Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

macfacAvatar border
TS
macfac
Jokowi, Presiden atau Mafia?
Bila tuduhan Faisal Basri dkk bahwa Petral adalah tempat berkumpulnya mafia migas, atau yang diistilahkan oleh Faisal Basri sebagai sarang tawon adalah benar, maka penunjukan Ari Soemarno, kakak Menteri BUMN Rini Soemarno sebagai Ketua Kelompok Kerja Energi dan Anti Mafia Migas oleh Tim Transisi Jokowi-JK membuktikan bahwa Jokowi-JK adalah bagian dari mafia migas. Betapa tidak, pada tahun 2006-2009, Ari Soemarno pernah menjabat sebagai Dirut PERTAMINA sekaligus Dirut PT PERTAMINA Energy Trading, alias Petral. Bukti lain bahwa pembubaran Petral hanya sekedar memindahkan seluruh importasi migas kepada mafia migas yang sesungguhnya adalah pada fakta bahwa sekarang yang memiliki wewenang secara de facto dan de jure untuk mengimpor migas adalah Integrated Supply Chain PERTAMINA (ISC), yang dibentuk dan dikendalikan oleh Ari Soemarno sejak tahun 2008. Rini Soemarno, sang adik, tentu saja adalah salah satu orang dekat Megawati Soekarnoputri.

Selanjutnya, ground breaking pembangunan gedung Indonesia 1 milik Surya Paloh atau Media Group dengan Sonangol membuktikan bahwa Surya Paloh masih memiliki hubungan dekat dengan Sonangol. Temuan ini menjadi penting mengingat saat ini Sonangol EP adalah pemasok sebagian kebutuhan minyak di Indonesia, dan Surya Paloh adalah pembisiknya. Penunjukan Sonangol EP sebagai rekanan PERTAMINA ini tentu tidak dapat dilepaskan dari peran Rini Soemarno selaku Menteri BUMN dan Jokowi selaku Presiden Indonesia. Jusuf Kalla juga kecipratan proyek migas, dan hal ini bisa dibuktikan dari fakta kerja sama antara Pertamina dan salah satu perusahaan milik Jusuf Kalla, yaitu PT Bumi Sarana Migas untuk proyek pembangunan Land Base LNG Receiving Terminal, Banten. Lagi-lagi, persetujuan PERTAMINA masuk ke dalam kerja sama dengan perusahaan Jusuf Kalla tidak mungkin lepas dari peran Menteri BUMN Rini Soemarno dan Presiden Jokowi.

Singkatnya, atas bantuan Jokowi, sang Presiden terpilih, maka saat ini industri migas Indonesia telah dikuasai oleh mafia migas baru, yaitu Kalla-Mega-Paloh. Mengerikan, saya jadi ingat pernyataan Rachmawati Soekarnoputri beberapa saat lalu:

“Kalau lah rezim penguasa sudah bukan kelas negarawan, tapi klas profitur dengan ideologi kapitalisme, sudah dapat dipastikan Indonesia akan tenggelam, seperti Jokowi memerintahkan menenggelamkan kapal ‘asing’”

Sesungguhnya, di mata Jokowi dan kawan-kawannya, Indonesia tidak ubahnya seperti kue tart, yang siap dipotong-potong demi dibagikan kepada para pendukung. Baik proyek maupun jabatan siap dibagikan kepada orang-orang yang mendukung Jokowi-JK pada saat pilpres. Rakyat? Lupakan saja, ini terbukti dengan fakta bahwa Rini Soemarno mulai membagikan 600 posisi di 138 BUMN berikut anak cucu perusahaan kepada relawan Jokowi. Keputusan Rini Soemarno ini tidak lepas dari protes yang diluncurkan oleh relawan-relawan karena menagih hadiah atas keberhasilan memenangkan Jokowi-JK kepada Jokowi dan Jusuf Kalla beberapa hari sebelumnya. Masalahnya, berdasarkan undang-undang, relawan dan politikus tidak boleh masuk menjadi direksi. Bagaimana Jokowi-JK memecahkan masalah ini? Terobos undang-undang. Untuk diketahui, gaji seorang direktur bank plat merah saat ini adalah Rp. 200juta ditambah fasilitas berupa bonus akhir tahun, mobil dan rumah. Sementara komisaris BUMN mendapat gaji setengah dari gaji direktur, namun dengan pekerjaan yang sangat ringan. Dari sisi ini saja sebenarnya relawan Jokowi-JK, termasukyang berkumpul di Bogor dan membela Jokowi pada demo tanggal 21 Mei 2015 kemarin sudah tidak layak disebut sebagai relawan melainkan lebih cocok disebut sebagai centeng peliharaan supaya bisa dipanggil Jokowi sewaktu-waktu atau “meluruskan” suara-suara yang kritis terhadap pemerintahan Jokowi-JK.

Selain merebut industri migas, pemerintahan Jokowi-JK juga sangat giat merebut industri-industri yang dipegang oleh pihak lawan politiknya. Kita ambil contoh keputusan Menpora merebut PSSI dan Liga Indonesia dari tangan kelompok usaha Bakrie yang sudah mengurus dan mengelola sepakbola Indonesia sejak masa Orde Baru masih berdiri. Keputusan Menpora membekukan PSSI secara sewenang-wenang dilanjutkan dengan membentuk Tim Transisi yang beranggotakan tim sukses Jokowi-JK, mulai dari Diaz Hendropriyono, Francis Wanandi, Andrew Darwis sampai kepada Zuhairi Misrawi. Seperti mafia atau preman jalanan, Menpora membekukan PSSI tanpa mengindahkan Statuta FIFA yang melarang Negara campur tangan dalam pengelolaan sepak bola. Saat ini FIFA sudah memberi ultimatum agar pemerintah Indonesia berhenti mencampuri PSSI atau pada tanggal 29 Mei 2015 keanggotaan Indonesia akan dibekukan FIFA yang berarti Indonesia tidak akan bisa mengikuti even-even internasional yang diselenggarakan FIFA maupun AFC. Apakah Menpora peduli keputusannya mematikan industri sepakbola Indonesia beserta para stakeholders? Sama sekali tidak. Keputusan FIFA menolak bertemu dengan tim transisi sebagaimana disampaikan dalam surat Jerome Valcke tanggal 22 Mei 2015 juga tidak akan menghentikan sikap keras kepala Menporayang bermaksud merebut industri sepakbola Indonesia dan memberikannya kepada salah satu pendukung Jokowi.

Akhir bagi-bagi proyek ala Jokowi-JK bukan saja melulu kepada timses dan “relawan a.k.a. debt collector jabatan”. Kita tentu masih ingat bahwa pada saat Konferensi Asia-Afrikayang seharusnya merupakan perayaan kemerdekaan bangsa-bangsa, ternyata membuktikan bahwa Jokowi-JK adalah onderbouw atau bawahan dari bangsa-bangsa asing. Hal ini terbukti dari Jokowi memberikan proyek pembangunan 24 pelabuhan, 15 bandara, pembangunan jalan sepanjang 1000 km, jalur kereta sepanjang 8.700 km serta pembangkit listrik 35.000 megawatt kepada Presiden Cina. Saat itu Jokowi juga memohon kepada Presiden Cina Xi Jinping untuk dipinjami uang dan hasilnya RRC bersedia memberi pinjaman kepada Indonesia sebesar Rp 645trilyun!!! Apakah uang pinjaman sebesar itu akan dijadikan bancakan oleh Jokowi-JK dan tim pendukungnya masih harus ditunggu, tapi fakta Jokowi menyerahkan begitu banyak proyek infrastruktur dan meminjam uang yang sangat besar kepada Negara asing sangat bertentangan dengan koar-koar Jokowi mengenai nasionalisme, nawa cita atau apapun omong kosong yang digaungkan oleh Jokowi pada masa pilpres maupun pada saat Jokowi masih pencitraan supaya elektabilitas dirinya sebagai capres bisa melambung. Memangnya BUMN seperti PT WIKA atau perusahaan nasional seperti pembangunan jaya atau ciputra tidak dapat mengerjakan pekerjaan konstruksi yang ditawarkan kepada BUMN-BUMN asal RRC itu?

Karena terbukti Jokowi-JK menjalankan roda pemerintahan sebagai layaknya seorang Don Mafia, dengan membagi proyek kepada yang tunduk tapi “membunuh” yang melawan atau pihak oposisi, maka keputusan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly untuk menghancurkan Golkar dan PPP sudah merupakan bukti tangan jahat Jokowi-JK pada kisruh Golkar dan PPP. Bila Jokowi-JK dan Menteri Hukum dan HAM adalah negarawan dan bukan mafia, tentu mereka akan tunduk pada putusan PTUN yang membatalkan sekaligus menunda sampai ada putusan berkuatan hukum tetap keputusan menteri hukum dan HAM yang mengesahkan kepengurusan penghianat PPP pimpinan Romi dan penghianat Golkar pimpinan Agung Laksono, bukan malah pasang badan, apalagi pihak Bareskrim sudah menemukan bahwa munas Golkar pimpinan Agung Laksono ternyata dihadiri oleh peserta fiktif yang meliputi pencatutan nama anggota yang sudah meninggal dan pemalsuan tanda tangan. Masa munas yang seperti ini diakui sebagai munas yang sah? Yang benar saja!

Nah, tindakan-tindakan Jokowi-JK yang melanggar hukum dalam menjalankan pemerintahannya tentu membutuhkan dukungan penegak hukum yang bersedia tutup mata terhadap apapun kejahatan yang mereka lakukan. Dari sisi inilah kita bisa menjawab kengototan kelompok Jokowi-JK menguasai semua penegak hukum, mulai dari kepolisian melalui Budi Gunawan; kejaksaan agung melalui kader Partai NasDem; KPK melalui Taufiqurachman Ruki dan pansel yang ketuanya adalah orang dekat Menteri BUMN Rini Soemarno sampai terakir usaha dua anggota DPR dari Fraksi PDIP yaitu Junimart Girsang dan Trimedya Panjaitan untuk menguasai organisasi Advokat Peradi dengan cara bermain di munas Peradi sehingga memecah belah dan membuat gaduh munas Peradi dengan tujuan mendudukan saudara kandung Junimart Girsang yaitu Juniver Girsang sebagai Ketua Peradi dan beranggotakan mantan timses Jokowi-JK seperti Todung Mulya Lubis dan mantan kuasa hukum KPU yaitu Adnan Buyung Nasution. Membuat gaduh munas organisasi memang keahlian PDIP yang diwariskan oleh CSIS sejak dulu. Sekarang Trimedya Panjaitan dan Junimart Girsang sedang dalam proses dilaporkan ke dewan etik DPR, namun pelaporan tersebut tidak akan mengubah fakta bahwa organisasi Advokat sekarang sudah dikuasai oleh antek-antek PDIP dan kelompok pendukung Jokowi-JK.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka kiranya sudah bisa dijawab apakah Jokowi adalah presiden atau perwakilan mafia.

http://m.kompasiana.com/post/read/726196/2/jokowi-presiden-atau-mafia.html
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 106 suara
Jokowi, Presiden atau Mafia?
Presiden
26%
Mafia
74%
0
4.4K
68
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan