Badan Pekerja Kontras Haris Azhar dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (5/6/2015), seperti dikutip Antara.

Selain itu, Kontras juga menghendaki Presiden Jokowi mengeluarkan Keputusan Presiden tentang Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus masa lalu.

Kontras juga meminta Jaksa Agung dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menghentikan praktik politik di luar kewenangan hukumnya.

"Sebagaimana diketahui, dalam UU tentang Kejaksaan Agung dan UU Pengadilan Hak Asasi Manusia, dijelaskan bahwa jika ditemukan adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat, maka perlu dilakukan penyelidikan dan peyidikan sebelum dilakukan penuntutan dan pengadilannya," katanya.

Untuk itu, ujar dia, kedua tugas tersebut diemban oleh Komnas HAM untuk membuktikan ada peristiwa pelanggaran HAM. Ia juga meminta Jaksa Agung dan Komnas HAM fokus mencari upaya tindak lanjut, bukan fokus saling mengembalikan berkas di antara keduanya.

"Masyarakat perlu mengetahui dan diingatkan kembali bahwa telah terjadi enam kali pengembalian berkas antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM," ujarnya.

Kontras menginginkan Presiden mengutamakan korban dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu dengan memastikan hak-hak para korban terpenuhi, yaitu hak untuk mengetahui kebenaran, hak untuk mendapatkan keadilan dan hak untuk mendapatkan perbaikan hidup.

Kontras juga menghendaki Presiden membentuk Komite Kepresidenan untuk menjembatani kebuntuan proses hukum antara Kejaksaan Agung dengan Komnas HAM. Komite ini juga dinilai harus bersifat independen dan langsung berada di bawah Presiden.

Selain itu, diinginkan pula ada pernyataan resmi kenegaraan dalam bentuk pengakuan dan permohonan maaf negara terhadap korban pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Permintaan maaf ini harus ditindaklanjuti dengan sejumlah tindakan hukum sebagaimana telah disebutkan di atas, yaitu membentuk Pengadilan HAM ad hoc, Komite Kepresidenan, dan memastikan hak-hak para korban terpenuhi," tutur Haris.

Kejaksaan Agung sebelumnya menilai rekonsiliasi merupakan salah satu opsi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat mengingat kasusnya sudah berlangsung lama.

"Karena itu, seperti kasus 1965, saksi sulit dicari, buktinya juga seperti itu, maka kami tawarkan untuk diselesaikan pendekatan non yudisial, penyelesaian di luar jalur proses hukum, melalui pendekatan rekonsiliasi," kata Prasetyo di Jakarta, Jumat (22/5).

Rekonsiliasi itu, kata Prasetyo, nantinya akan ditawarkan kepada Presiden. Namun, tentunya ada tahapan atau poin rekonsiliasi. (baca: Dibentuk Komite Rekonsiliasi Kasus HAM Berat Masa Lalu)

Kejaksaan Agung menyatakan penyelesaian tujuh kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan di antaranya peristiwa Talangsari, Lampung, tidak tertutup kemungkinan melalui proses rekonsiliasi.

"Secara nonyudisial melalui renkonsiliasi. Kita ingin ke luar dari belenggu penyelidikan dan penyidikan yang ujung-ujungnya saling menyalahkan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Tony Tribagus Spontana di Jakarta, Rabu (20/5).

Keenam kasus pelanggaran HAM berat lainnya, yakni, peristiwa Trisaksi, Semanggi 1 dan 2, Wasior, Papua, kasus tahun 1965, dan penembakan misterius (petrus).
http://nasional.kompas.com/read/2015...ujuh.Kasus.HAM


Dibentuk Komite Rekonsiliasi Kasus HAM Berat Masa Lalu
Kamis, 21 Mei 2015 | 21:00 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Tedjo Edhy dan Jaksa Agung HM Prasetyo menggelar rapat bersama sejumlah petinggi lembaga hukum guna membahas penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Seusai pertemuan, Jaksa Agung RI, HM Prasetyo di Jakarta, Kamis (21/5/2015), menyatakan salah satu solusi untuk menyelesaikan persoalan kasus HAM berat itu dapat dilakukan melalui rekonsiliasi.

"Banyak perkara-perkara yang kita tangani yang sudah lama sekali peristiwanya sehingga sulit untuk kita cari bukti-buktinya, saksi, dan pelakunya. Makanya kita tadi melalui pendekatan non yudisial melalui rekonsiliasi. Makanya tadi kita bentuk Komite Rekonsiliasi yang melibatkan semua unsur. Ada Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Polri, TNI, Kemenkumham semuanya terlibat khususnya keluarga korban. Ini nanti bertanggung jawab langsung kepada Presiden," katanya.

Dalam acara itu dihadiri pula oleh Menkopolhukam Tedjo Edhy, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Jaksa Agung HM Prasetyo, Ketua Dewan Pembina Komnas HAM Jimly Asshiddiqie, Dirjen HAM Kemenkum HAM Mualimin Abdi, dan mantan Oditur Jenderal (Orjen) TNI Brigjen Theresia Abraham.

Nantinya, kata dia, jika rekonsiliasi dilakukan maka dibentuk komite. "Insya Allah segera diselesaikan supaya semua berakhir," katanya.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung menyatakan penyelesaian tujuh kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan di antaranya peristiwa Talangsari, Lampung, tidak tertutup kemungkinan melalui proses rekonsiliasi.

"Secara non yudisial melalui renkonsiliasi. Kita ingin ke luar dari belenggu penyelidikan dan penyidikan yang ujung-ujungnya saling menyalahkan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Tony Tribagus Spontana di Jakarta.

Keenam kasus pelanggaran HAM berat lainnya, yakni, peristiwa Trisaksi, Semanggi 1 dan 2, Wasior, Papua, kasus tahun 1965, dan penembakan misterius (petrus).

Dikatakan, kendala penanganan ke-7 kasus itu, kejadiaannya sudah berlangsung lama hampir 50 tahun, hingga sulit mencari bukti-bukti dan saksi termasuk tersangkanya.

Karena itu, kata dia, Kejagung sudah mengambil langkah mengundang Komisi Nasional (Komnas) HAM untuk mencari solusi agar mekanisme penyelesaiannya bisa diterima semua pihak.

"Langkah lainnya memilah-milah kasus yang non yuridis," katanya.

Pihaknya mengklaim sudah melakukan pembahasan awal yang selanjutnya untuk membahas penyelesaian teknis.

"Nanti bersama Komnas HAM akan ada sekretariat bersama untuk menyelesaikan kasus tersebut," katanya.

Peristiw Talangsari Berdarah terjadi pada 7 Februari 1989. Pada saat itu, terjadi penyerbuan yang melibatkan aparat dan warga Talangsari.

Di mana sasarannya adalah Kelompok Warsidi. Dalam penyerbuan ini ada 27 orang yang tewas dari kelompok Warsidi, termasuk Warsidi sendiri. Hingga kini penyelesaian kasus ini masih belum tuntas.
http://nasional.kompas.com/read/2015...erat.Masa.Lalu


Jokowi Akan Usut Kasus Penculikan Aktivis 1998
SABTU, 05 JULI 2014 | 06:22 WIB

TEMPO.CO, Bekasi - Calon presiden Joko Widodo menyatakan komitmennya untuk menangani kasus penculikan aktivis pada 1998. Menurut Jokowi, tragedi yang terjadi ketika itu perlu diusut agar dapat memberi rasa keadilan bagi para korban. "Kasus itu harus diselesaikan. Itu komitmen saya," ujarnya, Jumat, 4 Juli 2014.

Kasus penculikan itu terjadi menjelang transisi kepemimpinan Orde Baru. Belasan aktivis dinyatakan hilang. Ada pula yang diculik dan disiksa sebelum akhirnya dilepaskan. Hari ini sebagian di antara mereka menyatakan dukungannya terhadap Joko Widodo.

Mantan aktivis 1998 yang juga jadi korban penculikan, Raharja Waluyo Jati, menyatakan dia dan beberapa orang disekap di ruang berhawa pengap. "Seperti ruang bawah tanah," tuturnya. Jati mengaku selalu mendapat siksaan saat disekap. "Jika tak salah, tujuh hari saya disekap," kata Jati. Sampai sekarang 13 orang masih belum kembali, termasuk Wiji Tukul, Herman Hendrawan, dan Suyat.

Sejumlah mantan aktivis 1998 itu membacakan surat terbuka untuk Jokowi-Kalla. Dalam surat tersebut, mereka mempercayakan penyelesaian kasus hilangnya 13 aktivis kepada pasangan itu. "Kami menyematkan harapan di hati Anda berdua (Jokowi-Kalla) karena Anda berdua adalah jalan keluar dari penantian panjang penyelesaian masalah ini," ujar Raharja Waluya Jati saat membacakan surat terbuka.

Menurut Jokowi, kasus yang bermuatan pelanggaran hak asasi manusia itu tak boleh ditelantarkan. "Harus diselesaikan, udah pasti kayak gitu, kok," tuturnya. "Itu bukan janji. Itu komitmen saya, kok dibilang janji," katanya.
http://pemilu.tempo.co/read/news/201...Aktivivis-1998


Akankah PKI Dapat Angin Segar dari Jokowi?
Minggu, 12 Juli 2015 - 12:30:43



JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Kiprah Partai Komunis Indonesia (PKI) yang saat ini dicap sebagai partai terlarang keberadaannya di Indonesia nampaknya akan mendapatkan angin segar dari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

Dikabarkan Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan pada 15 Agustus 2015 mendatang akan meminta maaf kepada keluarga PKI.

Sontak kabar tersebut menuai kritikan, salah satunya dari mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zen. Menurutnya, apabila langkah itu dilakukan artinya pemerintah mengakui seluruh rakyat Indonesia bersalah.

"Kalau pemerintah minta maaf, berarti pemerintah mengakui dirinya salah dalam peristiwa 1965. Termasuk juga pemerintah mengakui Angkatan Darat bersalah, NU bersalah, Muhammadiyah bersalah dan seluruh rakyat Indonesia bersalah terhadap PKI dalam tragedi tahun 1965," kata Kivlan beberapa waktu lalu.

Ketua Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie Massardi pun mempertanyakan alasan Jokowi. Dia mengatakan, permintaan maaf yang rencananya akan disampaikan Presiden Jokowi secara resmi itu harus jelas konteksnya. Kesalahan seperti apa yang harus diminta untuk dimaafkan.

Namun, lain halnya dengan Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti. Ia tak yakin jika dalam pidato kenegaraan pada 15 Agustus nanti, Jokowi akan menyampaikan pidato permintaan maaf kepada keluarga PKI disela-sela momen kenegaraan.

"Kalau belum dilakukan, saya tidak percaya," ujarnya.

Seperti diketahui, keberadaan PKI mulai dibekukan para era pemerintahan Orde Baru atau sejak Soeharto naik tahta menjadi presiden menggantikan Soekarno. PKI dianggap sebagai dalang Gerakan 30 September (G30S) yang menewaskan para jenderal TNI.

Masyarakat tinggal menunggu kebenaran kabar tersebut, apakah Jokowi bakal benar-benar meminta maaf kepada keluarga PKI dan melegalkan partai yang dinilai sebagian besar masyarakat punya 'dosa besar' terhadap bangsa Indonesia. Dan juga menarik ditunggu dampak dari pelegalan partai besutan DN Aidit cs tersebut di Indonesia.
http://www.teropongsenayan.com/13982...ar-dari-jokowi

-----------------------------

Ciri utama seorang Pemimpin yang baik itu adalah memenuhi janj-janjinya kepada rakyat saat dia kampanye Pilpres lalu. Lalu apa yang salah dengan Jkowi? Mintaa maaf kok dibilang salah?


emoticon-Turut Berduka
Diubah oleh shopishields 13-07-2015 22:08
tien212700
tien212700 memberi reputasi
1
6.3K
19
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan